Dua orang remaja sedang berdiri di pinggir ring ice-skating di sebuah mal. Tempat itu sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang menarik uang di ATM. Setelah berlari-lari mencari tempat, akhirnya mereka mendapatkan tempat yang pas.
"Jadi, apa yang mau lo bicarakan?" tanya sang gadis ketus. "Gue nggak bisa lama-lama. Masih banyak hal yang harus gue lakuin."
"Oke. Langsung saja. Jadi, saya dapat misi dari bos saya untuk merekrut orang-orang yang memiliki kelebihan di sekitar saya, dan itu termasuk anda."
Gadis itu mengangguk. "Oke. Untuk apa?"
"Saya mendapat misi untuk merekrut orang-orang ini untuk membunuh seorang peretas bernama Crazy Diamond. Apakah anda pernah mendengarnya?"
Sang gadis menelan ludah. Tentu saja dia tahu. Sebagai seorang phantom thief, Crazy Diamond adalah salah satu orang yang sering dibicarakan dikalangannya. Entah karena kelihaiannya, atau karena cetak biru bangunan penting yang kerap ia bocorkan di deep web.
"Kau mau membunuh Crazy Diamond? Untuk apa?"
Sang pria dengan cepat mengeluarkan ponselnya, dan nampak sebuah bounty flyer. Kepala Crazy Diamond dihargai sebanyak 1 miliar USD.
"Bos saya menginginkan uang ini. Kalau kau mau membantu saya merancang rencana dan membunuh gadis ini."
Gadis itu ternganga. 1% dari 1 miliar USD kira-kira sudah mencapai 10 juta dolar, alias 150 miliar Rupiah. Hanya dengan melacak bisa dapet segitu? Bisa jadi orang kaya baru gue! Pantas banyak yang mau ikutan!
Tapi, gadis itu buru-buru menggeleng. "Gue bisa mati kalau ikutan begini. Kau tahu, kan, sudah banyak orang yang tewas dalam perjalanan menemukan gadis ini."
"Tidak akan kalau kau menemukan titik lemah dari gadis ini. Kau, kan, seorang pencuri. Pasti bisa," sahut sang pria.
Gadis itu terkejut. "Lo tahu kalau gue phantom thief?"
"Jelas. Karena itu saya mengajak kau mengobrol. Saya ingin kau-"
Belum sempat pria itu menyelesaikan kata-katanya, sang gadis mengeluarkan sebuah kartu dan melemparnya. Sang pria tidak menghindar, yang membuat kartu itu menancap di bahunya. Pria itu tidak mengerang kesakitan. Dia hanya terdiam, menatap kartu itu.
Sang gadis terkejut. "K-Kau ... "
"Sebetulnya, saya tidak mau membongkar rahasia terbesar saya. Saya bukan manusia. Lebih tepatnya, bukan manusia biasa."
Gadis itu berusaha tersenyum. Pantas dia tidak kenapa-napa! Kartu itu mengandung besi titanium yang dapat memotong apa saja. Kalau dia manusia, seharusnya dia terluka, pikirnya.
"Manusia atau bukan, gue nggak akan mau ikutan misi lo buat membunuh Crazy Diamond. Mau gue diancam gimanapun, nggak akan gue lakuin."
Sang pria nampak marah dengan respon sang gadis. Namun, dia mengatur nafas, lalu tersenyum. "Baik kalau begitu."
"Ingat. Jangan beritahu siapa-siapa perihal pertemuan kita kali ini. Termasuk bos lo. Kalau nggak, lo akan berakhir seperti 30 orang sebelumnya," ancam gadis itu sambil menodongkan senjata.
Pria itu mengangguk. "Baik. Akan saya taati."
***
Tiara menghempaskan diri di kasur, setelah berjalan-jalan cukup lama dengan Lisa. Jam menunjukkan angka 11:29, dan anehnya Tiara sudah lelah. Padahal, biasanya, jam segini dia masih suka berselancar di internet, sibuk meretas website.
Dan tiba-tiba saja, terdengar suara telepon berdering.
Tiara berjalan dengan gontai menuju telepon rumah, yang kebetulan berada di lantai bawah. Begitu akhirnya dia berhasil mengangkat, telepon tiba-tiba mati.
Sok asik banget, sih! rutuk Tiara dalam hati, sambil menaruh telepon dengan kasar. Diapun kembali ke kamarnya dengan kesal.
Sesampainya di kamarnya, Tiara kembali menghempaskan badannya di kasur. Tiara menatap langit-langit dengan tatapan kosong.
Kira-kira, apa yang sedang Arkan lakukan sekarang, ya? begitu pikir Tiara.
