CHAPTER 14

12K 1.1K 38
                                    

"Kak Zay!" Panggil Mira, lalu memasuki kamar milik Zayyan tanpa meminta izin terlebih dalulu.

Zayyan yang terlelap terkejut saat mendengar pintu kamarnya di buka dengan sedikit keras.

"Ra... kalau mau masuk itu izin dulu, jangan tiba-tiba nyelonong!" Tegur Zayyan halus.

"Iya... iya.... ish kakak cerewet deh!" Jawab Amira ketus, lalu menghampiri sang kakak dengan keringat yang masih membekas di wajahnya.

"Mira habis dari mana hem?, kok keringetan banget?" Tanya Zayyan yang heran, tangannya terulur mengusap dahi Amira yang penuh dengan karingat dengan tisu di atas nakasnya.

"Habis main sepeda!" Jawab Mira antusias.

Zayyan mengernyit, dengan siapa adiknya ini bersepeda? Apa lagi sekarang cuaca sedang panas-panasnya.

"Sama siapa?" Tanya Zayyan.

"Sama kak Ray!" Jawab Mira enteng.

Kepala Zayyan langsung terasa pusing lantaran terkejut mendengar jawaban dari sang adik, ia tidak menduga adiknya akan menjawab seperti itu.

"Kenapa harus sama kak Rayyan?, Mira kan tau kak Rayyan nggak bisa berada di tempat yang panas?" Tanya Zayyan, padahal sebelumnya adiknya ini sangat mengerti dengan keadaan adik kembarnya.

"Kak Ray nggak nolak tuh, malahan kak Ray yang ngajak Mira!" Jawab Mira berbohong, ia takut saat mendengar nada bicara sang kakak yang tersirat menahan amarah.

Tanpa berucap lagi, Zayyan melangkahkan kakinya menuju ke kamar sang kembaran, meninggalkan Amira yang masih terduduk di ranjangnya, walau pun ia masih merasakan pusing namun tetap saja ia ingin mengecek keadaan sang kembaran.

Dalam hati Zayyan menggerutu, apa kah kembarannya itu mencari mati dengan memperparah penyakitnya? Apa kah Rayyan tidak menghargai segala usaha yang telah orang tua mereka lakukan untuk kesembuhannya?, Zayyan tidak habis pikir.

Tanpa aba-aba Zayyan membuka pintu kamar Rayyan kasar, langkahnya ia bawa masuk ke dalam kamar sang kembaran, ia ingin sekali memarahi Rayyan, namun niatnya urung saat melihat wajah terlelap sang kembaran, malahan kini tergantikan dengan perasaan cemas saat melihat bibir membiru milik Rayyan.

"Ray?" Panggil Zayyan, ia menepuk pelan wajah sang kembaran berharap ada respont, berulang kali ia melakukan hal yang sama, namun nihil, tetap saja sang kembaran tidak kunjung membuka netranya.

"BODYGUARD?!" teriak Zayyan lantang.

"CEPAT SIAPKAN MOBIL!" Titah Zayyan, ia mengendong tubuh Rayyan menuju mobil yang telah di siapkan untuk di bawa ke rumah sakit.

Zayyan merasa cemas, apa lagi pernafasan yang kembaran yang terlihat samar, zayyan merogoh saku celananya, ia menghubungi Dian untuk mengabarkan keadaan Rayyan, sebenarnya Zayyan juga cemas, ia takut di tuduh, ia tidak ingin menjadi alasan orang tuanya kembali menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi dengan sang kembaran.

.
.
.
.

Zayyan menunggu penanganan sang adik si depan pintu ruang UGD, sungguh situasi yang sangat tiba-tiba, apa lagi rasa pusing di kepalanya semakin tak tertahankan.

Zayyan mendengar sepasang langkah kaki menuju ruang UGD, tatapannya ia alihkan ke arah sumber suara, di sana ia melihat kedua orang tuanya tengah berjalan tergesa-gesa dengan raut khawatir yang tercetak jelas di wajah keduanya.

"Zay bagaimana keadaan Ray?" Tanya sang bunda sesaat setelah tiba di sana.

"Masih di tangani...." jawab Zayyan menunduk.

"Bagaimana ini bisa terjadi?" Tanya sang ayah dengan suara khas bariton miliknya.

Hati Zayyan terenyuh, biasanya kedua orang tua mereka langsung menuduhnya tanpa berspekulasi terlebih dahulu, tetapi sekarang berbeda, mereka tidak melakukan hal itu.

"Ray mengajak Mira bermain sepeda." Jawab Zayyan, tanpa mengetahui kronologi yang sebenarnya.

"Apa? Bagaimanaa bisa Ray melakukan hal itu? Padahal dirinya sendiri juga tahu bahwa itu tidak baik untuk kesehatan tubuhnya!" Ucap sang ayah tidak habis pikir atas tindakan sang anak.

"Aku juga tidak mengerti ayah, karena aku istirahat di kamar, andaikan aku mengetahuinya pasti sudah aku cegah, maaf...!" Sesal Zayyan.

"Sudah tidak apa-apa, lebih baik kita berdoa untuk Rayyan!" Ucap sang bunda mengusap pucuk kepala Zayyan.

Hampir satu jam lamanya mereka menunggu dokter yang menangani Rayyan keluar dari ruang UGD, mereka harap-harap cemas, semoga tidak akan terjadi hal yang buruk pada Rayyan.

Pintu ruang UGD terbuka, dokter yang menangani Rayyan juga keluar dari sana, peluh menghiasi dahi dokter Fahri.

"Bagaimana keadaan Rayyan dok?" Tanya sang bunda cemas.

"Beruntung nyawa Rayyan masih bisa tertolong, Rayyan terkena serangan jantung mendadak, dan.....

"Apa dok?" Tanya Dian penasaran, apa lagi dokter Fahri yang menjeda ucapannya.

"penyakitnya semakin memburuk!" Ucap sang dokter penuh sesal.

"Apa? Bagaimana bisa? Bukankah kita selama ini selalu memperhatikan kesehatan Ray?" Tanya Aryan tidak percaya.

"Bukankah saya telah menjelaskan sebelumnya?, pikiran anak kalian tertekan, apa lagi saya lihat Rayyan seperti terkena paparan sinar matahari berlebih di lihat dari ruam merah di kulitnya." Jelas dokter Fahri.

"Saya mohon pada kalian, jangan abaikan penyakit ini, walau pun tidak bisa menular tapi bisa membahayakan nyawa anak kalian! Di tambah keadaan anak kalian lebih serius dari sebelumnya." Imbuhnya.

Mereka yang berada di sana di buat syok mendengar penjelasan menyeluruh dari sang dokter, mereka pikir selama ini mereka telah melakukan yang terbaik untuk perawatan sang anak, namun ternyata tidak, mereka tidak bisa.

"Apakah Ray bisa sembuh?" Tanya Dian lirih, walau pun itu mustahil, berulang kali ia menanyakan hal ini walau pun jawabannya pasti tetap sama.

Dokter Fahri menggelengkan pelan kepalanya mendengar pertanyaan dari Dian, " itu tidak mungkin, bukankah saya telah berulang kali menjelaskannya pada kalian, kita bisa mengurangi tapi tidak untuk menyembuhkan." Ujarnya.

Dian memeluk tubuh sang suami, dirinya menangis pilu di dekapan Aryan, Dian terisak, tidak mungkin usaha mereka selama ini menghianati hasil.

"Mas...." tangisnya pilu, ia ingin tidak mempercayai semua hal ini, tapi melihat dirinya berada di sini membuat pertahanan yang selama ini ia bangun hancur.

"Tidak apa-apa, Ray pasti akan baik-baik saja." Yakin Aryan pada sang istri, entah kenapa netranya ikut menitihkan air mata, padahal sebagai kepala keluarga ia harus kuat agar bisa menjadi penopang untuk keluarganya.

Zayyan termenung mendengar penuturan sang dokter, lihatlah akibat kecerobohan sang kembaran yang mengabaikan kesehatannya sendiri, padahal orang tua mereka telah sepenuh hati menjaganya, tapi kembarannya itu tanpa berpikir memilih tindakan yang bisa membahayakan nyawanya sendiri, jika sudah seperti ini siapa yang salah? Zayyan khawatir juga takut, tapi rasa kecewa juga ada di dalam benaknya, berpikir sang kembaran seakan tidak menghargai perjuangan kedua orang tua mereka dalam upaya untuk kesehatan Rayyan.

Setelahnya, dokter Fahri pamit undur diri, lalu Rayyan di pindahkan keruangan pribadi yang biasa Rayyan tempati, walau pun mereka harus menunggu beberapa waktu agar sang empu kembali membuka netranya.




Udh lah, salah paham aja terus sampe mampus.

Aku suka pertengkaran😊

Vote and coment juseyo......

Tembus 80 vote double up 😌

the twins sick figure (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang