Mandy's Diary Today
"Mandy."
Aku mendengar suara Justin yang rendah di belakangku, membuatku mematikan kompor dan menoleh ke arahnya. Saat aku memutar badanku untuk membalas pandangan fluktuatif yang tergambar dari wajahnya.
"Ya?" tanyaku penasaran melihat perubahan air mukanya. Beberapa menit sebelumnya dia terlihat sumringah, mengapa sekarang kelihatan seperti itu? Aku bisa mendengar bunyi detak jantungku saat dia memandangku dari balik matanya yang terpicing tajam.
"Kau kehilangan sesuatu di sini?" Dia berdehem kecil, menegakkan dagunya memperlihatkan wajah tegas.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Belum pernah kulihat Justin menampilkan wajah semurka itu. Kesalahan apa yang kuperbuat hingga membuatnya tampak marah? Aku mengusap tanganku yang dingin pada blusku, lalu menggelengkan kepala.
"Entahlah. Aku tidak merasa kehilangan sesuatu di sini."
Bibirnya mencebik sedang kepalanya mengangguk samar. Dia menyodorkan sesuatu padaku, seperti sebuah kertas lusuh dan itu sukses membuat jantungku melompat naik sampai di mulutku. Aku tidak dapat bergerak sedikit pun melihat lembaran kertas dengan logo rumah sakit tempat dokter Kylie praktek. Sekali lagi aku menelan ludah dengan susah payah. Takut-takut, aku meliriknya. Ekspresi murkanya masih ada, membuat lututku lemas detik ini.
"Kurasa, ini milikmu." Dia menelengkan kepalanya ke satu sisi menyerahkan surat keterangan dokter itu. Surat keterangan dari dokter Kylie yang memang kucari-cari keberadaannya dan kuasumsikan jatuh di dapur ketika aku berniat membakarnya. Surat keterangan bahwa aku mandul. Aku menggeleng samar, mengalihkan kontak mataku darinya, lebih memilih memandang lantai.
"Kenapa tidak kau ambil?" dia melanjutkan, masih menyodorkan kertas itu di depanku tanpa perubahan intonasi yang semakin membuat perut dan dadaku bergolak hebat.
"Maaf," bisikku, lebih mendekati nada bergetar.
"Maaf karena menyembunyikan ini dariku, hm?" Nadanya direndahkan beberapa oktaf, berhasil membuat air mataku berkumpul tergenang di pelupuk mataku. Merasa bersalah dan ketakutan di waktu yang sama.
"Sorry, I'm so sorry." Pada akhirnya, aku mengangkat kepalaku menampakkan wajah menyesal sementara mataku yang basah mulai menghalangi jarak pandangku yang bunar. Dan ketika aku mengerjapkan mataku mencoba menghilangkan kebunaran itu, dua tetes air mata turun di kedua pipiku. "I was afraid."
"Afraid of what?!" Kali ini dia meninggikan nadanya. "Apa yang kau takutkan sampai kau menyembunyikan sesuatu sepenting ini, Amanda?!"
Dia bahkan memanggil nama terangku. Sudah pasti dia murka, benar-benar murka. Aku tak dapat menjawab pertanyaannya yang diucapkan dalam intonasi tinggi. Lidahku kelu, rasanya seolah ada yang menancapkan paku di sana sehingga membuatku tidak sanggup berkata-kata selain suara isak tangis kecil yang lolos dari bibirku.
"I won't to lost you," hingga akhirnya kata-kata itu berhasil keluar setelah aku mati-matian mencoba. Aku menggelengkan kepalaku samar, lantas maju ke depan dan menyentuh tangannya. "I'm sorry."
"You disappointed me." Dia melepas tanganku, lalu meremas kertas di tangannya menjadi butalan kecil dan menjatuhkannya di bawah kakiku. "I trust you. Always trust you."
"Yeah I know," aku mengangkat kepalaku, tidak memedulikan deraian air mata yang turun secara beruntun bagaikan tetesan hujan di kaca jendela, menarik tangannya dan menggenggamnya lagi. "I know I made a mistake. I'm sorry. I just won't to lost you and make you disappointed. Please." Aku merajuk di tengah isak tangisku.