Mandy's Diary At Senior Grade
Justin mengajakku pergi melihat pertunjukan teater di sekolah malam ini. Dia mengajakku pergi. Untuk yang pertama kalinya. Dan rasanya kakiku lemas seperti jelly. Aku ingin menampar pipiku memastikan bahwa ini bukan mimpi.
"Aduh!" suara raunganku terdengar detik setelah tanganku melayang menampar pipiku sendiri. Panas. Berarti ini bukan mimpi, demi janggut Gandalf.
"Berhenti menampar pipimu karena kau tidak bermimpi!" suara cempereng Candice melengking dari arah pintu. Dia datang dengan mata berbinaran, menatapku seolah-olah aku adalah peti harta karun. Aku menghela napas panjang, kembali bertekur pada cermin mengamati wajahku sendiri, memastikan tidak ada jerawat di sana.
"Aku masih belum memercayai diriku sendiri. Gosh, dia Justin Bieber, Candice." Pada akhirnya aku menoleh ke belakang menatap Candice yang sudah rebahan di atas kasurku dengan tangan terkatung-katung di bawah ranjang. "Dia jarang mengajak cewek-cewek di sekitarnya kencan. Eh, ralat." Aku memukul kepalaku sendiri. Iblis di atas pundakku menggeleng-gelengkan kepala menganggap aku bodoh dalam pemilihan kata. Kencan? Haha, no. "Maksudku, pergi berdua, nonton pertunjukan teater, bedebahlah kau menyebutnya apa."
Bibir Candice dicebikkan ke bawah hiperbolis. Dia melompat dari ranjangku, berjalan riang seperti pegas yang ditekan menghampiriku dan memutar tubuhku menghadap cermin.
"Sebenarnya kau ini tidak kalah cantik daripada Rebekah atau April. Bahkan... kau lebih alami."
"Kecuali bagian pipiku yang ini. Seperti tumpukan lemak." Aku mendengus pelan menekan kedua pipiku, membuat bibirku terbuka membentuk huruf O.
"Tidak, badanmu sudah proposional, jadi berhentilah diet." Bola mata Candice terputar ke atas. "Kau sudah kurus, Demi Tuhan."
Aku mengatupkan bibir rapat membentuk satu garis lurus. Kuhela napas panjang, membiarkan paru-paruku bekerja mengumpulkan udara di dalam kamarku sebelum menengadah memandang Candice yang berdiri di belakangku.
"Trims, Candice. Kau sudah banyak membantuku sejauh ini."
Candice tersenyum kecil. Dia menepuk-nepukkan tangannya di atas pundakku, mengedikkan bahunya sambil mengernyitkan hidung. "Sekarang mandi dan bersiaplah sebelum Justin menjemputmu."
Debaran jantungku terdengar keras lagi. Aku curiga, entah iblis atau malaikat di atas pundakku ini yang mengetukkan tongkat mereka di sana sehingga membuatnya berdetak lebih keras sampai nyaris menjebol rongga dadaku. Candice menyarankanku untuk menarik napas dalam-dalam, mengeluarkannya perlahan, begitu berulang kali hingga perasaanku mulai tenang.
***
Sudah kukatakan berulang kali, aku akan menjadi pusat perhatian orang-orang yang menghadiri pertunjukan klub teater SMU Jordan. Pipiku nyaris terbakar lantaran panas mendapatkan tatapan dari berbagai macam sorot mata di sekitarku. Aku menggigit bibir bawahku, memain-mainkan jari-jariku melihat pandangan beragam dari mereka. Bola mataku sedikit melirik ke samping, melihat ekspresi apatis Justin yang tampak biasa saja. Tentu saja dia bersikap biasa saja. Apa bagusnya mengajak cewek cupu sepertiku ke sini?
Kami mengambil tempat duduk di barisan depan. Justin mendapatkan tiket VVIP, itulah sebabnya kami duduk di barisan depan. Aku bergerak-gerak gelisah, berdehem pelan merasakan kerongkonganku yang kering sambil mengedarkan pandangan ke seantero tempat.
"Kau baik-baik saja?" Justin bertanya mendadak di sampingku, menyadari kegelisahanku.
Senyum lebar terkembang di bibirku, menarik pipiku ke atas. Sial, itu senyum over dosis yang paling anti kuberikan pada siapapun. "I'm fine." Lebih baik aku mengalihkan pandanganku saja daripada mempermalukan diriku sendiri di depannya dengan wajah bodohku.