Mandy's Diary Today
"We're over."
Aku menunggu reaksinya. Dan aku sungguh-sungguh mengatakan itu, tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Pikiranku sudah kacau. Jadi, jangan salahkan tiap kata yang kukeluarkan karena bagiku, apa yang dikatakan Justin lebih menyakitkan.
"Oke."
Aku menelengkan kepala ke satu sisi mendengar jawabannya. Dia menyanggupinya? Dia mengatakan 'oke'? Dia mengatakan oke dengan ekspresi datar seperti itu seolah-olah apa yang kukatakan bukanlah tanpa arti dan tak bernilai. Aku menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-paruku dengan cukup oksigen hanya untuk menenangkan diriku sendiri. Be gentle, Mandy. Kali ini aku tak akan mau mengalah dan luluh padanya. Peduli setan. Aku sudah kacau dan tidak mau semakin memperumit keadaan.
"Oke," aku mengulang jawabannya, menegaskan keseriusanku. Selanjutnya, kubalikkan badanku, tidak mau memandangnya lagi, sekaligus menyembunyikan ekspresi terlukaku di depannya. Dia tak akan peduli lagi pada apapun saat ini. Dan aku sangsi, apakah dia masih peduli jika terjadi sesuatu yang buruk padaku. Atau ini hanya kemarahan sebentar dan dia merajukku seperti biasanya hingga membuatku luluh?
Aku sengaja mengulur waktu, menunggunya memanggil namaku. Namun tak kudengar apapun darinya kecuali keheningan panjang. Aku mengerucutkan bibir miring, menganggap ini benar-benar selesai.
Oke.
Detik selanjutnya, aku mengeratkan syal di leherku, merapatkan mantel, lantas melenggang keluar kamar. Sungguh keluar dari kamar. Juga keluar dari rumah meskipun angin dingin berembus mengerikan di luar sana.
Sepuluh langkah, aku tidak mendengar tegurannya di belakang sana.
Tujuhbelas langkah, masih tak ada suara apapun. Hingga sampai di depan pintu rumah. Aku menoleh ke belakang, tak ada siapapun di sana.
Oke.
Dan kulanjutkan langkahku pergi tanpa membawa apapun kecuali tas yang kupungut dari tiang gantungan untuk pergi. Kemanapun, asal tidak menetap di rumah ini.
-oOo-
Justin's Diary Today
"Oke," balasnya.
Saat aku menghembuskan napas, dia sudah berbalik badan membelakangiku. Selama beberapa saat dia berdiam diri, dan aku pikir dia sedang memikirkan sesuatu, tentang apakah dia pergi, atau apakah dia berbalik dan memandangku sekali lagi. Atau dia pikir aku bercanda, menganggapnya enteng seperti biasa, merayunya, lalu selesai.
Tapi kali ini, apa yang diancamnya memang selesai. Semuanya selesai dan aku bisa mengutuk hidupku sendiri setelah ini.
Berbaliklah, Mandy. Please.
Mandy tak berbalik, tetap diam dalam kebisuannya. Lantas tak beberapa lama kemudian, dia melangkah pergi. Meninggalkan aku di tempat ini seorang diri dengan mengamati punggungnya sampai dia menghilang di balik tembok. Kedua kakiku seolah dibelenggu sampai membuatnya membeku dan sulit untuk digerakkan. Bukan seperti ini yang sebenarnya kuinginkan, berani sumpah. Aku tak pernah mengimpikan hal seperti ini. Namun secara tiba-tiba, ketika semuanya sempurna, jalannya putus. Hidupku lalu berantakan.
Dan aku menyebutnya karma.
Karma karena meninggalkan Alison tanpa kabar. Karma karena menjahili teman-temanku. Karma karena mempermalukan Rebekah. Karma karena membiarkan Mandy jatuh cinta padaku terlalu lama sedangkan aku tak pernah memedulikannya.