CHAPTER 27

7.1K 641 27
                                    

Rayyan tidak habis fikir, kenapa keluarganya selalu mengambil kesimpulan tanpa berpikir lebih jauh, sifat ini lah yang membuat Rayyan enggan untuk menceritakan semuanya.

"Apa salahnya ayah?, kalian selalu saja melarang aku ini dan itu, aku juga ingin seperti anak lainnya, dan aku tidak asal pergi bermain. Rafli, dia temanku, apakah salah seorang anak menghabiskan waktu dengan temannya?, lagi pula aku juga sudah mengabari kalian, tapi apa? Kalian tidak menjawabnya, bahkan dering telepon di ponsel kalian yang berbunyi berkali-kali tidak kalian hiraukan, kalian malah asik dengan kehidupan kalian sendiri, aku juga ingin seperti itu. Jadi di mana salahku ayah? Apakah aku salah menghabiskan waktu dengan temanku, atau kah aku salah tidak berada di sini sedangkan kalian tengah asik menikmati waktu kalian?" Meledak sudah amarah Rayyan, padahal ia hanya ingin bermain, ia tidak melakukan hal yang salah, jadi kenapa keluarganya marah padanya.

"Setidaknya pikir kan kondisimu Ray, tidak mudah merawat orang sakit sepertimu, apakah kamu tidak memikirkan hal itu?" Sanggah sang ayah berusaha meredam amarahnya.

"Jika kalian merasa di repotkan, kenapa kalian tidak membiarkan aku mati saja, itu lebih baik, aku hanya ingin kebebasan ayah!, apa kah itu salah?, lagi pula aku tidak berbuat hal yang salah, kenapa kalian selalu melarangku melakukan sesuatu, padahal hanya hari ini aku pergi bermain!" Luapnya, mata Rayyan berkaca-kaca.

Aryan tercengang mendengar ucapan sang anak, "lebih baik kau menjauh dari Rafli, atau ayah akan memindahkanmu dari sana!" Peringat Aryan, lalu beranjak dari sana.

Aryan tidak ingin anaknya menjadi nakal karena pertemanan, padahal anaknya itu baru kenal beberapa bulan saja, tapi sikapnya sudah berubah, bagaimana jika sang anak semakin nakal dan semakin tidak bisa di atur?.

Anggota keluarganya yang lain juga turut meninggalkannya, Rayyan menatap sendu dari sana, bahkan kembarannya yang biasa mendukungnya turut meninggalkannya.

Dengan perasaan kecewa Rayyan memasuki kamarnya, apa sampai sebegitunya ia tidak boleh bahagia, sampai-sampai teman satu-satunya harus ia jauhi, tapi bukan Rayyan namanya jika langsung menuruti ucapan sang ayah.

Sesampainya di kamar miliknya, Rayyan meminum obatnya, jika saja ia bisa kembali, mungkin sedari awal ia tidak akan merasakan hal ini.

Rasanya percuma ia hidup, jika menikmati kebahagiaan kecil saja ia tidak bisa, padahal baru beberapa bulan ia tidak di terpa masalah, dan selang beberapa waktu, muncul masalah baru.

.
.
.
.

Sang fajar telah menyinsing, dan Rayyan melakukan aktifitasnya seperti mana biasa, hanya saja ia terlalu malas untuk mengeluarkan suara, dan yang terjadi hanya keterdiaman yang dapat ia tunjukkan.

"Ingat apa ucapan ayah Ray, ayah tidak akan main-main kali ini." Peringat Aryan.

"Zay, kau antarkan adikmu ke sekolahnya, ayah ada urusan." Titah Aryan, lalu meninggalkan ruang makan.

Sedangkan Dian, wanita itu tidak berbicara dengan sang putra dari semalam, bahkan ia yang biasanya menghampiri sang putra untuk menyakan harinya tidak ia lakukan, entah karena rasa kecewa yang di miliki wanita itu terlalu dalam atau mungkin ia sudah mulai jengah dengan sikap sang anak yang mulai tidak bisa di atur.

"Ayo Ray kita berangkat, kita pergi dulu bun!" Pamit Zayyan lalu menuju parkiran.

Dalam perjalan ke sekolah Rayyan, Zayyan berulang kali ingin berbicara dengan sang adik, namun ia masih enggan, ia mengerti alasan kenapa adiknya melakukan hal itu, namun ia juga tidak membenarkan perlakuan sang adik, seharusnya jika keluarganya tidak menjawab pesannya, lebih baik Rayyan mengurungkan niatnya.

Untuk kali ini, ia juga setuju dengan keputusan sang ayah, lagi pula adiknya juga mempunyai dirinya, ia bisa menjadi teman yang baik untuk menemani sang adik.

"Ray, bagaimana jika kali ini kau menuruti ucapan ayah?" Tanya Zayyan sesaat setelah Rayyan turun dari motornya.

"Bukankah aku sudah sering menuruti ucapannya kak?, kapan aku pernah menolaknya? aku sudah sering terkurung di mansion hanya untuk menuruti semua ucapan kalian, bahkan kalian menggunakan alasan tubuhku untuk menahanku di dalam sana, jadi katakan, kapan aku menolak keputusan kalian? Tidak kan?, jadi hanya untuk kali ini, biarkan aku memilih jalanku sendiri kak!" Ucap Rayyan, ia sudah mulai muak dengan kehidupan di sini.

"Tapi Ray...."

Rayyan meninggalkan Zayyan tanpa menoleh, ia sudah sering mendengar saran dari sang kakak, jadi untuk kali ini saja, biarkan dia egois, lagi pula ini juga kehidupannya.

Zayyan memandang adiknya nanar, ia tidak ingin sesuatu terjadi pada sang adik, apakah mungkin ia harus memberi peringatan Rafli agar menjauh dari sang adik? Tapi bagaimana jika sang adik mengetahui perbuatannya?

Pikiran Zayyan kacau, apa yang harus ia lakukan sekarang, semakin hari ia semakin tidak mengerti tentang keadaan keluarganya, memang keluarganya di mata publik begitu harmonis, tapi mereka tidak mengerti kondisi orang di dalamnya.

Dalam perjalanan ke sekolah, hatinya terasa gundah, ia sungguh tidak ingin semua ini terjadi, andaikan saja adiknya tidak mempunyai penyakit, mungkin keluarganya tidak akan menjadi seperti ini, dan mungkin saja adiknya akan bisa pergi leluasa seperti keinginan sang adik.

.
.
.
.

Rayyan menuju ke kelasnya, dan tentu saja di sana sudah ada Rafli yang menyambutnya, Rayyan mengubah raut datarnya menjadi sumringah, moodnya yang rusak kembali terasa baik.

Rayyan duduk di bangkunya, entah kebetulan atau tidak, beruntung ia satu bangku dengan Rafli, alhasil mungkin itu juga alasan Rayyan sedikit mudah berkomunikasi di awal kepindahannya di sekolah ini.

"Ada apa?" Tanya Rafli karena merasa raut wajah Rayyan tidak bersahabat.

"Tidak, hanya saja kepalaku sedikit pusing." Elaknya, tidak mungkin Rayyan akan berkata jujur.

"Mau pergi ke UKS?" Tanya Rafli khawatir.

Namun di tolak halus oleh Rayyan, "Tidak Raf, lagi pula aku telah meminum obat,jadi mungkin saja obatnya masih belum bereaksi."

Lagi pula itu hanya alasan semata, jika hal itu sungguh ia rasakan, mungkin ia akan memilih tidak bersekolah ketimbang merepotkan orang di dekatnya.

"Baiklah, tapi ingat, jika tidak kuat, kau bilang saja padaku!" Ucap Rafli setelah menerima penolakan Rayyan.

Rayyan mengangguk, setelahnya Rafli mulai berceloteh seperti biasa, anehnya Rayyan menyukainya, entahlah, mungkin karena di mansion keluarganya hanya berbicara padanya jika ada yang di perlukan, kalau pun sang kakak bersamanya, mungkin hanya sebatas percakapan sebagaimana adik kakak pada umumnya, entah sejak kapan sikap sang kakak mulai berubah, Rayyan bahkan sampai tidak menyadari akan hal itu, mungkin saja sikap Rayyan juga telah berubah sampai ia tidak menyadarinya.











Udh segini aja dulu, mian kependekan......

Vote and coment juseyo......

the twins sick figure (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang