3. Rumah Yang Berisik

275 50 19
                                    

3. Rumah Yang Berisik

Tidak ada yang menyangka bahwa mereka akan berkumpul terlebih dahulu di jembatan yang lebarnya lumayan. Entah kenapa mereka memilih tempat seperti itu, padahal air sungainya sangat kumuh dan jorok, bahkan warna airnya menghitam. Inilah pinggiran kota Jakarta yang tidak banyak diketahui orang-orang.

Bukan cuma Sevendret saja yang berkumpul, tetapi beberapa siswa laki-laki juga yang masih tergolong nakal, ada di sana. Mereka sepakat untuk membangun geng baru yang mereka beri nama, DELVARET. Geng ini masih dipimpin oleh Erikus, mengingat Erikus memang ditakuti oleh semua anak sekolah. Erikus bertekat untuk membalas dendam kepada geng motor yang telah menyerangnya dua bulan yang lalu.

Erikus berdiri di tengah-tengah di antara mereka. Ia berpidato layaknya jenderal yang sedang menabur semangat di antara pengikut-pengikutnya. Setelah lama panjang Erikus membacoti anak-anak buahnya, ia pun membubarkan mereka semua. Yang ada di sana pun bubar dari tempat itu lalu menyisakan Erikus dan kawan-kawannya di sana.

"Keputusan lo bener nih?" tanya Ayuza serius.

"Iya, lo yakin? kalau kita ngajak-ngajak mereka, nanti yang ada mereka gak aman," ujar Rama menambahkan.

"Bener juga kata Rama, Kus. Semakin banyak anggota semakin banyak korban," Baras menambah satu lagi.

"Keselamatan mereka juga harus kita pikirin, Kus," tambah lagi Sandi.

Erikus menghembuskan napas, lalu berjalan mendekat ke pinggir jembatan. Dia bersandar di tiang itu dan merenung. Perlahan Erikus bicara menghadap matahari yang hampir jatuh.

"Kalau gue bisa mengalahkan Sokata sendirian. Mungkin dari dulu udah gue bantai tuh, Sokata!" Perlahan Erikus merenungi.

"Gue paham perasaan lo. Kita semua di sini juga ngerasain sakit yang sama kayak apa yang lo rasain. Afre juga teman gue. Teman kita! Tapi lo jangan bersikap seolah-olah kita gak ngerasain apa yang lo rasain. Gue teman lo. Gue ada di pihak lo." Rama mendekat merangkul Erikus dari kanannya.

Kawan-kawannya yang lain melihat Rama yang mulai merangkul Erikus, maka mereka pun ikut serta dalam merangkul tubuh Erikus dengan penuh perasaan persahabatan.

"Gue berterima kasih banget sama lo semua. Lo semua bener-bener saudara gue," haru Erikus kepada teman-temannya.

Mereka semua saling merangkul dan berbagi perasaan yang sama. Suatu kasih sayang antara teman yang mendalam. Bahkan mungkin ikatan mereka kini bukan lagi teman, tetapi saudara. Jarang-jarang ada persahabatan yang seperti ini.

* * *

Malamnya, sekitar pukul tujuh malam, Erikus baru saja sampai di rumahnya yang terlihat suram. Baru saja ia masuk ke dalam halaman rumahnya, dirinya telah disambut oleh ibunya. Salam? Tidak! Senyuman? Tidak ada! Pelukan? Apa lagi! Hanya ada kalimat-kalimat ocehan yang siap mencincang habis hati Erikus, bak di cabik-cabik dengan gergaji mesin.

"Jam segini kamu baru pulang?!" teriak seorang perempuan paruh baya dari teras rumahnya.

Erikus memarkirkan motornya tanpa mengacuhkan ibunya sedikit pun. Tapi hatinya pasti dag dig dug.

"Kenapa nggak pulang aja sekalian!?!" sambung ibunya membentak keras.

Sambil membuka sepatunya di teras, Erikus masih cuek dan tidak mempedulikan apa pun yang didengarnya. Mungkin Erikus telah menon-aktifkan indera pendengarannya sebelum datang di rumah.

"Mau sampai kapan kamu begini mulu!?" bentak ibunya lagi.

Selepas membuka sepatu Erikus selonong masuk dan mencuci kakinya di kamar mandi. Anehnya ibunya masih saja terus mengoceh tiada henti.

ERIKUS [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang