7

28 15 2
                                    

Chandra berjalan menjauhi kantin, menuju ke ruangan OSIS yang kebetulan berada di lantai tiga. Dia sudah menghabiskan lima belas menit untuk berbicara dengan Tiara. Maka dari itu, dia harus berjalan cepat mengejar waktu agar tidak terlambat.

Namun, ditangga, dia dicegat oleh seorang pria berseragam. Bukan, bukan seragam aparat. Melainkan seragam SMP Insan Sejahtera. 

"Maaf, saya buru-buru," kata Chandra, menghindari percakapan.

"Saya hanya minta waktunya sebentar, saja. Boleh?" desak pria itu.

Chandra menatap kearah pria itu. Pria itu memiliki rambut model curtain bangs, mata berwarna hitam pekat, serta badan yang sedikit lebih tinggi dan 'berisi' dari rata-rata murid SMP lainnya.

Chandra mengenali wajah pria itu. Sedari tadi, pria itu memang memantau pembicaraan dia dengan Tiara dari kejauhan. Hal itu jugalah yang membuat Chandra jadi harus semakin cepat-cepat mengakhiri percakapannya dengan Tiara.

"Apa yang ini anda bicarakan? Rapat OSIS saya sudah dimulai dari tadi," tanya Chandra, akhirnya meladeni pria itu.

"Apa kau bisa membantu saya merekrut orang-orang yang mampu bertarung dan membunuh dengan baik?" tanya pria itu, to the point.

Chandra terkejut mendengar pertanyaan itu. Memang, sebagai seseorang yang sudah meretas dari kecil, sudah menjadi hal yang lumrah baginya untuk mendengar permintaan-permintaan aneh begini. Baik dari teman-temannya, maupun orang-orang aneh dari aplikasi Reddit. 

"Ada-ada saja. Saya bisa masuk penjara kalau begini," balas Chandra, kesal dengan sang lawan bicara.

"Tidak mungkin. Satu, kamu masih SMA. Tidak mungkin kamu bisa masuk penjara begitu saja. Dua, kamu adalah sang Zirconium yang terkenal sebagai guru meretas puluhan hacker hebat. Termasuk Crazy Diamond."

Chandra sedikit tersipu mendengar kata-katanya. Namun, menyadari bahwa dia lawan bicaranya sedang tidak bercanda, ia kembali serius.

"Tetap saja. Saya tidak akan mau ikut campur tangan dengan penjahat. Meski saya juga masih terhitung kriminal, saya tidak akan sudi ikut serta dalam misi mengambil nyawa orang. Saya ini peretas, bukan pembunuh bayaran," tukas Chandra, seraya meninggalkan pria itu begitu saja.

***

Tiara berdiri menunggu ojek online-nya di depan sekolah. Keringat dingin bercucuran dari tubuhnya, mukanya mulai memucat. Overthinking. Satu kata yang mendeskripsikan Tiara saat ini. 

Apa jangan-jangan, sekarang gue lagi dipantau sama pembunuh gue? pikir Tiara, sambil melirik-lirik sekitarnya dengan penuh kecemasan.

"Lo belum pulang?" tanya seseorang, yang sontak mengejutkan Tiara.

"Arkan!" seru Tiara lega, begitu dia menyadari siapa yang berbicara.

"Lo kenapa? Mengapa belum pulang?" ulang Arkan.

"Eh, gue lagi nunggu ojek online. Sampai sekarang belum datang, tuh," jawab Tiara gugup.

"Oh. Tapi, itu tidak menjelaskan kenapa banyak air bercucuran dari tubuh lo," sahut Arkan sambil menunjuk kearah kantung mata Tiara yang mulai basah. 

"Lo kenapa? Lo habis nangis?"

Tiara terkejut. Dengan cepat, ia menggeleng.

"Nggak, lah! Bisa-bisanya gue nangis di sekolah. Mati malu gue!" bantah Tiara, sambil mengelap keringat dinginnya itu.

"Cara lo berbicara sekarang tidak seperti Tiara yang gue kenal. Ada yang lo sembunyikan dari gue," ungkap Arkan, yang membuat Tiara terdiam.

Memang. Ada banyak yang gue simpan dari lo. Tapi ini buat kebaikan lo sendiri juga. Gue nggak mau bikin orang-orang di sekitar gue bermasalah gara-gara ini, sahut Tiara dalam hati.

Tiara mulai tersenyum. "Cara lo bicara agak aneh. Formal, tapi pakai lo-gue."

"Kalau gitu, lo maunya gimana?" balas Arkan.

"Kayak begitu! Nggak usah formal-formal amat. Orang-orang sini, kan, bukan Presiden Indonesia," balas Tiara, dengan intonasi yang cukup keras.

"Oke. Akan gue coba."

Tiara dan Arkan mulai bercengkrama bersama. Sesekali, muka Tiara memerah melihat gelagat Arkan yang lucu. Jantung Tiara berdetak dengan keras selama percakapan itu. 

"Gue denger sesuatu. Detakannya cepat. Itu suara detak jantung lo, kah?" tebak Arkan.

Tiara terkejut. Bisa-bisanya dia mendengar!  

"Nggak, lah! Detak jantung lo, kali," bantah Tiara sambil menyenggol Arkan pelan.

Mereka berdua tertawa bersama. Suasana pelataran sekolah yang suram seketika berubah. Tawa mereka berdualah yang berhasil menghidupkannya. 

"Lo bisa naik motor, nggak?" tanya Tiara asal.

"Nggak, sih. Tapi, kita bisa belajar bareng," jawab Arkan sambil tersenyum.

"Eh, Mbak!" jerit seseorang, yang sontak mengejutkan Arkan dan Tiara.

Tatapan Arkan dan Tiara beralih kearah sosok yang menjerit itu. Seorang pria paruh baya menggunakan jaket berwarna hijau, sedang duduk diatas motor sambil menatap Arkan sinis. 

Melihatnya, Tiara kembali teringat. Dia mengeluarkan ponselnya, dan mengecek status ojek online-nya.

"Eh, iya! Itu ojol gue. Duluan, ya, Kan," pamit Tiara, sambil berjalan mendekati ojek online itu.

Arkan mengangguk. "Dah, Ti," balasnya sambil melambaikan tangannya.

Tiara tersenyum, dan membalas melambai. Motor pun pergi, meninggalkan Sekolah Insan Sejahtera. Meninggalkan Arkan sendirian di pelataran yang suram.

Sepeninggal Tiara, Arkan terus menatap gerbang sekolah dengan tatapan kosong. Dia mulai merajut senyumnya, dengan perlahan-lahan.

Saya ingin terus bersama dengannya. Hanya saja, saya ...  

***

"Mbak, yang tadi di sekolah itu pacar Mbaknya?"

Tiara tersedak mendengar pernyataan itu. Terkejut.

"Nggak, Mang! Dia cuma teman. Saya, kan, nggak punya pacar," sanggah Tiara. 

"Ah, nggak perlu dibantah gitu, Mbak! Orang juga tahu, kali, Mbak, kalau kalian pacaran. Kalian tadi mesra banget. Pantas, sampai lupa waktu," tangkas sang tukang ojek, yang membuat Tiara hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Terserah Mang saja, lah," ucap Tiara pasrah.

"Aduh, Mbak. Mbak, 'kan, masih SMP. Seharusnya, Mbak belajar yang benar. Perjalanan Mbak masih panjang. Jangan sampai waktu Mbak habis hanya untuk mesra-mesraan. Nanti, gedenya Mbak jadi kaya saya." 

Mendengar kalimat terakhir itu, Tiara menjadi penasaran. "Memang, waktu SMP, Mang dulu gimana?"

"Ya, gitu, deh. Lupa belajar, sampai akhirnya ditolak di semua PTN. Makannya, daripada mesra-mesraan, mending Mbak belajar baik-baik. Sayang banget, muka kayak orang benar, padahal aslinya bucin terus," jawab lawan bicaranya, asal. 

Tiara hanya terdiam, mencerna percakapan tadi.

Apakah gue semesra itu sama Arkan? Apakah cinta gue padanya sudah terlalu dalam? Apakah salah kalau gue membuka hati untuk yang kedua kalinya? Akankah semuanya berujung fatal, seperti dengan Alvin? 


ARKANTARA I: MUTIARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang