10

26 11 0
                                    

Puluhan siswa yang berada diluar hanya terduduk diluar, sementara Ibu Andini pergi memberitahu Ibu Kepala Sekolah perihal pertarungan ini.

"Aneh, kelas-kelas lain nggak ada razia dari kepolisian. Apa jangan-jangan, mereka memang betulan polisi gadungan?"

"Nah, itu. Tapi, kalau demikian, bagaimana mereka bisa dapat senjata-senjata api? Apakah itu ilegal?" Marsha membalas perkataan Zakia.

"Tapi, lo harus lihat Arkan, deh. Bisa-bisanya dia menangkis serangan dua orang itu! Ya, memang dia sempat ketendang. Hanya saja, dia tidak terluka atau nampak lelah sekalipun," tambah Azra, yang ternyata disetujui oleh Zakia dan Marsha.

"Kalau itu nggak heran. Dia, 'kan, katanya jago bela diri," balas Tiara yang sedang asyik menonton pertarungan.

"Lo tahu dari mana?" tanya Marsha, sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Tahu, lah. Dia ngasih tahu gue." Tiara menjawab malas.

"Waduh, ini tanda-tanda mereka pacaran, kah?" bisik Azra, yang ternyata terdengar oleh Tiara.

"Bisa jadi, nih. Jangan-jangan, karena itu Lisa nyuruh gue buat melarang anak-anak masuk ke 8B!" Zakia membalas dengan suara yang keras.

Puluhan siswa menoleh kearah Zakia. Tak terkecuali Tiara. Zakia hanya cengir-cengir, malu.

***

Sementara itu, di kelas, kedua pria itu mulai menembak kelas secara asal-asalan. Arkan dengan susah payah menghindari semua peluru itu. Meski memang, ada beberapa yang terkena bahkan menancap dalam tubuhnya.

Darah segar mengucur dari tubuhnya. Memang, pria itu sama sekali tidak bisa merasakan sakit. Hanya saja, dia kemungkinan besar, bisa tewas karena kehabisan darah.

DOR! DOR! DOR!

Arkan lagi-lagi menghindari tembakan itu. Memang, pada saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah bertahan. Ia tidak membawa senjata ke sekolah, dan sulit sekali mengeluarkan senjatanya tanpa menarik perhatian gadis yang ia suka.

Nggak. Saya nggak akan ngeluarin senjata saya kalau dia masih melihat saya, tekad Arkan.

DOR!

Pria pertama lagi-lagi menembak Arkan. Kali ini, Arkan tidak bisa menghindarinya. Peluru itu menancap di bahunya, dan pria itu hanya bisa mengerang kesakitan.

Sialan! Kenapa harus disitu? gerutu Arkan dalam hati.

Mata Arkan menyapu kearah ruang kelas itu. Ada empat jendela yang ada di kelas itu.

"Apa yang kau lakukan, hah?! Ini balasannya kalau kalian tidak mau menuruti perintah kami!" hardik pria kedua.

"Mengapa kami harus menuruti perintah polisi gadungan?!" balas Arkan, yang membuat kedua pria itu semakin naik darah.

DOR! DOR! DOR!

Pria itu menembak kearah Arkan. Arkan berhasil menghindar, dan tembakan itu berhasil membolongi jendela.

Arkan jelas tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dan melompat keluar dari kelas. Kedua pria itu nampak marah, dan hendak ikut melompat juga. Namun, gagal karena tiba-tiba saja Ibu Andini datang bersama Ibu Frida dan satu kompi pasukan polisi.

"Keluar atau kau akan mati!" ancam Ibu Andini.

Dua orang itu nampak terkejut, dan panik. Energi mereka sudah terkuras habis-habisan saat bertarung dengan Arkan. Terlebih lagi, semua anggota pasukan polisi itu dilengkapi oleh senjata api lengkap. Mau tidak mau, mereka menyerahkan diri pada aparat.

"Ibu Andini, apa yang sebenarnya terjadi disini?" tanya Ibu Frida.

Ibu Andini akhirnya menceritakan segalanya. Sesekali, Zakia dan Marsha membantu Ibu Andini menjelaskan. Ibu Frida hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Ibu Andini.

"Baik. Kalau begitu, dimana anak yang Ibu bilang tadi?" tanya Ibu Frida, yang sontak membuat Ibu Andini beserta murid 8B lainnya terdiam.

"Sebetulnya, dia menghilang dengan melompat dari jendela. Tetapi, Ibu harus percaya dengan cerita saya. Dia itu murid yang aneh. Dia masih bisa bertahan meski sudah ada puluhan peluru tertanam dalam tubuhnya."

Ibu Frida terdiam, mengangguk-angguk. "Semua, kalian cari anak itu. Cepat!"

Ibu Frida mendesak para pasukan, juga siswa kelas 8B, akhirnya pergi untuk mencari Arkan.

"Duh, harus banget, gitu, kita mencarinya?" gerutu Marsha.

"Harus. Kita harus berterima kasih pada dia. Kalau tadi kita semua nurut, HP kita bisa hilang sampai kapan!" balas Tiara.

Marsha memutar bola matanya. "Aduh, Ti. Nggak biasanya lo bersemangat dalam mencari orang. Padahal, biasanya, lo males kalau udah keliling ginian."

"Ini penting, Sha! Nyawa orang dalam taruhan kalau kita nggak cepat ketemu dia!"

"Nyawa orang atau cinta, nih, taruhannya?"

Satu kata yang berhasil membuat gadis itu bungkam.

***

Arkan sudah berjalan kira-kira 100 meter dari sekolah, dengan badan penuh darah. Mencari bantuan dengan keadaan demikian memang menyulitkan. Terlebih lagi, jalan yang ia tempuh adalah jalan yang sepi. 

Merasa tidak kuat lagi, Arkan akhirnya berhenti di pinggir jalan dan mulai mengeluarkan peluru-peluru itu secara manual, dan sendirian.

"Itu dia!" pekik seseorang, yang sontak mengejutkan Arkan.

Arkan menoleh kearah orang itu. Betapa terkejutnya dia melihat siapa yang ada disana.

ARKANTARA I: MUTIARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang