Mandy's Diary Today
Aku merasakan tangan yang hangat memelukku dari belakang saat kelopak mataku terbuka dan langsung menumbukkan pandangan ke arah dinding di mana aku melihat jarum jam yang sudah menunjuk angka tujuh. Aku telat bangun dan belum menyiapkan apapun! Dengan hati-hati, kusingkirkan tangan Justin yang memelukku dari belakang, lantas menyibak selimut dan meraih piyama tidurku. Aku menguncir rambutku asal-asalan seraya melenggang masuk ke dalam kamar mandi. Aku tidak mau membasahi rambutku sementara waktu, jadi aku memilih bathup daripada shower. Sambil menunggu bathup penuh dengan air, aku berdiri di depan cermin, mengamati wajahku yang tampak lelah, lantas membuka piyama tidurku dan menggantungnya di tiang gantungan. Kepalaku tertunduk bersamaan ketika tanganku terangkat. Aku menyapukan jari-jemariku di sekitar perutku. Sampai sekarang, belum ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana.
Suara air yang jatuh dari atas bathup menyadarkanku dari lamunan. Aku melenggang menghampiri bathup, memasukkan sabun cair ke dalam sana sampai menimbulkan busa yang banyak, baru masuk ke dalam bathup dan menyelami busa-busanya. Selama beberapa saat aku terdiam memandang langit-langit kamar mandi. Terdengar bunyi musik pelan di dalam kamar, pertanda bahwa Justin sudah bangun. Baru beberapa detik aku berpikir seperti itu, pintu kamar mandi terbuka. Kelambu plastik yang menyekat antara bathup dengan shower dibuka menimbulkan bunyi kretekan kecil. Aku menyunggingkan senyuman kecil pada Justin begitu dia menampakkan diri dari balik tirai dan duduk di sampingku.
"Aku lupa mengatakan informasi padamu," katanya tanpa mengalihkan kontak mata dariku.
Aku menyandarkan kepalaku pada tepi bathup, tersenyum sebagai responku. Mudah-mudahan saja bukan informasi yang buruk.
"What information?"
"Kakek dan nenekku sepakat mengadakan balls dan ini sangat penting," balasnya, yang praktis membuat kepalaku terangkat dari tepi bathup dengan ekspresi tercekat.
Lagi-lagi Dia-Yang-Namanya-Tidak-Boleh-Disebut. Mulutku terbuka kecil. Namun dengan segera aku mengatupkannya dan mengubah raut wajahku menanggapi kalimatnya yang setara dengan vonis mati hakim. Bibirku mengerucut ke depan, memberitahunya melalui bahasa tubuhku bahwa aku keberatan menghadiri balls itu.
"Uhm. Sepertinya... aku tidak bisa ikut—"
"Tidak ada alasan untuk tidak ikut." Jari telunjuknya teracung di depan wajahku. "Acaranya masih lama dan aku yakin kau tidak punya acara penting sampai batal hadir di acara keluargaku. Aku berharap kau datang, Mandy. Please?" Wajahnya tampak memohon. Sial, dia tahu aku tidak bisa menolak jika sudah melihat wajahnya seperti itu.
Aku mengerucutkan bibirku lagi. Iblis di belakangku menggerakkan kepalaku menjadi anggukan kecil. Justin tersenyum lebar atas balasanku, lantas dia mengacak-acak poniku yang kusisir miring dan memberikan ciuman pada puncak kepalaku.
"Aku akan turun ke lantai bawah kalau begitu." Dia beranjak pergi tanpa menyibak tirai bathupku. Sebelum menyentuh kenop pintu, aku memanggilnya, membuatnya berhenti dan berbalik ke belakang.
"Kau tidak mau bergabung?" Aku memberinya tatapan menggoda sambil menggigir bibir bawahku yang melengkung membentuk senyuman lebar.
Bibirnya mencebik ke bawah. "Well, kalau aku bergabung denganmu, kita berdua bisa terlambat sarapan, terlambat kerja, dan terlambat segalanya."
Bola mataku terputar ke atas. Tapi ada benarnya juga. Dia tertawa kecil melihat ekspresiku, lantas melenggang pergi menutup pintu kamar mandi meninggalkanku sendirian di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Confession Of Drama Queen (by Loveyta Chen)
Fiksi Penggemarthis story is NOT mine.