Tiara terus memikirkan sosok Arkan itu. Rambut belah tengahnya. Kacamatanya. Cara berpakaiannya pada hari itu. Tatapan kosong yang disertai oleh senyum tipisnya yang nampak manis itu.
Itu orang kalau dipikirin lagi rasanya cakep juga, ya, pikir Tiara sambil tersenyum-senyum sendiri.
Namun, Tiara buru-buru menggeleng-gelengkan kepala, menghapus pikiran itu. Nggak, nggak. Dia itu ganteng, dan banyak peminatnya. Nggak mungkin dia mau sama gue. Gue nggak mau patah hati lagi.
Tiara memejamkan matanya, berusaha untuk tidur. Namun, tiba-tiba saja, terdengar suara-suara ketukan aneh. Tiara berusaha mengacuhkan suara-suara itu. Namun, gagal. Semakin diacuhkan, semakin terbayang.
Tiara yang sudah muak memutuskan untuk mengeceknya. Dia membuka helaian gorden kamarnya, lalu mengintip. Diluar, nampak sesosok pria yang sedang melihat kearahnya. Matanya nampak bersinar, dan tatapannya sangat tajam. Hal itu membuat Tiara panik, dan terburu-buru menutup gorden kamarnya.
"Siapa dia?!" gumamnya panik.
Tiara dengan cepat menarik selimutnya, lalu berusaha menutup matanya rapat-rapat.
Apa jangan-jangan ini ada hubungannya dengan klien aneh yang waktu itu? Apa jangan-jangan ini adalah alasan Zirconium ingin menemui gue? Harus gue selidiki. Gue harus menemukan jawabannya, tekadnya.
***
Tiara membuka pintu kelas dengan pelan. Kala itu, hanya ada Arkan yang ada didalam. Dia sedang sibuk menggambar. Tiara melirik kearah earbuds yang Arkan kenakan. Earbuds itu berwarna putih terang.
Sudah jelas, itu adalah earbuds berjenis AirPods, rilisan iPhone.
"Eh, itu AirPods? Harganya berapaan, tuh?" tanya Tiara.
Arkan melirik kearah Tiara. Dia melepas sebelah AirPods-nya, lalu menjawab.
"Kalau yang asli harganya bisa lima juta. Tapi, karena saya pakai yang buatan Cina, harganya 500 ribu," jawabnya singkat.
"Oalah ... KW, ya, jatuhnya," balas Tiara sambil mengangguk- angguk pelan.
Alis Arkan terangkat sebelah, bingung.
"Ya ampun, KW. Kwalitas. Palsu," tambah Tiara, yang oh pelan oleh Arkan.
"Eh, kemarin kenapa ke-mal?" tanya Tiara, mengalihkan topik.
Memang, kemarin Tiara dan Lisa bertemu dengan Arkan dan temannya, Ali, di mal. Lisa akhirnya mengajak Arkan dan Ali untuk makan bersama, meski pada akhirnya suasana diantara mereka menjadi canggung.
"Oh, kemarin saya menemani Ali buat membeli canvas untuk tugas SBDP-nya," jawab Arkan.
Sejujurnya, Tiara sedikit heran. Bagaimana bisa dia mendapat teman, bahkan mengajaknya berjalan-jalan, meski ia baru saja masuk sekolah?
Tapi, Tiara tidak mau berpikir panjang. Bisa saja, orang tua mereka berteman, pikirnya.
Tiara dan Arkan hanya saling tatap. Suara ketukan jam terdengar dengan keras. Tiara rasanya ingin keluar saja. Namun, tidak bisa. Canggung. Itulah satu kata yang mendeskripsikan suasana saat ini.
Mata Tiara menyapu ke seluruh penjuru kelas. Diatas meja, nampak sebuah buku sketsa yang masih kosong.
"Itu buku gambar lo?" tanya Tiara.
Arkan ikut menatap buku gambar itu, lalu mengangguk statis.
"Wah, gue boleh lihat, nggak, gambarnya?"
Arkan nampak bingung dengan pertanyaan Tiara. Perlahan-lahan, dia mengambil buku gambar itu dan menyerahkannya pada Tiara.
![](https://img.wattpad.com/cover/356567536-288-k689786.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKANTARA I: MUTIARA
Ficção AdolescenteSekilas, Tiara nampak seperti gadis biasa. Nilai-nilainya rata-rata, dia tidak pandai dalam olahraga, dan mukanya tidak biasa saja. Dia juga berteman seperti anak-anak lainnya. Namun, ada satu rahasia yang dia tutup rapat-rapat dari teman-temannya...