Aku pikir Ayah akan berkecamuk ketika tahu aku dekat dengan seorang laki-laki. Nyatanya pria itu justru terjerumus ke gelak tawanya yang renyah. Paman Abraxas tersenyum sembari menunjukkan gigi.
"Ella benar-benar sudah besar," cicitnya. Bibi Persephone mengelus punggung tangan Paman Abraxas, "She is. Apa laki-laki itu sesama darah murni, Ella?"
Telak! Aku terdiam. Yang lainnya juga ikut terdiam, Bibi Druella buru-buru menyenggol bahu Bibi Persephone. Membuat Bibi Persephone menyesal atas pertanyaan yang baru saja ia lontarkan tadi.
Aku tahu, aku tahu. Sudah menjadi tradisi bagi keluarga Malfoy, Black, dan Van Dijk untuk menikah sesama pureblood/darah murni. Tak bisakah berjodoh tanpa memandang golongan darah? Ck, aku terbangun dari duduk ku.
Pertanyaan itu menyentuh hatiku, Bi. Seharusnya wanita itu memikir dulu sebelum mengatakannya. Aku dapat mendengar Ibu memanggil-manggil namaku, aku berusaha mengabaikan.
Aku memilih jalan sunyi untuk bersandar. Kubakar dupa rindu dan ku tutupi wajahku di antara dua lututku. Lututku terasa lemas, aku terduduk di dekat paving yang sedang ku sandar. Hingga sesaat kemudian aku mencium aroma asap rokok yang beterbangan, aku menoleh.
John Rosier menghisap rokok, kemudian mengambil kotak rokok di saku celananya. Berdiri kokoh disampingku, rahangnya tegas. Apa aku harus menarik saku bajunya untuk menyadarkan John dari lamunannya?
Aku menarik saku bajunya. John menoleh, tanpa ekspresi apapun. Wajahnya datar. Tetapi ia menaikkan kedua alisnya, "Apa?"
"Sedang apa kau disini?" Bukannya menjawab pertanyaan John, aku balik bertanya. John mengedikkan bahu. "Pubertas memang terkadang buruk, Marcella."
Maksudmu? Iya, memang benar kata John. Seharusnya ia menjawab pertanyaanku dulu, "Apa yang membuatmu berbicara seperti itu?" kilah ku curiga.
"Aku tahu, El. Aku mendengar percakapanmu dengan yang lain tadi di Malfoy Manor," John menghisap rokok terakhir. Keningku berkedut, sopankah begitu? Tak habis pikir.
"Sopankah begitu, John?" gerundel ku geram. John terkekeh, "Tidak. Namanya juga tak sengaja."
Aku terbangun dari menungan ku. "Katanya, kau menyukai si Lupin itu ya?"
"Remus saja, John. Kau tidak sedang menyebut nama orang yang berbahaya," Namun John tampak acuh.
Tidak biasanya dia seperti ini. Aku bahkan baru tahu dia sering kesini, menyendiri didekat paving halaman belakang Malfoy Manor. Evan Rosier harus mengajaknya bermain, mungkin.
𑁯꯭໑
Semenjak kejadian di paving, John menjadi akur dengan Marcella dan mengiriminya surat. Mengirim surat sebagai teman, tak lebih, kok. Jarang-jarang, sih. Paling John mengirimkan surat horror dengan embel-embel iseng.
Remus apa kabar? Satu surat saja belum ia kirimkan. Hey, Marcella merindukannya. Kemana saja pemuda yang wajahnya dipenuhi goresan itu?
"Ella? Wah, kau melamun." pungkas Addison mencantikkan jemarinya di depan wajah Marcella. "Hmm, mungkin memikirkan masa depannya dengan Remus," timpal Sirius. Marcella menjambak rambut panjangnya.
"Wow wow wow, hey hey! Lepaskan, aku berjanji tidak akan melapor pada Ayahmu!" pinta Sirius memohon-mohon. Sejurus, Marcella menyeringai seakan-akan kemenangan ada di tangan. Elizabeth menguap, "Aku mengantuk! Kapan kita bisa tidur?"
Pandangan mereka semua teralihkan ke James dan Isabella, yang sedari tadi diam tanpa suara. Tanpa Marcella sangka, keduanya telah tertidur lelap! Isabella bahkan menyenderkan kepalanya di bahu James.
"Aku tidak tahu mereka sudah berkencan." cibir Peter tak habis pikir. Elizabeth merangkul pundaknya perlahan, "Semuanya sudah tahu hal ini, Pete Honey. Kau serius belum tahu?"
Addison menyela. "Tunggu tunggu, apa katamu tadi? Pete Honey? HAHAHA!" ejek Addison, membahana di ruang tamu rumah Marcella. Orangtua Marcella sedang mengurus pekerjaan mereka di Kementerian Sihir, mungkin sampai pagi. Agar tidak kesepian dan tidak hanya ditemani peri rumah saja, Marcella mengundang teman-temannya.
"Nona Marcella, apakah nyonya ingin sesuatu?" tanya Ernest -muncul begitu saja dibelakang Marcella, peri rumah milik Keluarga Van Dijk. Marcella menggeleng, "Aku akan memanggilmu kalau aku butuh, Ernest. Kau boleh pergi."
Ernest membungkukkan tubuhnya yang mungil di hadapan Marcella. "Terima kasih! Terima kasih!"
"Pantas Remus suka, orang baik toh." Sirius lagi-lagi mencibir. Marcella memutar bola matanya. Wajah moleknya bersinar di bawah bola lampu.
Hujan turun, dan Remus tak kunjung datang. Mengherankan bagi para Marauders ((terkecuali Remus)) dan Aristocrat melihat Marcella murung seperti itu.
Tanpa mereka sadari, sosok tinggi itu mendobrak pintu secara paksa dengan keadaan basah kuyup. Saat semuanya menoleh, sosok tadi terlihat familiar.
"Aku datang! Apa yang aku lewatkan?" tanyanya. Marcella memekik, "Remus!"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑯𝒆𝒂𝒗𝒆𝒏 𝒂𝒏𝒅 𝑩𝒂𝒄𝒌
Science Fictionㅤ ֹ ׅ ݊ ︵ ֹ ︵ ׅ ︵ ֹ 𐃐 ֹ ︵ ׅ ︵ ֹ ︵ ݊ ׅ 𝗩𝗼𝗹.ㅤ𝐈𝐈ㅤ/ 𝐈𝐍 𝐖𝐈𝐂𝐇ㅤㅤㅤ: Marcella Van Dijkㅤㅤㅤ telahㅤㅤㅤmengalihkanㅤㅤㅤ perhatian ㅤㅤㅤseorang ㅤㅤㅤ 𝗥𝗘𝗠𝗨𝗦 𝗟𝗨𝗣𝗜𝗡ㅤㅤㅤyang ㅤㅤㅤterobsesiㅤㅤㅤdanㅤㅤㅤrelaㅤㅤㅤmelakukan ㅤㅤㅤapa ㅤㅤㅤsaja ㅤㅤㅤdem...