Mandy's Diary Today
Aku pastikan Mom tidak melihatku menangis, maka kuusap pipiku dan mengucek mata sampai keberadaan air mata itu lenyap. Untuk yang ke sekian kalinya aku mengamati diriku sendiri di depan kaca jendela, berharap tidak ada jejak air mata di sana.
Pintu terbuka setelah kupencet bel yang ke lima kali. Mom tampak di balik pintu mengenakan piyama tidurnya dan terkejut melihatku berdiri di depannya. Kepalanya dilongokkan ke depan, seperti mencari keberadaan seseorang di luar sana. Aku tahu dia mencari Justin. Apalagi menyadari bahwa aku sendirian, Mom membeliakkan matanya lebih lebar.
"Mandy, apa yang kau lakukan malam-malam begini?" tanyanya. "Ayo masuk."
Bibirku masih terbungkam enggan menjawab. Kujilat bibirku yang kering seraya melangkah masuk ke dalam dengan tangan Mom di sekitar pundakku. Dia menutup pintunya pelan, lantas menggiringku menuju ruang tamu untuk duduk sejenak dan menyuruhku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya, maka, aku hanya memasang senyum palsuku saat matanya bertemu dengan mataku.
"Aku hanya merindukanmu," kataku. Kali ini aku tidak berdusta. Yang ini sungguh-sungguh. Aku merindukan Mom karena hampir beberapa pekan ini kami tidak bertemu dan hanya berkomunikasi melalui telepon.
"Jangan bohong, Mandy." Mom meraih tanganku yang terlipat di atas pangkuanku. "Kau pasti sedang punya masalah. Ayo, katakan pada Mom."
Sejujurnya, aku memang membutuhkan Mom untuk memecahkan masalahku. Bukan karena dia seorang konsutan pernikahan, melainkan karena dia ibuku. Jadi dia tahu bagaimana perasaan putrinya, seperti yang kurasakan saat ini. Aku menghela napas pendek membalas pandangannya yang terlihat memaksaku untuk berbicara.
Kukulum bibirku beberapa detik lagi. Lantas menjawab, "I think, I don't deserve to be with him."
"Maksudmu... Justin?"
Aku mengangguk.
Kepala Mom digelengkan samar mendengar keluhanku. Dia melepas tanganku, memandangku dengan tatapan lembutnya. "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?"
"Universe doesn't let us to be a couple."
Lagi-lagi Mom terkejut mendengar penuturanku. Kedua alisnya disatukan, tidak sependapat dengan ucapanku. Dia beranjak dari sofa pendeknya, kemudian duduk di sampingku dan mengusap rambutku lembut.
"If the universe doesn't let you two, then why he chose you?" Mom menatapku dengan senyuman manis madu di bibirnya.
Kepalaku menengadah ke atas untuk bersipandang dengan lensa matanya yang senada dengan mataku. Aku menyunggingkan senyum simpul, melingkarkan tanganku memeluk pinggangnya dan menyandarkan kepalaku pada dadanya, merasakan sentuhan hangat dan lembut tangannya pada rambutku.
"Aku takut kehilangan dia, Mom. I do really love him. I keep so many secrets."
"I know, Sweetheart. The one thing you can do is just keep the truth. No secrets. You will be happy with him if you do."
Ucapannya menohok hatiku. Yang pertama, karena secara tidak langsung dia menyuruhku berkata jujur. Tapi... aku tidak bisa membayangkan bagaimana kecewa dan marahnya dia jika tahu bahwa aku menyembunyikan banyak hal di belakangnya.
Sedikit perasaanku tenang kembali mendapatkan pelukan hangat dari Mom. Dia menyarankan agar aku bisa tidur di kamarku yang dulu sambil menunggu pagi. Sementara dia membuatkan coklat panas untukku di dapur, aku berjalan menghampiri ruang kerja Dad. Mom bilang Dad ada di sana dengan berkas-berkasnya. Hampir dua hari ini dia tidak pergi praktek ke rumah sakit.