CHAPTER 11

13.3K 1.1K 13
                                    

Saat ini Rayyan tengah berada di dalam kamarnya untuk mengerjakan tugas sekolah yang selalu saja berdatangan tiap hari tiada henti, sebenarnya Rayyan capek, padahal dulu ia telah lulus sekolah, eh saat ia masuk kesini ia harus mengulang waktu sekolah tiga tahun lamanya, walau pun dirinya tidak bodoh, tapi kan otaknya butuh untuk di istirahatkan.

'Sabar Rayyan ini ujian' batinnya saat melihat masih banyak soal yang harus ia kerjakan, salahnya sendiri yang selalu menunda tugas sekolah dan akan di lakukan saat waktunya hampir habis.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, biasanya Rayyan akan tidur saat jam sembilan malam, apa lagi sang bunda yang selalu mengingatkan dirinya agar tidak terlalu memaksakan tubuhnya.

Namun tidak kali ini, Bundanya tidak datang mengampirinya. Entahlah, Rayyan tidak tahu penyebabnya.

Netranya mulai mengantuk, tetapi jika tidak di kerjakan sekarang, ia takut dirinya akan kena hukuman dari guru mapel, jadi sekarang ia harus segera menyelesaikannya, walau pun ia harus begadang, sesekali tidur larut malam tidak akan membahayakan tubuh ringkihnya kan?

Setelah pukul satu malam, akhirnya semua tugas yang Rayyan kerjakan telah usai, saat hendak beranjak dari meja belajarnya, sebuah cairan kental keluar dari lubang hidungnya, Rayyan berusaha menutupi lubang hidungnya menggunakan sebelah tangannya, dan tangan yang satunya ia gunakan untuk mengambil selembar tisu, Rayyan bahkan hampir menghabiskan separuh kotak tisu untuk menghentikan mimisannya.

Dirasa mimisannya telah terhenti, Rayyan membersihkan lembaran tisu yang telah ternodai dengan darah miliknya, lalu membuangnya ke kantong plastik hitam agar tidak ada yang bisa melihatnya.

Rayyan menuju ke ranjangnya agar bisa mengistirahatkan tubuhnya, padahal baru sampai jam satu malam tubuhnya sudah mulai bermasalah, apa lagi jika ia rutin melakukannya setiap hari, apa tidak langsung koma dirinya jika di teruskan.

Semakin hari ia merasakan tubuh yang ia tempati semakin melemah, bahkan tiap hari ia selalu mengalami mimpi buruk sehingga mengganggu kesehariannya.

Rayyan terlelap, wajah damainya tercetak jelas di netranya yang tertutup, kulit putih pucatnya bahkan terlihat jelas di remangnya cahaya sang rembulan, sunyinya malam terasa begitu panjang, sampai tidak bisa menyadarkan mimpi buruk milik seseorang.

.
.
.
.

Pagi hari telah tiba, kini saatnya Rayyan turun ke bawah untuk mengikuti sarapan keluarga, tidak ada yang berubah, Rayyan dengan keterdiaman seribu satu bahasanya.

Rayyan tidak akan mengawali percakapan sebagaimana sebelumnya, ia hanya berbicara jika ada seseorang mengajaknya berbicara, bahkan hari-harinya selama di mansion ia habiskan berada di kamar miliknya yang berbau obat-obatan, jangankan pergi keluar mansion, ia bahkan tidak keluar dari dalam kamarnya.

"apa yang terjadi padamu Rayyan?" Tanya sang ayah di tengah-tengah acara sarapan.

"Tidak ada." Jawab Rayyan singkat.

"Kali ini apa maksudmu Rayyan,kenapa kau jarang sekali berinteraksi dengan kami?" Ucap sang ayah yang mulai tidak bisa mengontrol intonasi suaranya yang mulai meninggi, ia sudah cukup sabar untuk prilaku sang anak saat ini, bahkan ia dengan sengaja melarang istrinya untuk berinteraksi dengan sang anak jika prilakunya terus seperti ini.

"Beginilah sifat asliku ayah, memang apa yang bisa ayah harapkan dari anak penyakitan sepertiku?" Tanya Rayyan balik.

"Kali ini kau melewati batas Rayyan, mulai hari ini ayah akan mulai mendisiplinkan kamu, ayah sudah cukup sabar dengan sikapmu belakangan ini." Ucapnya mutlak.

Mereka semua tanpa terkecuali Rayyan membelalak saat mendengar keputusan Aryan yang terbilang cukup spontan.

"Ayah akan menyita semua fasilitasmu!" Titahnya, tangannya terulur meminta semua benda berharga yang berada di saku Rayyan.

Dengan wajah datar Rayyan menyerahkan semua barang penting miliknya, entah itu kartu kredit, ponsel dan beberapa barang pemberian dari sang bunda.

"Sudahkan?" Tanya Rayyan sarkas, lalu beranjak dari sana untuk berangkat ke sekolah dengan di antar oleh sang supir.

Mereka mematung, mereka pikir Rayyan akan menolak titah sang ayah dan memutuskan merubah sikapnya, tetapi keputusan yang Aryan buat ternyata salah, anaknya itu malah dengan senang hati menuruti perintahnya.

"Mas kamu keterlaluan." Tegur Dian.

"Ini demi Rayyan juga Di." Jawab Aryan, walau di hatinya ia sedikit ragu.

"Saat sampai di sekolah, kau awasi adikmu Zay, jika terjadi sesuatu langsung hubungi kami." Ujar sang ayah, Zayyan mengangguk mengiyakan tugas yang di berikan untuknya, Zayyan senang, iaa jadi ada waktu agar selalu berdekatan di sisi sang adik.

.
.
.
.

Rayyan melangkahkan kakinya menuju ruang kelas, setibanya di sana Rayyan memilih menelungkupkan wajahnya di atas bangku, dirinya mengantuk, salahkan saja ia yang begadang sampai dini hari.

Satu persatu para murid mulai memasuki ruang kelas, Zayyan yang sedari tadi tengah memperhatikan sang kembaran tidak berniat memutuskan pandangannya.

Sebenarnya Zayyan tidak tega melihat kembarannya menjadi pendiam seperti ini, padahal dulu Rayyan adalah anak yang selalu ceria, ia sungguh ingin kembarannya bersikap seperti sebelumnya.

Bel masuk telah berbunyi, Rayyan yang sedari tadi memejamkan mata memilih meninggalkan kelas, sebelumnya ia meminta izin ke guru yang mengajar agar bisa pergi ke UKS, ia ingin sekali bisa mengistirahatkan tubuhnya.

Zayyan yang merasa penasaran pun ikut keluar mengikuti langkah sang kembaran, sebisa mungkin ia harus membuat ketiga teman adiknya tidak akan berani menghampiri Rayyan, ia takut, sungguh. Meskipun Rayyan terkadang memilih bersama mereka dari pada dirinya.

Tapi pemikiran zayyan sangat terbanding terbalik dengan pemikiran Rayyan, Rayyan memilih hal itu bukan semata-mata karena ia ingin, tapi keadaan yang mengharuskannya seperti itu.

Saat tiba di UKS, Rayyan merebahkan tubuhnya di atas bangkar, lalu melanjutkan tidurnya yang tertunda, rasanya pusing sekali jika berusaha menahan rasa kantuk.

Rayyan terlelap, sedangkan Zayyan menyusul sang kembaran ke dalam UKS, ia khawatir, apakah kembarannya itu sakit? Wajah kembarannya pucat, tidak kah Zayyan ingat bahwa rona wajah sang kembaran selalu seperti itu, tidak pernah berubah sedikit pun.

Zayyan mengecek suhu sang adik, memastikan bahwa kembarannya itu baik-baik saja, beruntung tidak ada hal yang perlu ia khawatirkan.

"Kenapa kau menjadi seperti ini Ray?" Tanya Zayyan sendu di samping Rayyan yang tengah terlelap.

Zayyan menyesal, salahkan saja ia saat adiknya ingin memperbaiki hubungan mereka ia lebih memilih abai, ia pikir semua itu hanya akal-akalan adiknya saja agar lebih leluasa memanfaatkan dan memfitnah dirinya.

"Aku minta maaf, sungguh. Aku harap semoga hubungan kita kembali seperti sebelumnya." Ucap Zayyan lalu beranjak dari sana.

Rayyan membuka netranya, ia mendengar semua apa yang di ucapkan sang kembaran.

"Berucap memang mudah Zay, tapi tidak mudah untuk di lakukan, bahkan mengingat kejadian itu selalu menghantui malamku, walau pun bukan aku yang mengalaminya, tapi jiwaku ikut merasakan apa yang Rayyan rasakan." Lirih Rayyan.

Dulu saat pertama kali ia datang kesini, Rayyan juga ingin seperti keinginan Zayyan bisa memperbaiki hubungan mereka. Namun setelah itu ia sadar, tidak mudah untuk melakukannya, karena sesungguhnya semua tidak semudah membalikkan telapak tangan.




Vote and coment juseyo....
Jadi bimbang, mau nerusin cerita apa enggak

the twins sick figure (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang