17

17 6 0
                                    

Satu pekan berlalu sejak gadis itu ditembak oleh Arkan. Bukan menembak, lebih ke mengakui perasaan masing-masing. Dan sekarang, Tiara terus menunggu kedatangan Arkan di sekolah.

Mana, sih? Katanya, sudah janji mau datang, gerutu gadis itu dalam hati.

Gadis itu terus memandangi pintu, menunggu kedatangan sang pria yang ditunggu-tunggu. Memang, gadis itu sengaja berangkat lebih pagi seperti biasanya. Hanya saja, batang hidung pria itu belum nampak juga.

Tiara menoleh ke belakang sejenak. Kursi-kursi lainnya kosong, tanpa ada barang maupun tanda-tanda kehidupan dari kelas lainnya. Memang, jarum pendek baru saja mengarah ke angka diantara enam dan tujuh. Bel masuk masih satu setengah jam dari sekarang. Tidak heran orang-orang memilih untuk masuk hampir satu jam setelah ini.

Kriek ... !

Terdengar seseorang membuka pintu ruangan. Gadis itu terburu-buru menoleh kearah pintu, untuk melihat siapa yang disana. Perasaan semangatnya berubah menjadi lesu begitu melihat yang masuk adalah Zakia.

"Selamat pagi, Ti," sapa Zakia seraya berjalan melewati Tiara begitu saja.

"Pagi juga, Zak," sahut Tiara sambil tersenyum hambar.

Zakia menaruh tasnya di meja barisan tengah, lalu pergi keluar lagi. Tiara menghela nafas kesal melihat kelakuan teman sekelasnya itu.

"Dasar PHP! Padahal, gue udah berharap yang masuk dia," gerutu Tiara kesal, sambil menendang mejanya pelan.

"Jangan teriak-teriak gitu. Malu sama CCTV," balas seseorang dari belakang.

Tiara terkejut mendengar suaranya. Gadis itu menoleh ke belakang, dan melihat sosok yang ada di belakangnya. Dia semakin terkejut mengenali siapa sosok itu.

"Arkan!" pekik gadis itu, lega.

"Pagi, Ti," sapa pria itu.

Tiara melihat sosok itu dari atas kebawah. Pria itu nampak baik-baik saja. Mungkin, ada beberapa bagian yang masih diperban. Tetapi, sekilas, luka-luka yang ada dalam tubuh pria itu menghilang. Rambutnya hari ini sedikit berantakan dibanding hari-hari sebelumnya. Hanya saja, pria itu nampak lebih lelah.

"Pagi juga," sahut Tiara sambil tersenyum.

"Bagaimana kabar lo?" tanya pria itu, basa-basi.

"Baik," jawab gadis itu.

Arkan berjalan menuju ke tempat duduknya di belakang. Tiara mengekori pria itu. Dia menaruh tasnya diatas meja, lalu mengeluarkan buku tulisnya.

"Tiara, apa lo mencatat materi-materi selama gue nggak masuk?" tanya Arkan.

Tiara mengangguk. Dengan cepat, dia mengambil bindernya lalu mulai menjelaskan materi-materi yang pria itu tinggalkan.

***

Kejadian di rumah sakit itu membuat Arkan dan Tiara semakin dekat saja. Setiap kali ada waktu, pasti mereka berdua selalu berbicara bersama. Sampai-sampai beberapa orang mulai menyangka bahwa mereka sudah jadian.

"Tuh, kan! Sudah gue bilang kalau lo bakal cocok sama Arkan," cetus Rei, seraya menepuk-nepuk bahu Tiara.

"Nggak, Rei. Gue sama Arkan cuma temenan," sahut Tiara, seraya menatap Rei tajam.

"Iya, teman. Friends with benefits," balas Marsha, yang disambut tawa garing dari Rei.

Tiara hanya terdiam. Kalau disebut demikian, tidak salah juga. Karena, mereka berdua memang mengakui perasaan mereka masing-masing dalam kamar rumah sakit itu. Tetapi, apakah mereka sudah jadian? Tidak juga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 11, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARKANTARA I: MUTIARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang