8. Gue Punya Ide!

179 46 11
                                    

8. Gue Punya Ide!

"Meskipun orang tua itu, ninggalin anaknya?"

"Iyalah! Meskipun orang tua lo udah ninggaln lo, lupain lo, nggak peduli lagi sama lo, sampai kapan pun dia tetap orang tua lo. Enggak ada yang namanya mantan orang tua," jelas Alena menjilati lagi es krimnya.

"Oh ...." Erikus pelan-pelan mengangguk.

"Kalau gue boleh tau ... emang apa yang ayah lo lakuin sampai bikin lo benci banget sama dia?" tanya Alena.

Erikus diam membisu. Untuk pertama kalinya ada seseorang yang bertanya seperti ini kepadanya.

"Maaf pertanyaan gue lancang. Gak papa kok kalau lo nggak mau jawab juga," lanjut Alena tak enak hati.

"Bukan gue nggak mau jawab. Cuma gue bingung, harus ceritainnya mulai dari mana dulu."

"Saking sulitnya buat diceritain?"

"Iya. Soalnya belum pernah ada orang yang nanya ke gue kayak gini, selain lo."

"Berarti gue doang yang lancang?"

"Enggak. Justru gue senang ada orang yang nanya gitu. Gue jadi merasa ada yang merhatiin gue. Sebelumnya gue nggak pernah sama sekali diperhatiin kayak lo merhatiin gue," ungkap Erikus. Mereka kini semakin dekat dengan keberadaan motor Erikus, yang diparkirnya dengan sembarangan.

Lalu Erikus perlahan bercerita sedikit untuk Alena. "Kenapa gue bisa benci sama bokap gue, itu karena dia sering mukul nyokap gue. Bahkan pernah nyokap gue dipukul sampai pingsan. Dan itu semua gue alami dari waktu gue masih kelas dua SD. Gue sama kakak gue jadi saksi atas kekejaman yang dilakuin bokap ke nyokap. Hampir setiap malam mereka selalu ribut. Dan hampir setiap malam, gue sama kakak gue nggak pernah bisa tidur. Maksudnya nggak bisa tidur bukan berarti gue nggak ngantuk. Gue ngantuk, tapi gue tahan. Karna gue khawatir ketika gue tidur nyokap gue diapa-apain sama bokap."

"Jadi selama ini lo nggak pernah tidur?" tanya Alena serius.

"Enggak. Gue udah bisa tidur nyenyak. Mereka udah cerai pas gue kelas dua SMP."

"Selama itu lo nggak bisa pernah tidur?" Alena suaranya gemetar.

"Iya. Tapi nyokap gue yang selama ini gue bela, dia malah kayak gitu. Nggak menghargai pembelaan dari gue."

"Kok lo bisa sih sekuat itu?" suara gemetar Alena semakin jelas meringis menangis.

"Lo nangis?" tanya Erikus.

Suara tangisnya menyaring sebentar. "Lo nggak merasa hidup lo berat?"

"Enggak. Cuma segini mah enteng! Masih banyak kok orang yang hidupnya lebih berat."

"Tapi bokap lo masih sering hubungin lo, kan?"

"Enggak. Dia hilang kabar semenjak cerai."

Alena semakin kencang menangis. Dia menaruh wajahnya yang berlinang air mata di pundak kanan Erikus hingga membasahinya.

"Kok lo nangis sih? Kan lo yang mau tau," Erikus mengembangkan tawanya, "ya udah jangan nangis lagi. Tuh motor gue!" ucap Erikus semakin mendekat kepada motornya.

Di sana ada ibu-ibu yang sedang berkumpul. Ibu-ibu itu sontak memindahkan pandangan mereka ke arah Erikus dan Alena. Erikus tidak mempedulikan itu lalu berusaha menurunkan Alena pelan-pelan dan mendudukkannya di teras ruko itu.

"Itu motormu?" tanya salah satu ibu-ibu.

"Iya, Bu!" jawab Erikus santun, sambil mencolokkan kunci motornya.

"Aih, saya kira mah motor siapa, Tong. Di sini mah jangan asal markirin motor. Banyak maling! Apa lagi motor kamu kayak begitu."

"Oh iya, Bu. Makasih!" Erikus mengangkat Alena, membantu Alena menaiki jok belakang motornya.

ERIKUS [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang