Mandy's Diary Today
-June-
Aku kehilangan kabar dari Candice beberapa hari kemudian. Lebih tepatnya tiga Minggu selanjutnya setelah pesan-pesan yang kukirim tak pernah direspon. Berkali-kali aku menghubungi, juga tidak ditanggapi olehnya. Sekarang, ponselnya tidak aktif. Aku selalu menelepon setiap menit memastikan dia tidak menonaktifkan ponselnya dalam jangka waktu panjang—atau lebih buruk lagi, mengganti nomornya. Namun fakta yang kudapat justru tidak sesuai ekspektasiku. Nomornya masih nonaktif.
Sampai akhir Juni ini. Aku benar-benar kehilangan kabar. Rumahnya sepi. Dan kata tetangganya, Candice tak pernah datang ke rumah itu dua hari setelah dia dibawa pulang dari rumah sakit oleh Nik. Bukan hanya nomor Candice, Nik pun sulit dihubungi. Tiap aku menelepon, hanya ada nada sambung yang terdengar.
Aku menggenggam ponselku, memikirkan keberadaan Candice dan Nik. Mengapa mereka menghilang begitu saja tanpa kabar? Mondar-mandir, aku menggigit buku-buku jariku, mencoba menghubungi Candice untuk yang ke sekian kalinya selama hampir satu bulan. Tak ada respon. Masih nonaktif. Aku mengerang putus asa, menghempaskan pantatku di sofa berlengan panjang untuk menenangkan pikiranku sejenak. Akhir-akhir ini aku jarang masuk ke kantor. Semua pekerjaanku kulakukan di rumah, sesuai perintah dokter Kylie. Aku mencoba untuk tidak stres, sungguh. Bagaimana aku bisa mencegah diriku agar tidak stres dan berpikir berat jika Candice saja tidak ada kabar?
Barulah dua hari kemudian, ada panggilan masuk dari nomor asing. Aku terperanjat dari kasurku siang harinya, lalu meraih benda pipih di atas nakas kamarku untuk menjawab telepon asing itu. Aku berdoa dalam hati bahwa yang menelepon adalah Candice.
"Hai, Mandy. Ini aku, Niklaus."
Oh, Pangeran Niklaus. Aku mendesah pendek. Tidak apa, aku juga senang bisa mendengar suara Nik, yang artinya membuka celah bagiku mencari tahu keberadaan Candice.
"Ya, Nik. Usaha yang bagus setelah hampir satu bulan ini aku mencoba menghubungimu namun ponselmu tidak pernah aktif." Bola mataku terputar ke atas, jengah.
"Maaf. Aku terpaksa melakukan ini." Nik menghela napas panjang di seberang sana. "Jangan mengkhawatirkan Candice. Dia baik-baik saja bersamaku. Aku membawanya ke luar negeri untuk terapi. Tidak ada yang mengetahui kejadian ini, kecuali kau. Aku tidak ingin keluargaku tahu. Aku akan kembali jika Candice sudah benar-benar sembuh."
Kutancapkan gigiku pada bibir bawahku. Aku beranjak dari ranjang, memandang jam di dinding yang menunjuk angka dua lebih seperempat. Aku menyapu rambutku ke belakang, membiarkannya jatuh membingkai wajahku dengan gerakan lembut.
Thank God. Candice baik-baik saja. Itu poin utamanya.
"Oke. Aku mengerti."
"Maaf, aku tidak memberitahumu. Dan juga maafkan sikap kasar Candice sebelum ini. Dia hanya depresi."
Aku mengangguk. Ucapan Nik membuatku tenang. Ya, walaupun aku sedih membayangkan tak pernah lagi melihat Candice karena dia terlanjur marah dan benci padaku. Pada sahabatnya yang menyebabkannya lumpuh. Aku menghembuskan napas panjang, menormalkan kerja paru-paruku.
"Aku memakluminya. Semoga dia bisa menemukan ketenangan bersamamu. Aku mendoakannya dari sini."
Terjadi keheningan panjang di dalam sana. Beberapa detik selanjutnya, Nik berdehem kecil, kemudian merendahkan suaranya menjadi bisikan kecil. Dan aku bisa mendengar suara Candice yang kurindukan, meski terdengar samar di seberang sana.