CHAPTER 30

6.8K 604 34
                                    

Tengah malam, Rayyan terbangun dalam tidurnya, keringat membanjiri pelipisnya, nafasnya memburu, mimpi itu terasa seperti nyata, entah kenapa ia merasa melakukan hal buruk itu, di dalam mimpi, ia lah penjahat sebenarnya.

Sudah beberapa hari ia mengalami mimpi buruk yang sama, semenjak video yang di tunjukkan padanya,  bahkan menyebabkan berat badannya menurun drastis, ia tidak nafsu untuk makan, baru beberapa suap saja sudah mampu untuk membuat isi perutnya naik.

Dan dari hasil pemeriksaan rutinnya, tentu saja sudah di ketahui bahwa kondisi Rayyan menurun drastis, keluarganya berulang kali memaksanya untuk bercerita, namun Rayyan tidak bisa, setiap ia ingin sekali menceritakan hal yang mengganggunya, tiba-tiba saja muncul bayangan keluarganya yang menatap rendah padanya, itu membuat ketakutannya semakin menjadi.

Rayyan bertanya-tanya, sebenarnya apa tujuannya berada di sini?, jika bernafas saja ia sudah salah, ia tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan upaya balas dendamnya saja sudah tertelan oleh rasa sakit dan takut yang menumpuk di hatinya.

Sekarang ia sudah tidak mempunyai tujuan di sini, ternyata ucapan Rayyan asli memang benar, seharusnya ia hanya bersabar dan tidak melakukan hal yang lebih, andaikan saja ia bisa memutar balik waktu, mungkin ia akan lebih memilih menuruti ucapan Rayyan asli, dari pada mengikuti kata hatinya, dan bahkan keputusan yang ia ambil, perlahan mulai menggerogoti mentalnya, ini semua karena kecerobohan dirinya.

Rayyan berusaha meraih beberapa obat yang berada di atas nakasnya, entah berapa butir obat yang berusaha Rayyan telan guna menghilangkan rasa sakit yang semakin hari semakin menggerogoti tubuh ringkihnya.

Ia menelan butiran obat itu tanpa bantuan air setetes pun, itu mungkin karena rasa pahit dapat sedikit menghilangkan tekanan di pikirannya, ia tidak peduli jika setelah ini ia tidak bisa membuka mata, hanya saja, ia sudah tidak sanggup untuk mengatasi tekanan batin dan pikiran yang saling bertabrakkan.

Malam yang begitu panjang telah terlewati, bahkan di saat matahari mulai menyinsing pun, sang empu masih enggan untuk membuka netranya, entah itu karena pengaruh obat, atau kah memang ia sengaja untuk menutup netranya lebih lama lagi.

Suara ketukan pintu terdengar berulang kali, Rayyan merasa tak terganggu dengan sosok remaja yang memasuki kamarnya.

"Ray, bangun lah, Ini sudah terlambat!" Seru Zayyan.

Zayyan merasa aneh saat sang kembaran tak kunjung menampakkan batang hidungnya di ruang makan.

"Bisakah aku hari ini tidak pergi sekolah?" Tanya Rayyan pelan.

"Kenapa? Apakah kamu sakit? Katakan, dimana yang sakit?!" Pekik Zayyan cemas, tangannya mulai memeriksa tubuh sang adik, jikalau suhu tubuh sang adik memanas.

Rayyan terdiam sejenak, "..... tidak jadi, aku akan sekolah!" Putusnya, lalu beranjak dari ranjang.

"Kalau kamu merasa kurang enak badan, biar aku izinkan ke wali kelasmu Ray!, jadi lebih baik kamu libur saja." Saran Zayyan.

Tubuh Rayyan merasa lemas seketika, entah kenapa ia paling takut dengan yang namanya sekolah, tatapan itu, tatapan semua murid yang melihatnya sungguh membuatnya takut.

"Tidak kak, aku akan ke sekolah, kakak tunggulah di bawah!" Pekiknya bergegas ke kamar mandi.

Zayyan hanya bisa menggelengkan kepala, ada-ada saja tingkah sang adik, padahal adiknya sendiri yang meminta untuk libur sekolah, eh giliran di turutin, malah tidak jadi.

.
.
.
.

Rayyan mulai melangkahkan kakinya memasuki kawasan sekolah, ia sengaja mengenakan tudung hoodie guna menutupi wajahnya, bahkan kedua telinganya telah terpasang sebuah alat penyumbat suara.

Ia berjalan begitu cepat, sebisa mungkin ia mengabaikan semua orang yang menatapnya,jantungnya berpacu dengan kencang, rasanya ia ingin mati saja jika kehidupannya semenyedihkan ini.

Selama di lingkungan sekolah, ia dengan sengaja menghindari semua orang, termasuk Rafli, Rayyan berasumsi bahwa semua itu memang salahnya, andaikan ia tidak melupakan kejadian itu, mungkin ia masih ada keyakinan untuk membela diri, namun sekarang tidak seperti itu, ia melupakan kejadian terpentingnya.

Rafli memandangi dari jauh, ia memang merasakan gelagat aneh dari Rayyan, semenjak tersebarnya video itu, Rayyan dengan sengaja menghindarinya, padahal ia telah berulang kali berusaha untuk menyakinkan Rayyan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Tenang saja Ray, aku akan mencari tahu kebenarannya, apa pun yang terjadi!" Janjinya, bahkan bukan ia yang di perlakukan seperti itu, namun entah kenapa ia juga ikut merasakan sakit di hatinya.

Bel sekolah pun telah berbunyi, selagi menunggu guru mapel tiba, Rafli dengan sengaja menyapa Rayyan terlebih dulu.

"Ray, bicaralah!, kenapa kamu selalu diam?"tanya Rafli lirih.

"Jangan berbicara denganku Raf, apakah kamu tidak malu berdekatan dengan seorang pembunuh sepertiku?!" Ucap Rayyan, maniknya menatap lekat manik Rafli, ia bingung, harus dengan cara apa lagi agar Rafli mau menjauh darinya.

"Kamu bukan pembunuh Ray, aku tidak percaya kamu melakukan hal itu!" Pekiknya tidak terima.

"Aku melakukannya Raf, lihatlah...." ia mengarahkan kedua tangannya ke hadapan Rafli.

"Dengan kedua tangan ini aku melakukannya, kenapa harus dengan kedua tangan ini? Kenapa? Kenapa aku melakukannya? Bahkan aku tidak tahu alasannya!" Tatapan itu tersiratkan kekosongan, bahkan untuk sekedar menangis saja ia tidak bisa, hatinya terlampau mati rasa.

"Bahkan untuk sekedar menangis pun aku tidak bisa Raf, aku harus apa? Katakan? Apakah aku harus mati untuk mengakhiri semua ini? Ini terlalu menyakitkan untukku raf!" Ucapnya.

"Lupakan, lagi pula hidupku tidak lama lagi, tanpa bunuh diri pun, pada akhirnya aku akan mati, mereka hanya membantu mempercepat kematianku saja. Andaikan mereka tahu betapa kerasnya aku berusaha untuk bertahan hidup, mungkin mereka tidak akan melakukan hal keji itu padaku, apakah aku memang pantas mendapatkannya? Katakan, apa salahku? Apakah aku melakukan kesalahan sehingga mereka memperlakukanku seperti kotoran? Bahkan di setiap malam, aku tidak bisa menikmati tidurku karena ulah mereka, kenapa mimpi buruk itu selalu menghantuiku, aku hanya ingin tidur tenang, bahkan untuk satu hari saja aku tidak bisa!"

Rafli terdiam, ia tidak bisa berkata-kata lagi, seluruh atensi murid di dalam kelas terfokus pada mereka berdua, apa lagi setelah ucapan Rayyan, keadaan kelas berubah menjadi hening.

Tanpa berucap, Rafri menggandeng tangan Rayyan untuk mengikuti langkahnya, ia tidak peduli peduli akan tatapan seluruh murid si kelas, yang terpenting sekarang adalah keadaan Rayyan, Rafli tidak pernah menduga kejadian waktu itu begitu merusak mental Rayyan, dan hari ini ia baru menyadari betapa rapuhnya sosok Rayyan, ternyata sikap acuh tak acuh Rayyan yang di tunjukkan kepadanya selama ini adalah bentuk pertahanan diri agar ia tidak kembali terluka.

Setibanya di taman belakang, Rafli berusaha menenangkan Rayyan, ia berulang kali menyakinkan, bahwa Rayyan tidak lah bersalah, mereka hanya buta akan kebenaran yang di sembunyikan, dan ia berjanji pada Rayyan, bahwa ia akan menemukan kebenarannya, cepat atau lambat.


Please....... rasanya sakit bgt jadi Rayyan.....😭

Tapi gimana dong, aku suka....🙂✌️







please buat yang koment²,
ceritaku di luar ekspektasi kalian, nggak se wah yang kalian bayangin, mcnya menye-menye lah,

tolong woy, bukannya aku nggk suka di kritik, tapi di setiap deskripsi karyaku udh aku jelasin, mc yang aku buat emang menye-menye, itu emang selera aku, jadi kalo nggk suka skip aja, dari pada di setiap chapter yang aku unggah isi comentnya selalu sama kayak gitu, bilang mau berhenti baca ceritaku lah, tapi tetep aja selalu di baca, dan berakhir coment kayak gitu lagi, aku nggk maksa kalian menyukai ceritaku, tapi please lah!!! hargai cerita yang aku buat, udah cape-cape mikir ujung-ujungnya di buat down juga, kesel aku lama-lama kalo kayak gini.

Sekian, terima uang cash telah membaca bacotanku yang panjang lebar........

Sekalian mau minta maaf, selama bulan puasa ini, mungkin aku akan jarang up, nggk bisa begadang woy🤧

Vote and coment juseyo.....

the twins sick figure (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang