CHAPTER 9

13.4K 1.1K 10
                                    

Rayyan menangis di kamarnya, seluruh tubuhnya terasa sakit, kepalanya terasa pusing, bahkan ia sudah mulai kesusahan bernafas karena telalu banyak menangis.

'Sial' umpatnya dalam hati, ia pastikan akan membalas semuanya sebelum ia pergi meninggalkan dunia ini, rasanya sungguh sakit menjadi Rayyan, apa lagi bagi orang yang memandangnya, menilai bahwa ia adalah seseorang yang gemar melakukan playing victim.

Bukannya Rayyan tidak tahu, ia tahu itu dengan jelas, bahkan ia dulu juga menuduh Rayyan asli adalah orang yang playing victim, karena selalu menuduh saudara kembarnya yang sebenarnya tidak pernah berbuat jahat padanya.

Tetapi hari ini ia mulai menyadari, bahwa tidak ada yang salah di sini dari sudut pandangnya, biarlah mereka semua menuduh Rayyan seorang penjahat, tapi tidak bagi dirinya, menurutnya Rayyan adalah seorang anak yang kuat karena telah menahan ini seorang diri.

Ia hendak berjalan mengambil masker oksigen di sisi ranjangnya, ia sudah tidak tahan karena rasa sesaknya semakin bertambah, apa lagi rasa pusing di kepalanya membuatnya berjalan sedikit oleng.

Saat dirinya hampir memasangkan masker oksigen pada wajahnya, tiba-tiba saja ada sesuatu yang hendak keluar dari rongga mulutnya, ia semakin tidak tahan karena rasa sakit di dadanya semakin kuat.

Uhuk

Uhuk

Rayyan terpaku saat melihat seteguk darah keluar dari mulutnya, penglihatannya mulai berkunang, tangannya berusaha berpegangan kuat pada nakas guna menahan bobot tubuhnya, namun sayang dirinya oleng dan menjatuhkan beberapa botol obat yang berada di samping nakas, dan kesadarannya mulai menipis, tubuhnya tergeletak tak berdaya di lantai kamar miliknya.

.
.
.
.

Suara pintu di ketuk dari luar, pelakunya adalah sang bunda, Dian tidak menyalahkan perbuatan sang anak, tapi mungkin ia sedikit kecewa, karena anaknya itu telah menghianati kepercayaan yang telah ia berikan.

Sebelumnya, Dian telah berbicara pada Zayyan, Dian meminta maaf pada sang putra akan sikapnya yang pilih kasih, ia menyesal telah menuduh Zayyan tanpa mendengar penjelasan dari kedua putranya agar adil dan tidak menimbulkan kesalah pahaman.

"Ray... buka pintunya nak!" Pinta Dian, ia khawatir akan sang anak.

Berulang kali ia memanggil nama sang anak, namun nihil, tidak ada sahutan dari dalam, ia ingin membuka pintunya, tetapi sang anak telah menguncinya terlebih dahulu.

Perasaannya tidak tenang karena tidak mendapat jawaban dari sang anak, apa lagi setelah itu ia mendengar suara benda jatuh dari dalam sana.

"RAY??? KAMU KENAPA? RAY???" panggil Dian kalut.

"Ada apa bunda?" Tanya Zayyan yang berlari menghampiri sang bunda.

"Adik kamu, cepat ambilkan kunci kamar di laci bunda!" Pinta Dian pada Zayyan.

Setelah mendengar perintah sang bunda, Zayyan bergegas pergi menuju kamar orang tuanya untuk mengambil kunci cadangan.

"Ini bunda!" Ujarnya sesaat setelah mengambil kunci.

Dian membuka pintu Rayyan dengan kasar, disana ia melihat sang anak yang tergeletak di lantai yang dingin.

"Rayyan!" Pekiknya berlari menghampiri tubuh sang anak yang tergeletak tidak sadarkan diri.

"Cepat suruh bodyguard siapkan mobil zay!" Ucap Dian, tanganya terulur memangku kepala sang anak.

Zayyan terdiam, namun ia bergegas menuruti titah sang bunda, jantungnya berdegup kencang saat menyaksikan pemandangan di depannya tadi.

Dian menepuk pelan pipi Rayyan, berharap anak itu mendengar panggilan darinya. Ia khawatir, apa lagi terdapat bercak darah pada area mulut sang anak.

"CEPAT BAWA RAYYAN KE MOBIL!" Titahnya berharap ada salah seorang bodyguard yang mendengar ucapannya.

Tubuh Rayyan di bawa ke rumah sakit, Dian dan Zayyan harap-harap cemas, semoga saja tidak akan ada apa pun yang terjadi pada Rayyan.

Dalam perjalanan ke rumah sakit, Dian membersihkan sisa-sisa darah yang mulai mengering dari wajah sang anak.

Rasa bersalah hinggap dalam hati Zayyan, andaikan ia tidak melupakan janjinya pada sang adik, mungkin adiknya tidak akan kembali collapse seperti ini, apa lagi ini termasuk parah sampai adiknya mengeluarkan darah.

.
.
.
.

Sesampainya di rumah sakit, Zayyan berusaha mengangkat tubuh sang adik menuju ruang UGD, apa lagi tubuh sang adik yang lumayan mungil jika bersanding dengan dirinya.

"CEPAT, PERIKSA ADIK SAYA!" Teriak Zayyan di lorong rumah sakit, para staf medis yang mendengarnya segera melakukan tindakan.

Sedangkan Dian mengurus berkas yang di perlukan untuk penanganan sang anak, walau pun rumah sakit ini tempat biasa anaknya di rawat, tetapi tidak untuknya mengabaikan semua prosedur yang harus ia lakukan.

Setelah menyelesaikan berkas, Dian menyusul sang anak ke ruang UGD, ia menunggu sang dokter menangani Rayyan di depan ruang UGD bersama dengan Zayyan yang berada di sampingnya.

Saat dalam perjalanan tadi, ia menyempatkan mengabari sang suami tentang keadaan Rayyan yang mengharuskan dibawa ke rumah sakit, lalu memerintahkan seseorang untuk menjaga anak bungsunya yang berada di mansion.

Dokter Fahri keluar dari ruang UGD, apa lagi sebelumnya ia mendapat laporan bahwa Rayyan pasien yang biasa ia tangani di larikan ke rumah sakit.

"Bagaimana keadaan Rayyan, dok?" Tanya Dian.

Dokter Fahri menghela nafasnya sejenak, " hah, apa kah anak anda mengalami masalah?, Rayyan seperti ini karena terlalu banyak berfikir dan tertekan, sebaiknya anda lebih mendorong anak anda agar lebih terbuka." Jelas dokter Fahri.

"Baiklah dok, terima kasih." Ucap Dian.

Mereka bersyukur, setidaknya tidak ada hal yang membahayakan keselamatan Rayyan.

"Kalau begitu, Rayyan akan kami pindahkan keruangan miliknya." Jelas dokter Fahri lalu beranjak dari sana.

Dian dan Zayyan mengikuti dari belakang, dimana bangkar Rayyan di dorong menuju ruang inapnya.

Aryan datang ke rumah sakit setelah medengar kabar dari istrinya bahwa sang anak Rayyan kembali collapse.

Ia terburu-buru menghampiri ruangan sang anak, saat pintu terbuka, disana ada Dian dan Zayyan yang menunggu di sofa, dengan langkah cepat Aryan menghampiri keduanya.

Lagi-lagi, tamparan keras di arahkan pada pipi Zayyan hingga tercetak ruam merah sangking kerasnya tangan sang ayah mendarat di bibirnya.

Dian yang berada di samping Zayyan terkejut atas tindakan sang suami.

"Mas!" Pekiknya sembari menarik Zayyan agar berlindung di belakangnya.

"Apa lagi yang di lakukan anak ini?, belum cukup kau mencelakainya dan sekarang kau hampir membunuhnya!" Marahnya pada sang anak.

Biasanya Zayyan akan marah dan kecewa atas perlakukan yang di layangkan untuknya, namun kali ini tidak, malahan ia merasa pantas mendapatkan tamparan dari kedua orang tuanya karena telah lalai menjaga sang adik.

"Mas sudah cukup, hentikan mas, bukan Zayyan penyebabnya!" Belanya.

"Tapi biasanya dia kan pelakunya!" Jawab sang suami sarkas.

"Aku akan menjelaskannya, namun sebelum itu, lebih baik kita menunggu Ray sadar dulu, karena hanya Ray yang bisa menjelaskan semuanya padamu." Jelasnya pada sang suami.

Memang di mata orang yang baru melihat suaminya, mereka pasti akan berpikir bahwa suaminya ini adalah sosok yang gila kerja dan mengabaikan keluarganya, namun aslinya tidak, suaminya ini adalah sosok penyayang di dalam keluarganya, apa lagi Rayyan yang lebih membutuhkan perawatan ekstra, suaminya bahkan rela membeli peralatan rumah sakit yang tergolong cukup mahal untuk di tempatkan di dalam mansion.

Di balik sosok tegas dan keras kepalanya, Aryan adalah seorang ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya.








Seperti biasa, vote dan coment nya......🙏🏻😌

the twins sick figure (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang