Justin's Diary Today
Sampai tengah malam. Dan aku masih menunggu di luar dengan pandangan kosong. Aku melihat kedua orangtua Mandy yang mondar-mandir dan saling berpelukan. Pemandangan yang sama, dulu, ketika Leslie meninggal. Mom menangis dalam pelukan Dad. Sampai hari pemakamannya tiba. Sedang aku hanya memandangi gundukan tanah yang masih baru tersebut bersama Katy yang memelukku, mengatakan tidak apa-apa karena aku masih memilikinya.
Augustus membawa Tatia yang masih menangis tersedu-sedu pergi. Melewatiku, dia memberi kode untuk tetap di sana sedangkan dia harus menenangkan istrinya yang masih syok mendengar kabar ini. Aku hanya mengamati mereka sampai menghilang di balik tembok, duduk di ruang tunggu sendirian.
Menghembuskan napas berat, aku menundukkan kepalaku, memandangi petak lantai keramik di bawah sana. Pikiranku kacau, seperti ada yang masuk ke dalam kepalaku dan mengacaukan kabel-kabel otakku. Aku tak dapat berpikir jernih. Rasanya ingin kutinju apapun di sekitarku.
"Justin."
Kepalaku tersentak menengadah ke atas mendengar sapaan seseorang. Di samping, kulihat George yang berdiri dengan pandangan menyesalnya. Dia menghela napas pendek, duduk di sebelahku tanpa permisi.
"Aku melihatmu di kapel tadi. Aku ingin menghampirimu, tapi... tampaknya kau sangat khusyuk berdoa," lanjutnya.
"Aku merasakan kehadiranmu," balasku pendek. Seperti sebelum ini, aku tahu dia akan datang kemari dan menengok keadaannya. Sebab satu-satunya orang asing yang kuhubungi perihal kecelakaan Mandy adalah dia. "Kau tahu dia membenciku untuk sekarang." Aku memainkan jari-jari tanganku yang terpangku. "Dan aku bisa membayangkan bagaimana keadaannya jika dia tidak bersamaku. Rebekah tidak akan mencoba mencelakakannya jika aku tidak membela Mandy darinya dengan mempermalukan jalang itu. Mandy juga tidak akan terperosok ke danau jika tidak menghindariku setelah kedatangan Alison. Dia akan bahagia jika tidak bersamaku." Kuhela napas panjang. Pada akhirnya, aku menoleh ke samping, berpandangan dengannya. "Mungkin jika Tuhan memberikan keselamatan padanya dan menolak menerima minta maafku... pastikan dia aman dan bahagia denganmu." Aku mengatakan itu dengan sungguh-sungguh. Sebab yang kuutamakan adalah kebahagiaannya. Walaupun bukan aku sumber bahagianya. "And be a good father to my child."
Seolah ada yang salah dengan kalimatku, dia tertawa pendek. Ditepuknya pundakku berkali-kali, seperti seorang teman lama yang cukup akrab.
"Justin, kau memang pintar. Tapi kadang kau juga bisa sangat bodoh," celaahnya. "Apa yang selama ini kukatakan padamu, well, aku tak sungguh-sungguh. Oke, aku mengaku padamu bahwa aku sangat menggilai istrimu, sejak dulu, sebelum kau memerhatikannya. Akan tetapi, sebesar apapun rasa cintaku padanya, semua itu tak akan berarti apa-apa baginya. Aku kira kau mau mempertahankan apa yang seharusnya kau pertahankan setelah mendengar ancamanku. Tapi, aku cukup kecewa denganmu." Belum pernah sekali pun aku melihat senyum sederhana miliknya. Dia mengusap bahuku. "Her love beckons to you. Follow."
"Dalam situasi seperti ini, sebenarnya kau bisa dengan leluasa mengambilnya." Aku menghela napas panjang.
"Ya. Mudah bagiku mendapatkannya. Namun tidak untuk cintanya. It's yours, not mine."
Aku terdiam. Selama ini aku salah menilainya. Tidak seharusnya aku memberikan tuduhan jahat padanya, yang jelas-jelas membantuku untuk mendapatkan Mandy. Mungkin, satu-satunya orang jahat di sini adalah aku. Bukan yang lain. Bukan Rebekah. Bukan Grandma. Bukan siapapun. Aku berpikir secara irasional. Dan kuakui, meskipun tidak menunjukkannya secara langsung, aku sangat protektif terhadapnya.