Lisa dan Tiara berdiri diluar ruangan, hanya berdua saja. Memang, setelah akhirnya berhasil menemukan kamar Arkan, kedua gadis itu sempat bercakap sebentar sebelum akhirnya diusir dari kamar oleh Ali dan Angkasa.
"Dasar! Gue yang ngajak, malah kita yang diusir," gerutu Lisa marah.
"Mungkin, mereka lagi perlu privasi," sahut Tiara pelan.
"Tapi tetap saja, Ti. Nyebelin!"
Tiara tidak membalas gadis itu lebih lanjut. Tapi, terbesit pertanyaan di pikiran gadis itu. Mengapa kami berdua nggak boleh mendengarnya? Apa jangan-jangan ini ada hubungannya dengan dua polisi gadungan itu?
Kriek ...
Pintu dibuka dengan pelan. Kepala kedua gadis itu menoleh kearah pintu. Tepat saat itu, Ali dan Angkasa keluar dari ruangan.
"Apa, sih, yang kalian bicarakan di dalam? Harus banget, gitu, ngeluarin kita?" tanya Lisa, marah.
"Harus," jawab Ali singkat.
Lisa mulai mencak-mencak, hendak masuk. Tetapi, Ali mencegahnya. Saat itu juga, Angkasa mendekati Tiara dan mulai berbicara.
"Arkan ingin berbicara dengan lo."
Mendengar hal itu, Tiara menjadi senang. Gadis itu tersenyum, dan masuk dengan perlahan kedalam ruangan itu.
***
"Hai," sapa Arkan.
Tiara yang baru saja menutup pintu kamar segera berjalan mendekat. Gadis itu menatap pria itu sejenak. Pria itu terbaring lemah, dengan banyaknya jarum infus yang tertancap ditubuhnya. Kacamata yang biasanya menemani Arkan tergeletak di meja yang tidak jauh dari ranjangnya.
"Hai juga," jawab Tiara akhirnya.
Tiara mendudukkan diri di kursi yang berada di sebelah ranjang itu.
"Senang akhirnya bisa bertemu dengan lo," ucap gadis itu sambil tersenyum.
"Senang juga bisa bertemu dengan lo. Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Arkan.
Tiara tersenyum, lalu menggeleng. "Nggak apa-apa."
"Senyum lo terpaksa banget. Hidup lo pasti lagi nggak kenapa-napa," sanggah Arkan, yang membuat Tiara terkejut.
"Eh ... maaf kalau lo nggak nyaman dengan pertanyaan gue," tambah pria itu tiba-tiba, begitu melihat ekspresi Tiara yang terkejut sekaligus sedih.
Gadis itu lagi-lagi menggeleng, seraya tersenyum pedih. "Nggak apa-apa. Karena hidup gue juga lagi kenapa-napa."
Arkan hanya bisa bungkam mendengarnya. Jauh dalam lubuk hatinya, ingin sekali dia membantu gadis yang ada di hadapannya. Hanya saja, alasan dibalik dikirimnya pria itu ke sekolah ini menjadi penghalang untuknya.
"Kalau ada apa-apa, lebih baik jangan dipendam sendiri. Karena lo punya banyak bantuan. Lo punya Marsha, lo punya Lisa, dan lo punya gue." Arkan berkata sambil menatap langit-langit ruangan itu.
Mendengar kata-katanya, Tiara terdiam. Perasaannya bercampuraduk. Rindu, sedih, dan bahagia bersatu. Air mata sudah tidak bisa lagi ia bendung. Tetes demi tetes, air mata mengucur dari tubuhnya.
Apa gue harus cerita sama dia? Tapi, gue takut ...
"Tiara, ada satu hal yang harus lo tahu. Gue sebenarnya suka sama lo dari sejak gue pinjam buku catatan matematika. Dari pertama kali lihat, gue punya perasaan kalau lo adalah cewek yang kuat. Tapi, jangan pendam semuanya sendirian, ya?"
Tiara terkejut mendengar kata-kata orang itu. Sebenarnya, jauh dalam hati, gadis itu juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Tetapi, dia berusaha tidak menunjukkannya. Dia takut, akan berakhir seperti Alvin dahulu.
"Arkan ... " sahut gadis itu lirih.
Tiara mengambil selembar tisu dari dalam tasnya, lalu mengusap air matanya. Dia tidak tahu mau menjawab bagaimana. Tangannya gemetaran, detak jantungnya sudah tidak bisa ia kendalikan.
"Gue juga ... " sambung gadis itu. "Tapi ... "
"Kalau lo belum siap nggak apa-apa, kok. Gue tunggu sampai lo siap. Soalnya gue maunya lo."
Tiara terdiam. Lagi-lagi, air mata mengucur dari tubuhnya. Kata-kata yang dilontarkan pria itu berbeda dari saat-saat gadis itu dan Alvin baru saja masa-masa PDKT. Tetapi, ada satu kesamaan dari kalimat mereka. Kalimat mereka sama-sama manis, dan berhasil membuat gadis itu salah tingkah.
"Gue ... " ucap gadis itu tergagap, sambil berusaha menahan air matanya.
Arkan akhirnya melirik kearah gadis itu. Nampak Tiara yang berusaha menahan tangis. Melihat hal itu, Arkan menjadi tidak enak sendiri.
"Maaf ... " desis Arkan.
"Nggak apa-apa, kok. Bukan salah lo juga. Memang benar kalau gue sudah menyimpan semuanya sendirian. Gue takut. Gue takut orang-orang bakal menjauhi gue kalau rahasia gue terungkap. Gue takut membahayakan orang-orang yang gue suka, termasuk lo."
Gadis itu lagi-lagi mengusap air matanya. Dia ingin bercerita lebih banyak lagi kepada pria itu. Hanya saja, dia masih kurang percaya. Akankah dia berujung sama dengan Alvin? Atau justru malah lebih buruk? Apa Tiara bisa mempercayakan rahasia-rahasianya kepada pria aneh itu?
"Banyak pihak yang mau gue mati. Gue takut hidup. Gue takut ke sekolah. Gue takut orang-orang yang akrab dengan gue ternyata adalah salah satu orang yang mau gue mati. Satu-satunya orang yang berhasil memberikan rasa nyaman di sekolah cuma lo. Selama seminggu ini sekolah rasanya sepi tanpa lo."
Gadis itu bercerita, sambil bercucuran air mata. Dia berusaha untuk tidak menyebutkan Crazy Diamond atau meretas, tetapi dia sudah tidak tahan lagi. Dia harus bercerita, atau tidak hidupnya akan semakin mengerikan. Setidaknya, dengan bercerita, hidupnya akan lebih baik. Iya, kah?
"Semua itu salah. Banyak yang masih pengen lo hidup. Masih banyak yang nungguin lo. Termasuk gue," balas Arkan.
Tiara lagi-lagi mengucurkan air mata. "Gue mau banget. Gue mau. Gue juga suka sama lo."
Arkan tersenyum tipis. "Gue juga."
Tiara ikut tersenyum, seraya menghapus air matanya. Dan tepat saat itu, terdengar suara ketukan pintu yang sangat keras. Tiara reflek membukakan pintu, dan disana nampak seorang suster.
"Halo, Kak, jam besuk akan habis dalam lima menit, ya, Kak. Jadi, dimohon untuk segera keluar," kata sang suster.
"Oh, iya, iya. Sebentar," balas Tiara, lalu berjalan kembali ke tempat Arkan.
"Waktu gue udah habis. Gue duluan, ya," ucap gadis itu sambil tersenyum.
Arkan membalas tersenyum. "Goodbye, Ti. Sampai ketemu lagi pekan depan. Gue janji pekan depan gue bakal masuk sekolah."
Tiara tersenyum, lalu keluar dari ruangan bersamaan dengan seorang suster yang masuk.
Diluar ruangan, gadis itu disambut oleh Angkasa, Ali dan Lisa yang sudah menunggu diluar.
"Lama banget ngobrolnya!" tegur Lisa sambil berkacak pinggang.
"Ya, habisnya, gitu, deh. Terus, sekarang, kita mau kemana?" tanya Tiara, mengalihkan pembicaraan.
"Gimana kalau kita makan malam bareng di cafe?" ajak Ali, yang disetujui oleh Lisa dan Tiara. Mereka berempat pun masuk keluar rumah sakit, memesan taksi, lalu pergi ke cafe.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKANTARA I: MUTIARA
Teen FictionSekilas, Tiara nampak seperti gadis biasa. Nilai-nilainya rata-rata, dia tidak pandai dalam olahraga, dan mukanya tidak biasa saja. Dia juga berteman seperti anak-anak lainnya. Namun, ada satu rahasia yang dia tutup rapat-rapat dari teman-temannya...