11

22 9 0
                                    

"Tiara, hati-hati. Sakit."

"Iya, iya. Asal lo jangan banyak gerak aja. Susah tahu, ngeluarin puluhan peluru-peluru ini."

Saat ini, Arkan dan Tiara sedang berada di belakang gedung toko bangunan Mitra19. Area itu sudah jelas sepi, maka dari itu sulit sekali mencari bantuan.

"Gue udah pesan GoCar ke rumah sakit. Jalan kesana lagi macet, makannya rada lambat," ucap Tiara, seraya mengeluarkan peluru-pelutu itu.

Memang, Arkan dan Tiara bertemu di gang itu. Lebih tepatnya, Tiara melihat Arkan sedang terduduk di pinggir jalan, berusaha mengeluarkan peluru-peluru itu. Tiara akhirnya berinisiatif untuk mendekati pria itu terlebih dahulu.

"Kenapa lo lari? Kenapa nggak ke UKS aja?" Tiara bertanya, namun dengan nada mengeluh.

"Gue nggak mau menarik perhatian Ibu UKS. Bisa-bisa, dia pingsan dan gue keburu kehabisan darah," jawab Arkan. "Selain itu, pria itu bisa jadi masih disana, mencari-cari gue kesana kemari."

Tiara mengangguk-angguk pelan. "Alasan lo masuk akal. Tapi jangan dilakuin lagi. Kalau ada apa-apa, lo harus ke UKS dan ambil kotak P3K."

Arkan manggut-manggut. "Baik."

Tiara menatap mukanya dari atas ke bawah. Memang, ada beberapa percikan darah yang muncrat ke tubuhnya. Meski membuatnya nampak kotor, tapi di mata gadis itu, itu membuatnya nampak sangar.

"Kenapa lo melihat gue begitu?  Ada yang salah?" tanya Arkan, begitu sadar Tiara menatapnya.

"Ya iya, lah. Lo bersimpah darah. Mungkin, suster-nya bakal kaget melihat lo begitu amat. Padahal, lo masih pakai seragam sekolah. Lengkap, lagi." Tiara menjawab dengan jujur.

Arkan tertawa kecil. "Iya, sih. Kata-kata lo masuk akal."

Dan persis seperti dugaan mereka, tepat saat itu juga sang GoCar yang Tiara pesan sudah datang. Merekapun masuk kedalam, dan meleset ke rumah sakit.

***

"Syukurlah, ternyata mereka tidak apa-apa!" ucap Ibu Frida lega, setelah mendengar pesan dari Marsha dan Pak Dimas.

Memang, setelah Tiara dan Arkan masuk ke rumah sakit, gadis itu segera menelpon Pak Dimas serta Marsha untuk mengabari informasi saat ini. Dan dengan cepat mereka berdua melaporkannya pada Ibu Frida dan Ibu Andini.

"Dimana dia menemukannya? Kenapa dia tidak pergi ke UKS?" Ibu Frida menghujani Marsha dan Pak Dimas berbagai pertanyaan.

"Dia ditemukan nggak jauh dari sekolah, dekat toko Mitra19," jawab Pak Dimas. Ibu Frida tetap menghala nafas lega.

"Jadi bagaimana, Bu? Apa mau kita jenguk mereka berdua ke rumah sakit? Atau kita terus belajar saja seperti biasa?" tanya Marsha.

"Kamu dan Pak Dimas, susul mereka ke rumah sakit. Yang lain, lanjutkan saja belajar seperti biasa," titah Ibu Frida.

***

Saat ini, Tiara sedang terduduk diluar IGD Rumah Sakit Permata Indah. Tiara menatap bangku seberangnya dengan tatapan kosong. Namun, dalam hati, gadis itu dipenuhi dengan pikiran-pikiran negatif.

Memang, begitu sang GoCar sampai ke belakang Mitra19, sang sopir - yang kebetulan pernah mengangkut Tiara menggunakan motor - hampir saja pingsan melihat keberadaan mereka. Setelah Tiara dan Arkan menjelaskan panjang lebar, sang sopir akhirnya mau dan mengantar mereka ke rumah sakit. Selain itu, sang sopir berinisiatif untuk menyetir dengan cepat.

Kira-kira, bagaimana keadaannya, ya? Apa dia masih bisa diselamatkan? pikir gadis itu.

"Tiara ... !" pekik seseorang, yang membuat gadis itu menoleh kesamping.

Disana, nampak Marsha dan Pak Dimas yang sedang berjalan tergopoh-gopoh, mendekati Tiara.

"Arkan gimana, Ti?" tanya Pak Dimas, cemas.

"Nggak tahu, Pak. Tadi darah yang keluar banyak. Semoga dia nggak apa-apa," jawab Tiara lirih.

