16. Perbincangan Malam

147 32 4
                                    

16. Perbincangan Malam

Malam itu Erikus dan Alena terlihat sedang berada di atas jembatan jalan besar. Sedang bersandar di pinggir jembatan seraya menatap keindahan Jakarta malam itu dengan cahaya-cahaya lampunya yang terang nan berkelap-kelip.

"Hidup kayak gini senang juga ya," gumam Erikus di samping kanan Alena. Dia masih menatap luas ke arah yang ia lihat di depannya saat itu.

Mengapa dia baru menyadari itu? Hidup dikerumuni oleh bunga-bunga bahagia itu memang menyenangkan bukan? Jika Erikus tidak mendapati bunga-bunga itu dari keluarganya maka ia berhak memperoleh itu dari gadis cantik yang ia sebut Alena. Terima kasih Alena. Berkatmu Erikus bisa menggapai puncak senyum yang benar-benar hasil dari hati.

"Aku berharap kamu tetap sama aku. Gak ada lagi selain kamu yang bisa bikin aku sebahagia ini," sambung Erikus melanjutkan gumamnya.

"Aku juga berharap kamu begitu. Kamu doang satu-satunya cowok yang memperlakukan aku spesial kayak gini selain ayah aku," ujar Alena menyahuti gumam Erikus.

"Tapi kayaknya aku masih kalah deh sama ayah kamu."

"Ayah aku tetap nomor satu, tapi kamu juga nomor satu kok. Bedanya dia ayah aku, kamu pacar aku."

"Iya iya deh, gimana kamu aja."

"Kamu tau nggak? Katanya waktu aku lahir, aku sempat dinyatakan meninggal," ucap Alena mengejutkan Erikus yang langsung menoleh.

"Hah? Bener? Gimana ceritanya?" Erikus dengan tatapan serius itu, siap mendengarkan Alena bercerita.

"Jadiiii, waktu aku udah lahir aku nggak nangis. Aku diem, jantung aku nggak berdetak, warna kulit aku juga pucat. Dokternya bilang katanya aku meninggal, tapi ayah aku nggak mau terima. Dia gendong aku sambil nangis. Eh, pas itu juga aku hidup lagi, terus nangis di genggaman ayah." Panjang cerita Alena pada Erikus yang terus masih menatapnya tanpa memalingkan wajahnya sedikit pun. Erikus benar-benar menjadi pendengar yang baik.

"Berarti kamu anak ajaib ya!" Erikus masih menatapnya kemudian perlahan memalingkan wajahnya ke arah depan.

"Ya enggaklah! Itu ada penyebabnya."

"Pantes aja ayah kamu ada di nomor satu, ternyata dia satu-satunya kehidupan kamu. Kamu harus berterima kasih ke ayah kamu."

"Aku selalu berterima kasih ke ayah kok. Ya, meskipun aku kurang percaya sama cerita itu sih."

"Kenapa nggak percaya?" Dia kembali menoleh pada Alena dengan raut wajah kebingungan.

"Ya siapa tau ayah cuma ngarang cerita itu biar aku nurut sama dia."

"Kalau beneran gimana?"

"Ya, nggak gimana-gimana juga sih." Alena menghela napasnya dalam-dalam, merasakan sejuknya malam itu. "Ayah, spesial banget buat aku. Cuma dia yang mau dengar keluhan aku. Sekarang aku kangen ayah. Ayah kapan pulang ya?"

"Bentar lagi juga pulang kok. Percaya deh sama aku."

"Eh, dulu waktu aku kecil aku pernah dimarahin sama ayah gara-gara manjat ke atas pohon."

"Hah?! Manjat pohon? Hahaha!"

"Iya tau! Soalnya pas aku turun aku malah kepeleset terus jatoh."

"Hahaha! Kok bisa sih? Lagian kamu itu cewek! Malah manjat pohon!"

"Biarin! Suka-suka aku!" Alena melipat lengannya sebentar lalu menoleh pada Erikus. "Kalau ayah kamu gimana?"

Dari tawa seketika berubah menjadi diam. Erikus terdiam menatap ke bawah jembatan dengan tatapan yang kosong. "Ayah ... dulu ayah baik banget sama aku. Aku juga harus berterima kasih sama ayah," katanya penuh kebohongan.

ERIKUS [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang