Selamat malam dan Selamat berbuka puasa bagi yang menjalankan!
Maaf beribu maaf karena sudah 25 hari nyaris sebulan baru lanjut lagi...
Well, beberapa hari yang lalu memang sempat disibukin sama tugas kuliah, sisanya adalah MALAS. Pake huruf kapital. Entah kenapa aku lagi moody banget. Malas ngetiknya parah. jangankan ngetik, buat hidupin laptop aja susahnya minta ampun. Beberapa halaman udah aku tulis dari tanggal 15, tapi berhenti dan baru lanjut lagi tadi siang. niatnya mau ngepost sebelum buka, eh malah molor.
HAPPY READING!
AWAS TYPO!
oOoOoOoOo
Nicole berjalan malas di samping Miley. Setengah jam yang lalu, dia selesai mengajar dan sahabatnya itu langsung menyeretnya ke Coffee, sebuah tempat yang baru di buka beberapa hari yang lalu. Tempat itu nyaman, interiornya dibuat seperti rumah pedesaan Inggris yang hangat. Meskipun begitu, hal tersebut tidak mengubah moodnya yang sudah memburuk tiga hari belakangan, terhitung dari dia mendapati Lauren tanpa busana di atas ranjang Justin. Hah! Bahkan bajingan itu belum mencoba menghubunginya sama sekali.
"Bajingan?" Miley mengerutkan hidungnya.
Nicole tersadar bahwa dia baru saja menyuarakan pikirannya keras-keras.
Tanpa menjawab kebingungan Miley, dia segera duduk di dekat jendela lebar yang mengarah pada jalanan di depan.
"Maksudmu Justin?" Miley bertanya lagi setelah dia duduk di hadapan Nicole.
Nicole memutar bola matanya. "Apa masuk akal kalau aku mengharapkan telepon dari Lauren?"
Miley berdecak. "Ya ampun, Nic. Simpanlah taringmu sebentar," sungutnya. "Yeah, meskipun lumayan ada perubahan mengingat kau sudah tidak meraung-raung lagi. Bagus kalau kau mempertahankan emosimu seperti ini. Bagus. Pertahankan!"
Nicole mendelik namun tidak berkomentar. Dia sudah cukup lelah mengatur anak didiknya, dan tidak perlu di tambah dengan perdebatan tidak penting dengan Miley. Lagipula, kenapa Miley selalu mengekorinya belakangan ini? "Seharusnya kau di apartemen, menunggu suamimu pulang."
Miley mengibaskan tangan. "Dia lembur. Dia sudah mengabariku tadi," jawabnya. "Well, aku akan memesan. Kau mau apa?"
"Terserah," balasnya tak acuh.
"Aku akan pesankan Justin untukmu."
"Ha ha. Lucu Miley." Nicole tertawa hambar.
Nicole menopang dagunya dengan tangan kanan, dan memperhatikan keramaian di luar sana. Seharusnya Justin sudah menghubunginya. Seperti yang dilakukan Jean ketika dia mendapati laki-laki itu tidur dengan asistennya. Jean menghubunginya tanpa henti, berharap bisa memberikan penjelasan padanya. Tapi apa yang dilakukan Justin? Laki-laki itu bilang mencintainya, bahkan mengajaknya menikah, tapi dia bahkan tidak melakukan apa-apa. Setidaknya ucapkan maaf, meskipun itu tidak akan mengubah apapun.
Apa Justin sama brengseknya dengan laki-laki lain?
Tentu saja, jawab pikirannya. Dia tidak akan tidur dengan wanita lain sementara kalian berdua mempersiapkan pernikahan, kalau dia pria baik-baik.
Bisa saja Justin di jebak, balas hatinya. Justin mencintaimu. Dia tidak akan tidur begitu saja dengan Lauren.
Di jebak? Suara di pikirannya terdengar sinis. Kalau begitu, seharusnya Justin sudah memberikan penjelasan. Bukannya menghilang. Bukankah begitu?
Nicole mengacak rambutnya putus asa. Dia mendongak begitu menyadari ada yang duduk di hadapanya. Dia baru saja akan mngomel pada Miley karena sahabatnya itu lama sekali, ketika melihat sosok di hadapannya bukan Miley sama sekali. Melainkan Lauren.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Apartment
أدب الهواةNICOLE selalu menganggap JUSTIN adalah sahabatnya, karena mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Namun, Justin selalu menyangkalnya. Alih-alih mengatakan bahwa mereka bersahabat, laki-laki itu malah dengan santainya berkata bahwa Nicole adalah ga...