"Udah, Ti. Nggak apa-apa. Semoga saja, dia bertahan. Tadi, 'kan, dia bisa melawan dua orang itu tanpa apa-apa. Seharusnya, dia bisa bertahan sedikit lebih lama," ujar Marsha sambil menepuk-nepuk bahu Tiara.

Tiara hanya mengangguk, sambil tertunduk. 

Dan tak lama kemudian, sang suster keluar dari ruang IGD.

"Jadi, bagaimana keadaan Arkan, Sus?" tanya Tiara cemas.

"Untung saja, dia tidak apa-apa. Hanya saja, perlu waktu lama untuk memulihkan pria ini sampai benar-benar pulih," jawab sang suster, datar namun cemas.

Tiara, Marsha dan Pak Dimas tidak terkejut mendengar jawabannya. Namun, tetap saja. Mereka kecewa. 

"Kalau begitu, kira-kira kapan dia bisa keluar dari rumah sakit?" tanya Marsha. 

Sang suster mengambil buku catatan dari saku seragamnya, lalu dia buka. Setelah itu, dia menutupnya dan kembali menaruhnya dalam saku.

"Menurut perkiraan dokter kami, paling cepat dua minggu," jawab sang suster. 

Raut wajah ketiga orang itu tidak berubah. Dua minggu adalah waktu yang cukup cepat untuk memulihkan pria remaja yang misterius itu. Tetapi, menunggu selama dua minggu cukup membosankan. Terlebih lagi bagi Tiara.

"Jadi gimana, Pak? Kita mau pulang saja?" tanya Tiara lirih.

Pak Dimas mengangguk. "Lebih baik begitu, Ti. Kita lanjutkan saja hidup kita seperti biasa. Nanti, kalau kita bisa, lusa kita jenguk dia sekelas."

Tiara dan Marsha mengangguk. Mereka bertiga pun pergi meninggalkan rumah sakit, dan kembali ke sekolah.

***

Ruang IGD itu sepi. Hanya ada Arkan yang sedang terbaring di atas kasur. Banyak sekali selang infus yang ditancapkan pada remaja itu, sebagai upaya untuk mengobatinya. 

Mata pria itu menatap kosong, kearah langit-langit ruangan yang gelap. Pikirannya kosong, entah kemana.

BRAK .... !

Terdengar suara seseorang mendobrak ventilasi kamar rumah sakit itu. Tutup ventilasi itu terjaduh tepat di sebelah  Arkan yang mendengarnya terkejut dan berusaha bangkit. Namun, ia mengalami kesulitan karena banyaknya selang infus yang tertancap di tubuhnya.

"Siapa kau?" tanya Arkan, dengan suara keras.

"Tenang, ini cuma gue. Santai." Sang sosok menjawab. Sosok itu memiliki suara yang tidak terlalu berat, dan tidak terlalu ringan. 

Arkan menghela nafas lega, tanda ia mengenali sosok itu.

Arkan menoleh keatas, dan nampak seorang remaja sedang jongkok diatas ventilasi. Remaja itu memiliki rambut wolf cut dengan poni belah tengah. Remaja itu menoleh kebawah, dan melompat ke hadapan Arkan.

"Ada apa gerangan?" tanya Arkan datar.

"Gue dikirim kesini sama Tommy Highfields," jawab remaja itu sambil membersihkan pakaiannya yang dipenuhi debu.

"Tuhan, ternyata ventilasi itu kotor banget. Gue heran kenapa Phantom Venomer bisa kuat disana," gerutu remaja itu.

Arkan menyengir. "Lo kenal Phantom Venomer?"

"Uh, kenal. Dia sekelas sama gue di sekolah."

"Lo sekolah di Insan Sejahtera juga? Gue nggak pernah lihat lo di sekolah," sahut Arkan tidak percaya.

"Karena gue jarang keluar kelas. Tiap hari gue kerjaannya di kelas, main sama Fahri dan Baim."

"Kembali ke topik awal. Kenapa lo dikirim Tommy Highfields kesini?"

"Sebenernya, gue diminta sama Tommy buat ngelakuin banyak hal. Dimulai dari interogasi kenapa lo ngerusak rencana dia, sampai bawa lo balik ke Cikarang," jawab pria itu.

Mendengar jawaban remaja itu, Arkan bangkit. Dia mengambil salah satu tiang infus dan menodongkannya pada remaja itu.

"Kenapa lo nodong begitu? Santai aja. Gue bertahun-tahun lebih muda dari lo. Kekuatan gue nggak sebesar lo," tanya remaja itu sambil menyeringai.

"Karena lo Mad Hatter, sang pembunuh bayaran. Gue harus tetap waspada, takutnya lo menyembunyikan sesuatu di kamar gue."

ARKANTARA I: MUTIARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang