XIX. MYSTERY

76 8 52
                                    

SIRIUS menguap lebar-lebar di ruang rekreasi saat dia terduduk di sofa. Saat itu dia, Remus, serta Peter sedang menunggu James selesai berpatroli. Ia menendang kakinya dan membuatnya naik turun di udara. "Aku mengantuk,"

Remus merotasikan bola matanya malas. "Oh. Bersabarlah, Pads," jedanya, Remus menutup buku yang barusan dia baca. "James sepertinya akan tiba sekitar 1 menit lagi--"

"Lebih tepatnya satu detik lagi." James muncul dibelakang Remus, membuat pemuda itu terjungkal karena terkejut. BRUKHHH!

Sirius terpingkal. "HAHAHAHA!" Gelak tawanya terdengar kencang di ruang rekreasi. Peter ikut terbawa suasana; terlihat dari wajahnya yang seketika berubah cerah dan ikut terbahak-bahak.

James membungkuk, "Hahaha! Astaga, astaga. Perutku sakit." Dia bergumam sambil mengusap perutnya sendiri.

Sang Arnamawa menyipitkan matanya, dia cemberut saat Sirius membantunya bangun.

"Look, he's pouting!" ejek Sirius, mengacungkan telunjuknya ke wajah Remus. Pemuda itu kemudian menepis tangan Sirius, "Diam, Pads."

James tersenyum hangat. Ia duduk disebelah Peter seolah-olah merangkulnya. "Sudah sudah. Kalau kau terus tertawa, kau bisa membangunkan yang lain lho,"

"Kau sendiri juga ikut tertawa, James." Peter angkat suara, sembari menggelengkan kepalanya.

•••

Lambat laun matahari mulai terbit di ufuk timur, menenggelamkan bulan dan muncul di langit pagi yang cukup terik.

Pelajaran Professor Fortescue sudah dimulai dari pukul 7 dini hari. Sirius menangkup wajahnya menggunakan tangannya. Dia mengantuk sekali.. ingin sekali tidur, tapi Professor Fortescue pasti tidak akan membiarkan Sirius tidur begitu saja.

"Hei, moony, ada permen tidak?" bisik Sirius, menyenggol bahu Remus.

Pemuda itu menggeleng. "Nope. Semalam kau sudah menghabiskan permenku, kalau kau lupa."

Sirius berdecak kesal, dia lanjut membenamkan wajahnya di kedua tangannya. Professor Fortescue berbicara didepan sambil sesekali menulis di papan tulis.

Bagaikan kalbu bak mentari yang halus, Marcella membenamkan kepalanya di kedua lengannya yang dilipat diatas meja. Matanya samar-samar menatap papan tulis, walau pendengarannya masih jelas.

Sesekali melirik ke Isabella, dia membuat gestur-gestur yang nantinya berujung ke rencana mereka semalam.

Soal luka di tangan Addison masih menjadi misteri. Secercah cahaya menghambat penglihatan Elizabeth karena posisinya berada didekat jendela, tampak sedang merenung.

Alih-alih tipu daya yang tak gampang dipercaya, tapi bedanya, ini bukanlah tipu daya. Merupakan sebuah kejadian nyata.

Ucapan Professor Fortescue berhasil membangunkan Isabella yang setengah tertidur. Dia menengok kanan-kiri.

Mereka harus bergerak cepat.

•••

"Tapi tidak mungkin, kan, kalau luka itu muncul begitu saja di tangannya?" Elizabeth berseru kebingungan, tepat saat kelas Professor Fortescue selesai, ketiganya buru-buru lari pontang-panting keluar ruangan sebelum kekasih mereka bisa menyadari.

𝑯𝒆𝒂𝒗𝒆𝒏 𝒂𝒏𝒅 𝑩𝒂𝒄𝒌 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang