CHAPTER 34

6.8K 558 33
                                    

Zayyan tengah berada di dalam kelasnya, suasana begitu riuh, apa lagi sekarang tidak ada guru yang mengisi kelas.

Saat tengah bergurau dengan teman-temannya, beberapa notifikasi pesan tertera di layar ponsel Zayyan, ia membuka pesan tersebut saat nama Rafli muncul di sana.

Urat wajah Zayyan tercetak, ia sengaja memutar video yang dikirim oleh Rafli, wajahnya merah padam, ia tidak bisa lagi menahan emosinya, Zayyan berlari keluar tanpa mendengarkan panggilan dari teman-temannya.

Akhirnya terjawab sudah alasan adiknya bertingkah seperti itu, ternyata semua itu adalah penyebab ketakutan sang adik, ia tidak akan mengampuni pelaku yang melecehkan adiknya, tidak akan pernah. Jika perlu, ia akan membunuh pelakunya dengan tangannya langsung.

Zayyan sungguh bodoh, jika Rayyan senang dirinya tersiksa buat apa setiap dirinya di hukum adiknya itu akan mengalami collapse.

Ia merutuki dirinya yang terlambat menyadari keadaan sang adik, bahkan ia tidak mengetahui apa saja yang terjadi saat adiknya berada di sekolah, seharusnya ia curiga karena sifat adiknya yang mulai berubah semenjak memasuki jenjang sma, tapi Zayyan seakan buta dan lebih memilih menikmati dunianya sendiri di bandingkan menjaga adiknya atas perintah orang tuanya, rasanya ia pantas menerima semua tuduhan yang adiknya berikan padanya, karena pada aslinya ia adalah penyebab semuanya.

Ternyata penyebab semua ini adalah karena ia yang lalai menjaga sang adik, seharusnya ia curiga saat adiknya itu pamit ke toilet dan tak kunjung kembali, andaikan ia menaruh rasa curiga saat itu, mungkin kejadian menyakitkan itu tidak akan pernah di alami oleh adik kembarnya, ia tidak tahu ternyata adiknya ini tersiksa setiap harinya.

"BRENGSEK!" Zayyan menerjang tubuh Jefri tanpa aba-aba, ia dengan membabi buta memukul setiap inci wajah Jefri, hal itu menyebabkan para murid perempuan memekik keras lantaran terkejut.

"KENAPA KAU MELAKUKANNYA?" Murkanya.

"KATAKAN KENAPA?!" Sekarang ia tengah di liputi amarah.

"Oh, kau sudah tahu rupanya!" Saut Jefri enteng, ia meludahkan darah di mulutnya kearah Zayyan.

"Apa alasannya? Kenapa kau lakukan ini semua pada adikku hah? Bukankah sudah cukup membuat adikku memiliki trauma? Kenapa kau hancurkan masa remajanya?" Tanya Zayyan lirih, air matanya tidak dapat ia tahan.

"Tidak ada alasan, hanya saja.... aku merasa senang jika adikmu tersiksa, dan ya.... semakin tersiksa adikmu, maka aku semakin merasakan kesenangan yang tiada henti!" Jawab Jefri enteng, bahkan pemuda itu dengan gampangnya menampilkan senyuman lebar ke arah Zayyan.

"Psikopat gila!" Murkanya, Zayyan kembali membabi buta memukuli tubuh Jefri, bahkan ia tidak membiarkan Jefri bergerak sedikit pun, ia mengunci semua pergerakan Jefri.

Karena pertengkaran yang terdengar sampai telinga para guru, perkelahian itu di hentikan dengan keadaan Jefri di ambang batas kesadarannya.

Sedangkan Zayyan memutuskan untuk pergi ke sekolah sang adik, ia ingin memastikan keadaan adiknya baik-baik saja.

.
.
.
.

Ia tiba di depan pintu gerbang sekolah sang adik, ia menatap lamat bagunan itu, Zayyan pikir, setelah adiknya pindah sekolah ke sini kehidupan adiknya akan membaik, namun ternyata salah, kehidupan adiknya bahkan lebih buruk dari neraka, membayangkan betapa tersiksanya sang adik setiap menginjakkan kaki di gedung ini membuat hatinya berdenyut nyeri.

Karena adanya akses tertentu, membuat Zayyan bebas keluar masuk di sekolah ini, Ia melangkahkan kaki ke halaman sekolah, lalu berjalan ke arah taman belakang.

Saat melihat siluet sang adik yang tengah terduduk di bangku taman, Zayyan segera berlari menghampiri sang adik, ia memeluk erat tubuh adiknya sembari meneteskan air mata.

Ia bersumpah tidak akan membiarkan para pelaku itu hidup tenang, ia akan membalaskan dendam pada mereka atas perlakuan yang mereka berikan pada adik kecilnya, bagaimana bisa mereka memperlakukan adiknya selayaknya binatang, bahkan keluarganya saja tidak pernah melakukannya, dan mereka, mereka yang tidak mempunyai status hubungan pada sang adik tega melakukan hal bejat itu pada adiknya.

"Maaf..... maafkan aku..." ucap Zayyan lirih.

"Kak....." panggil Rayyan pelan, ia menatap manik sang kakak.

"I itu ti tidak benar kan? Aku tidak mungkin melakukannya, bagaimana bisa aku melakukannya?!" Tanyanya pada sang kakak, ia tidak percaya apa yang telah ia lihat.

Zayyan meneteskan air mata di hadapan sang adik, ia tidak mampu untuk menjawab pertanyaan sang adik, bagaimana mungkin ia tega mengatakan kebenarannya?

"Maaf, maafkan kakak Ray!" Zayyan kembali memeluk tubuh sang adik erat.

"A...a...." Rayyan tidak mampu untuk berucap, bagaimana ini? Rayyan ingin menangis, tapi ia tidak bisa. Ternyata memang benar ia melakukannya, tubuhnya telah cacat, ia pantas mendapatkan hukuman.

Zayyan kembali menatap manik sang adik, lagi-lagi ia harus menjadi saksi hancurnya mental milik sang adik.

"Menangislah Ray, lebih baik kamu menangis dari pada terdiam seperti ini!" Lirihnya.

Mental Rayyan rusak, kehidupannya hancur, ia harus dengan cara apa menjalani sisa hidupnya, kenapa semua menjadi penjahat di kehidupan Rayyan, Tuhan juga. Tidak seharusnya Rayyan menerima kehidupan ini.

Rafli tersenyum pedih menyaksikan keduanya, betapa kuatnya Rayyan selama ini, jika ia yang mengalami hal itu,mungkin sudah sedari dulu ia memilih mengakhiri hidupnya.

Mereka berdua membawa Rayyan kembali ke Mansion, mungkin untuk seterusnya, Zayyan tidak akan pernah mengizinkan sang adik kembali ke sekolah ini.

Dalam perjalanan pulang, Zayyan senantiasa mendampingi sang adik, walau pun tidak ada respont dari sang empu, sedangkan Rafli tengah fokus mengemudi, dan sesekali melihat dari kaca spion.

Setibanya di Mansion, kedatangan mereka telah di sambut Dian dengan kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya.

Sama seperti yang lainnya, ia juga tidak menduga akan mendapatkan kabar yang begitu menyakitkan dari sang putra.

Dian membantu Rayyan menuju kamar sang anak, walau pun tidak ada respont yang keluar dari sana, ia tidak henti-hentinya mengajak sang anak berbicara.

Ia merasakan tubuh sang anak melemas, seakan tidak ada tumpuan di sana, bahkan keadaan sang anak seperti mayat hidup, tidak merespont, tidak pula bersuara, seakan dunia di mata sang anak telah terhenti.

Setelah mengganti baju yang Rayyan kenakan, ia kembali memposisikan sang anak agar bisa beristirahat di atas ranjang.

"Zay, tolong kabari ayahmu dan minta dokter Fahri agar segera tiba." Ucap Dian, ia berusaha menguatkan dirinya agar tidak goyah.

Dian mengelus pucuk rambut Rayyan berulang kali, ia berharap sang putra agar segera terlelap, setidaknya penderitaan sang putra akan menghilang setelah anaknya memejamkan mata. Ia berharap, setidaknya anaknya akan mengalami mimpi indah di alam bawah sadarnya, dan setidaknya, penderitaan sang putra akan berakhir setelah membuka mata.

Perlahan-lahan mata Rayyan terpejam karena elusan sang bunda, tidur Rayyan terlihat tenang, Dian meneteskan air matanya.

"Semoga mimpi indah anak bunda." Ucapnya, ia mencium lamat dahi sang anak, lalu setelahnya keluar dari sana, begitu pun dengan Zayyan.





Semakin ke sini, semakin ngerasa kalo Jefri definisi diriku yang ingin Rayyan tersiksa:,)

Vote and coment juseyo.....

the twins sick figure (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang