9

15 12 0
                                    

Tiara dan Arkan menoleh kearah pintu. Puluhan siswa masuk kedalam kelas secara bersamaan. Dimana para siswa mulai mendekati mejanya masing-masing, tidak dengan Marsha yang malah mendekati Arkan dan Tiara.

"Jadi itu rencana lo," cetus Tiara, seraya menatap Marsha dengan tajam.

"Rencana apa? Sumpah, gue nggak tahu apa-apa. Tadi gue lagi ngobrol sama Rei diluar. Begitu sampai di depan kelas, gue ngeliat orang-orang lagipada ngumpul diluar. Akhirnya, gue memberanikan diri buat nerobos masuk. Begitu gue nerobos, akhirnya orang-orang ikutan masuk bareng gue, deh." Marsha menjelaskan panjang lebar.

Tiara mengangguk-ngangguk pelan. Tidak heran, karena suara gadis yang melabrak mereka berdua adalah suara gadis berjilbab itu.

"Oke, oke. Gue percaya sama lo. Tapi ... " Tiara menghentikan kata-katanya.

"Lisa. Lisa yang ngelarang mereka semua masuk. Ya, memang, pasti nggak ada yang dengar kalau dia doang yang bilang. Makannya, dia minta bantuan dengan Ali dan Zakia," sahut Marsha.

Tiara terkejut. Gadis itu melirik kearah jam yang tertempel di kelasnya. Jarum pendek mengarah ke angka tujuh dan delapan, dan jarum panjang berada tepat diangka delapan. Tiara melongo melihatnya.

Gila, sudah dua jam sejak gue sampai di sekolah, batinnya.

Zakia adalah nama ketua OSIS SMP Insan Sejahtera tahun ini. Tidak heran mengapa ia dan Arkan bisa dibiarkan berdua saja selama satu jam lebih. Bisa jadi, gadis itu mengarang alasan dan menyuruh (lebih tepatnya 'memaksa') anak-anak lain untuk menonton mereka berduaan.

Bel berdering seketika tiba-tiba berbunyi. Para siswa segera berlari duduk, mengisi kursi-kursi kelas yang kosong. Tak lama kemudian, Ibu Andini masuk dan memulai pelajaran matematika.

***

"Jadi anak-anak, untuk mencari sisi miring dari suatu segitiga ... "

BRAK ... !!

Penjelasan Ibu Andini terhenti secara tiba-tiba. Pintu kelas terbuka dengan sangat lebar, dan dua orang dewasa masuk kedalam kelas. Hanya saja, seragam dua guru itu sangat aneh. Mereka menggunakan kemeja berwarna biru polos. Selain itu, mereka juga memakai topi hitam, dan celana jins berwarna biru navy.

Tatapan semua orang di kelas, termasuk Ibu Andini, mengarah pada dua orang itu. Ada beberapa yang mulai berbisik dengan teman sebangkunya. Ada juga siswa yang nampak gemetaran. Namun, satu pertanyaan muncul dibenak mereka semua.

Apa yang sedang terjadi?

Salah satu diantaranya berdeham. Dan seketika, para siswa berhenti berbicara dan menatap dua orang itu dengan tatapan heran, bingung dan ketakutan.

"Kami dari Kepolisian Republik Indonesia. Kami mendapat laporan bahwa ada siswa Sekolah Insan Sejahtera yang diduga terlibat dalam penyebaran video pornografi di kalangan remaja. Maka dari itu, kami ingin kalian semua mengumpulkan ponsel kalian agar kami bisa melacak asal video-video pornografi itu."

Para siswa terkejut. Terlebih lagi Tiara. Memang, dia tidak merasa telah melakukan apa-apa. Hanya saja, dia takut kemungkinan informasi-informasi rahasia pada ponselnya terungkap dan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang salah.

"Sekarang, kumpulkan semua ponsel kalian dan masukkan kedalam kantong plastik," ucap salah satu dari mereka, selagi yang lainnya mengeluarkan sebuah kantong plastik.

Tidak ada siswa yang berani maju. 40 siswa yang duduk dikelas 8B itu hanya saling tatap, saling menyuruh satu yang lainnya untuk maju terlebih dahulu.

Arkan, akhirnya, bangkit dari kursinya dan berjalan dengan berani ke depan kelas. Pria itu membawa ponselnya juga, yang kebetulan berjenis Samsung A50 dan berwarna hitam pekat.

Namun, alih-alih mengumpulkannya, dia justru malah menampar sang pria yang mengulurkan plastik.

PLAK ... !!!

Tamparan itu terdengar sangat keras. Semua orang di kelas ternganga mendengarnya. Ibu Andini, yang biasanya garang di kelas, bungkam seribu kata melihat kelakuannya.

Duh, Kan. Bisa berabe sekelas kalau ketahuan Pak Dimas! batin Tiara pasrah nan panik.

"Polisi gadungan! Tidak mungkin kalian akan menyita ponsel kami hanya untuk melacak asal video pornografi!" sembur Arkan sambil menatap polisi itu dengan keji.

"Katakan. Siapa kalian sebenarnya, dan apa yang kalian lakukan di sekolah kami?" desak Arkan dengan nada datar, yang membuat dua polisi itu bungkam. Tidak hanya polisi, para siswa dan Ibu Andini juga merasa terancam olehnya.

Kedua pria itu menolak untuk menjawab. Arkan mundur dengan pelan. Dan tiba-tiba saja, dua orang itu maju dan mulai menyerang Arkan.

Pelajaran matematika yang membosankan berubah. Pertarungan tidak bisa dihindari lagi.

Arkan berhasil menghindari tendangan sang pria pertama. Namun, dia terkena pukulan pria kedua. Arkan melentangkan sebelah kakinya, dan meng-sleding pria itu menggunakan kakinya.

"Dikira kami masuk tanpa menyiapkan senjata?!" hardik sang pria pertama seraya mengeluarkan sebuah pistol. Pria kedua mengikutinya dengan mengeluarkan sebuah senapan.

Arkan yang melihatnya terkejut.

"Semuanya, keluar!" suruh Arkan sambil menunjuk kearah pintu.

Ibu Andini mengangguk, dan akhirnya membawa para siswa kelas 8B keluar dari kelas.

"Lo juga, Tiara. Lo harus keluar," suruh Arkan.

"Nggak mau. Akan gue lakukan apapun yang bisa menolong lo," tolak Tiara.

"Tiara, keluar. Sekarang! Atau kau akan mati tertembak!" jerit Arkan kasar, seraya menunjuk kearah pintu.

Tiara hanya mendengus, dan akhirnya keluar dari kelas bersama anak-anak lain.

"Baik. Sekarang tinggal kita bertiga. Kalau begini gue bisa lebih bebas dari lo pada." Arkan berkata begitu sambil menggulung lengan bajunya.

Pertarungan tidak bisa dihindari lagi. Dua lawan satu. Seorang remaja 14 tahun melawan dua orang dewasa. Akankah keberuntungan menyertai Arkan?

ARKANTARA I: MUTIARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang