Mandy's Diary Today
Mungkin keputusan keluar dari Sparkle tidak mudah diterima oleh Ian. Tapi aku sudah bertekad tak ingin melanjutkan pekerjaanku di sana. Sekaligus tidak mau bertemu lagi dengan Rebekah. Aku ingin menghindari apapun yang bersangkut pautan dengan masa silam. Membuka diri dengan dunia yang lebih baru adalah pilihanku saat ini.
Seperti, well, dimulai dari menghirup udara bersih pagi hari di alun-alun kota sambil menikmati pemandangan pagi hari setelah hujan yang mengguyur tadi malam. Aku merapatkan jaket, meneruskan jalanku demi mendapatkan udara segar yang membantuku rileks. Sampai saat itu, aku masih memikirkan ucapan-ucapan Candice dan George. Bahkan beberapa hari ini aku tidak bisa berkonsentrasi dalam beraktivitas. Hampir satu jam itu kuhabiskan pagiku dengan berolahraga pagi sambil memikirkan banyak hal. Isobel sudah memberitahuku untuk tidak banyak pikiran. Bisa-bisa tingkat depresiku naik dari sedang menuju tinggi.
Tarik napas dan keluarkan dengan perlahan, Mandy. Kau bisa mengatasi semua ini secara mandiri.
Aku berhenti, berjengit kaget ketika kedua mataku menangkap sosok Justin yang berdiri tak jauh dariku. Mengerjapkan mata, aku pastikan itu hanya salah satu halusinasi gilaku. Aku menghembuskan napas berat menyadari bahwa sosok di depan sana benar Justin. Melengos, aku meneruskan langkahku, pura-pura tidak mengenalnya.
Dia hanya memandangku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Meski hanya sapaan. Begitu aku melenggang melewatinya, sudut mataku melirik ke arahnya sebentar. Dia membalas lirikanku dengan tatapan monotonnya. Beberapa langkah melewatinya, dia menarik lenganku, menahan langkahku. Aku berhenti, tapi enggan menoleh ke belakang.
"Mandy," sapanya.
Aku menarik tanganku darinya, tetap bersikeras tak mau menoleh. Jangankan menoleh. Membuka mulut untuk menjawab saja aku tidak mau.
"Apa kabar?"
Menghembuskan napas panjang, aku memilih untuk menjawabnya daripada terus-menerus berada di dekatnya. Untuk sekarang, aku tak mau melihatnya. Biar dia rasakan bagaimana enaknya kuabaikan. Biar dia tahu bagaimana rasanya, meski aku tak yakin dia memiliki perasaan untuk hal satu itu.
"Trust me," balasku setengah hati. "I'm fine." Lantas, melanjutkan langkahku meninggalkannya seorang diri di tempat yang sama. Aku mempercepat langkahku sebelum Justin menyusul atau memanggilku untuk berhenti.
Bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini? Hanya ada satu jawaban yang bersarang dalam kepalaku. Dia pasti mengikutiku kemana pun aku pergi. Terserah apa yang dilakukannya, aku tak peduli, dan aku tetap pada pendirianku untuk tidak memberitahunya tentang kehamilan ini. Dia tak berhak tahu.
***
"Aku sudah berulang kali mengatakannya padamu." Candice menggenggam kentang goreng yang dibuatkan Mom dalam tangannya, lalu menjejalkannya ke dalam mulut sampai penuh.
Ini yang ke sekian kalinya Candice menceramahiku, masih dengan topik dan solusi yang sama; aku memberitahu Justin lalu kami kembali seperti dulu. "Tidak semudah itu, Candice." Aku menata barang-barangku yang berserakan di atas meja rias.
Masih banyak barangku yang tertinggal di rumah Justin. Dia tampaknya tak mau mengirimkannya kemari. Dan, oh, termasuk Chocola. Tidak bisa kubayangkan seperti apa dia saat ini. Aku khawatir Chocola menjadi bulan-bulanan Justin dengan disiksa atau dilempar ke tempat penampungan hewan liar sebagai pelampiasan kekesalannya.
Mungkin aku meminta Candice mengambil Chocola dari rumah Justin. Cukup tadi pagi saja pertemuanku dengannya. Untuk melihat wajahnya saja aku tidak mau, apalagi bertemu dengannya lagi. Kututup pintu lemariku setelah menata pakaian-pakaianku yang tak pernah kujamah di rumah ini. Kebanyakan pakaian yang kutinggal di rumah Justin dibelikan olehnya, dari uangnya, dan memiliki brand terkenal dengan harga mahal. Aku tidak mau berhubungan lagi dengannya. Atau menyangkut hal-hal yang bersangkutan dengannya.