CHAPTER 20

109 8 12
                                    

Dua bulan yang dulu terasa berat nyatanya berlalu secepat kilat. Rabu pergi terburu-buru, begitu juga dengan Kamis dan Jumat yang tidak bisa diperlambat. Sabtu sudah berada di depan mata. Sabtu yang berbeda dari Sabtu-sabtu sebelumnya karena Sabtu ini adalah hari terakhir hukuman yang diberikan Miss Ditya.

Hasya sudah membayangkan bagaimana hari-harinya tanpa Harvey dan anak-anak yang belakangan memenuhi hatinya. Hasya mungkin akan kesepian karena kekurangan asupan tawa dari anak-anak dan kakak tingkatnya. Namun, mungkin menyelesaikan hukuman dari Miss Ditya adalah pilihan yang terbaik—Hasya sempat berpikir untuk meminta perpanjangan. Bukankah mengajar anak-anak setiap tiga hari seminggu terlalu banyak menyita waktunya hingga harus menduakan tugas kuliah dan menunda pengerjaan novelnya? Setelah hukuman ini selesai, bukankah Hasya jadi bisa kembali fokus ke rencana awalnya?

Ya, harusnya begitu, tapi entah mengapa rasanya cukup berat. Masih tersisa satu hari untuk bertemu dengan Harvey dan anak-anak di kompleks itu, tapi Hasya sudah menanggung rindu.

Lagu berjudul “Taruh” yang dipopulerkan oleh Nadin Amizah terputar dari ponsel pintarnya. Iramanya yang cukup sendu mengisi seluruh inchi kamar kosnya. Hasya duduk melantai. Kipas angin di depannya dibiarkan menyala. Bunyi putaran baling-balingnya beradu dengan suara merdu salah satu penyanyi lokal kesukaannya itu.

Detik demi detik berlalu, tak terasa, jam di dinding sudah menunjukan pukul dua belas siang. Hanya tersisa tiga jam sebelum jam mengajarnya dimulai. Jadi, Hasya bergegas mengambil plastik putih yang ada di atas lemarinya. Kemarin dia sudah membeli beberapa barang untuk dijadikan hadiah perpisahan. Hasya membeli headphone berwarna putih dan setangkai bunga matahari, ada juga paper bag dan kertas origami. Harganya memang tidak seberapa, tapi Hasya berharap hadiahnya bisa diterima.

Selembar origami berwarna merah muda diambil. Hasya menuliskan beberapa kalimat di sana. Di bagian bawah, dia membubuhkan tanda tangan kecil. Kertas itu kemudian ditempelkan ke tangkai bunga matahari menggunakan perekat. Setelah semuanya beres, Hasya memasukkan headphone, bunga matahari, dan sepucuk suratnya ke dalam paper bag yang juga berwarna pink.

“Semoga Kak Harvey suka,” ucapnya.

Dadanya penuh oleh perasaan asing yang mengganggu.

^^^

Seperti lirik lagu: datang akan pergi, terbit kan tenggelam, pasang akan surut, bertemu akan berpisah. Semua yang dimulai pasti akan diakhiri. Begitu juga dengan hukuman yang diberikan Miss Ditya kepada Harvey dan Hasya.

Waktu masih menunjukkan pukul setengah tiga sore ketika Hasya sampai di kompleks. Hari ini dia berangkat menggunakan layanan ojek online karena ingin sampai lebih cepat. Harvey pun tidak keberatan ketika Hasya memberi tahunya. Menggunakan pakaian dengan colour code black and cream seperti yang sudah disepakati sejak Rabu kemarin, Hasya mendekati anak-anak yang sudah berkumpul.

Dua sampai tiga anak menyambut Hasya dengan pelukan. Hangat. Hasya merasa kedatangannya memang sudah dinanti oleh mereka.

“Kak Harvey mana, Kak?” tanya Natasha.

Hasya berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan anak perempuan itu. “Sebentar lagi datang. Sambil nunggu Kak Harvey, mau foto-foto sama aku dulu, nggak?”

Usulan Hasya disambut antusias oleh tiga belas anak yang sudah datang ke balai kompleks. Hasya segera menata kamera ponselnya dan meminta anak-anak bersiap untuk pengambilan gambar.
Lima belas menit berlalu. Kamera ponsel Hasya berhasil menyimpan lebih dari tiga puluh foto. Bibirnya melengkungkan senyum. Sesaat setelahnya, namanya dipanggil. Hasya menoleh ke arah kanan. Sesuatu menusuk lembut pipinya cukup dalam.

“Kak Harvey?”

Harvey menyengir lebar. Telunjuknya masih berada di pipi kanan Hasya yang lumayan tembam. “Kaget, nggak?” tanyanya. “Aku datang lima belas menit lebih awal, lho.”

Jantung Hasya bergemuruh. Jaraknya dengan Harvey yang kurang dari sehasta membuatnya bisa menghidu aroma parfum Harvey yang segar. Hasya jadi salah fokus, apalagi Harvey sama sekali tidak berpindah dari posisinya.

“KAK HARVEYYY!”

Baru, saat Natasha dan teman-temannya memanggil, Harvey menjauhkan telunjuknya dari pipi Hasya. Cowok itu berdiri dengan tangan terentang. Kurang dari lima detik, tubuhnya sudah diserbu anak-anak.

“Kata Kak Hasya, hari ini hari terakhir kakak-kakak ngajar di sini?”

“Jadi, mulai Senin depan, yang ngajar Miss Ditya lagi?”

“Mau sama kakak-kakak saja ….”

“Kenapa harus udahan, sih, Kak?”

Harvey dan Hasya saling bertukar pandang.

^^^

Matahari beranjak turun, memancarkan lembayung senja yang sedap dipandang mata. Ungu, biru, bercampur jingga. Sepotong langit cantik sore ini berhasil dibekukan melalui lensa kamera. Anak-anak sudah dibubarkan setelah sesi foto bersama yang kedua—Harvey ikut serta. Cowok itu bahkan mengajak anak-anak membuat beberapa konten yang katanya akan diunggah di media sosialnya.

Kini, Harvey dan Hasya duduk bersisian di bangku panjang yang ada di halaman balai kompleks. Masing-masing belum membuka suara sejak kelas dibubarkan, hanya helaan napas yang terdengar bersahut-sahutan. Masing-masing tenggelam dalam pikiran-pikiran yang sulit diuraikan.

Harvey masih memikirkan cara agar kebersamaannya dengan Hasya bisa diperpanjang.

Hasya mulai memikirkan cara agar perasaan sukanya bisa terlupakan.

Kebekuan menyiksa. Pada akhirnya, Hasya yang memilih lebih dulu bersuara.

“Kak, makasih buat semuanya. Berkat hukuman ini, aku jadi punya banyak pengalaman menyenangkan.”

Harvey tersenyum, balas menatap Hasya. “Makasih juga buat semuanya. Dan, aku minta maaf karena udah bikin kamu dihukum.”

“Aku ada sesuatu.” Hasya mengambil paper bag pink dari dalam tas punggungnya. Diserahkannya benda itu kepada cowok yang saat ini tampak lebih dewasa dari biasanya. Harvey dengan kemeja hitam dan celana kain berwarna cream-nya terlihat sangat rapi dan berkharisma. “Buat Kakak.”

Harvey menerima benda itu, kemudian membukanya. Ujung-ujung bibirnya tertarik, membentuk senyuman hangat yang akan selalu Hasya ingat. Headphone putih dan bunga matahari. Pandangan Harvey tertuju pada secarik kertas yang ditempelkan di tangkai bunga. Cowok itu mengambilnya, lalu bertanya, “Boleh aku baca sekarang?”

Hasya mengangguk. “Tentu saja, tapi … aku ke sana dulu,” jawabnya, lalu menjauh dari tempat semula.

Harvey tersenyum. Ekspresi malu-malu Hasya selalu menggemaskan di matanya.

Dear, Kak Harvey

Aku baru sadar kalau dua bulan itu ternyata cepat banget, tapi meski cepat, banyak hal yang udah aku dapat. Aku dapat banyak pengalaman menyenangkan, pengetahuan berharga, dan teman-teman yang baik. Kak Harvey juga baik banget. Dari zaman PKKMB aku selalu kagum sama Kakak sampai mau naksir. Hehe.

Sekarang dua bulan kita udah selesai, Kak. Rasanya terima kasih aja nggak akan cukup, ya. Meski awalnya aku sebel sama Kak Harvey yang menumbalkan namaku tiba-tiba, sekarang rasanya malah nggak rela kalau hukumannya udahan.

Hehe. Plin-plan, ya? Dasar cewek!
Baik-baik terus ya, Kak.
Kita mungkin bakal jarang ketemu lagi, kayak dulu.

With love,
Hasya Audrey

Isi surat Hasya manis seperti orangnya. Membuat dada Harvey menghangat seketika. Usai membaca surat Hasya, Harvey memasukkan kembali kertas itu ke tempat semula. Senyum tidak luntur dari bibirnya, tapi kali ini matanya turut berkaca-kaca. Harvey berjalan cepat menuju di mana Hasya berada. Begitu dia tiba, Hasya berbalik menatapnya.

“Terlalu menggelikan, ya, Kak?”

Harvey tidak membalas pertanyaan Hasya. Sebagai gantinya, cowok itu membawa tubuh mungil Hasya ke dalam dekapannya.

“Sebentar aja, ya, Sya. Aku janji cuma sebentar.”

Crush Satu SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang