10. Hari Ujian

164 40 9
                                    

10. Hari Ujian

Hari-hari ini pun berlalu dengan segala skenarionya hingga nyaris bertemu dengan hari ujian itu. Jumat, Sabtu, dan Minggu, adalah hari di mana Alena belajar keras agar bisa mendapatkan nilai yang terbaik di ulangan nanti. Dia bertekat kalau dirinya tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti semester-semester kemarin. Dia tak mau mengecewakan dirinya sendiri.

Sedangkan di sisi lain, Erikus sama sekali tidak membaca apa pun untuknya belajar. Dia hanya mendengarkan musik di kamarnya dengan volume yang tinggi. Erikus terlihat tidak peduli dengan adanya ujian nanti. Ia nampak tenang. Jika Erikus seperti ini kemungkinan dia akan tinggal kelas.

"Oh, iya! Besok ujian ya?" gumam Erikus bangkit dari baringnya. "Tapi kalau belajar ... belajar apa? Ya udahlah gak usah belajar." Erikus kembali berbaring.

Setenang itulah dia, di saat siswa dan siswi lain berambisi untuk mendapatkan nilai yang terbaik, dia malah bodo amat akan hal itu.

Hingga pagi datang dengan salam yang paling indah, dinaungi udara dingin menggigil tapi segar. Alena, dengan penuh ambisi yang bergejolak, siap menantang setiap soal ujian. Dia memiliki pena sebagai senjatanya dan isi kepala sebagai perisainya.

Satu kelas dibagi menjadi dua, sehingga siswa yang mengikuti ujian akan duduk di satu bangku sendirian. Alena dan Nisca berada di ruangan yang berbeda. Jadi mereka tidak bisa saling menyontek.

Tak lama kemudian, sang guru pengawas ujian memberikan kertas lembar soal kepadanya dan kertas lembar isi. Betapa tercengangnya Alena saat membaca soal-soal yang ternyata lebih sulit dari apa yang dibacanya kemarin. Alena mengira soalnya tidak akan serumit ini. Tetapi ada pula beberapa soal yang dimengerti olehnya.

Waktu ujian dimulai sampai 90 menit ke depan. Di saat itu juga kacau balau pikiran Alena. Dia termenung bingung harus menjawab apa, hingga pada akhirnya ia berusaha mengerjakan satu per satu soal yang menurutnya sulit itu.

Alena hampir selesai, dan waktu menunjukkan 18 menit lagi. Satu soal yang sulit, berhasil ia tuntaskan. Namun soal yang sulit lainnya masih terbilang banyak. Lalu ia terpaku pada satu soal itu sembari bersandar pada tangan kirinya sendiri.

Ia sedikit melirik ke arah guru pengawas yang sedang mengawas di barisan belakang. Kemudian diam-diam Alena memanggil temannya yang berada di samping seberang bangku Alena.

"Pssstt." Alena mencondongkan badannya mendekat ke samping.

Temanya menoleh, lalu bicara tanpa suara. "Kenapa?" tanyanya.

"Lo nomor tiga essay udah?" Alena suaranya pelan.

"Belum."

"Bohong?"

"Beneran." Temannya itu memperlihatkan kertas lembar isinya kepada Alena.

"Oh, ya udah." Alena kembali fokus pada kertas ujiannya.

Waktu terus berjalan mengejar Alena yang masih terjebak dalam keadaan bingung.

"Lima menit lagi!" lantang guru pengawas.

"Duhh gimana iniii!" guman Alena hampir gila.

Secara bersamaan, secarik kertas jatuh mengenai kaki Alena. Dia bingung siapa yang melempar kertas itu? Lalu ia mengambilnya dan membukanya perlahan. Itu adalah isi jawaban dari soal essay nomor satu sampai lima. Sungguh Alena sangat berterima kasih dengan orang yang telah melemparkan kertas itu untuknya. Dengan penuh semangat ia mengerjakan semuanya hingga tuntas di akhir-akhir waktu yang menjepit.

Alena berdiri maju ke depan dengan senyum sederhana. Ia mengumpulkan kertas ujiannya kemudian keluar dari ruangan itu. Keluarnya Alena langsung disambut pertanyaan dari Nisca yang menunggu.

ERIKUS [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang