Bab 18: Pertemuan dengan Al

31 9 0
                                    

╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗
~ HAPPY READING ~
╚═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╝


≪━─━─━─━─=== • ✠ • ====─━─━─━─━≫

Satu minggu kemudian telah terlewati. Ana merasa bahagia karena meskipun ia tidak bisa kuliah serta di bawah tekanan, setidaknya ia bisa mempunyai seseorang untuk tempat ia bercerita, yaitu Jansen. Bahkan karena kegemaran mereka yang sama yaitu bermain game online yaitu free fire, membuat mereka sering main bersama.

Sampai suatu hari, Jansen mengajak Ana untuk bertemu kembali di kafe, namun di Malang Kota. Ana tentu saja langsung setuju. Dengan segala cara, akhirnya Ana bisa keluar dari rumahnya dan memesan ojek online guna menuju ke kafe.

Sesampainya di kafe, Jansen ternyata mengajak Riski supaya lebih asik jika bertiga. Mereka pun langsung menuju tempat duduk yang seharusnya berisi empat orang.

“Lah, Li. Kok kamu bisa keluar rumah dan ke sini?” tanya Riski heran.

“Yaa butuh effort lah supaya bisa ketemu kalian, hehe,” canda Ana.

“Sen, lo maksa Lia buat ke sini?” tanya Riski dengan raut wajah curiga.

“Kagak lah, sekedar ngajak eh tau-taunya Lia mau, haha.” Jansen sambil tertawa.

“Gimana Li keadaan kamu sekarang?”” tanya Riski.

Alhamdulillah baik, soalnya ada Jansen yang nemenin hehe.” Ana terlihat sambil tersenyum melihat ke arah Jansen.

“Hmm baguslah kalau gitu. Yang penting jangan sampai bunuh diri lagi kayak waktu itu. Untung aja ada si Hendri yang nolongin. Coba kalau enggak, apa jadinya kamu sekarang,” ucap Riski sambil geleng-geleng kepala.

“Iya-iya, gak akan gitu lagi, kok. Tenang aja,” ucap Ana sambil menyengir.

Tak lama kemudian, terlihat seorang lelaki seusia Ana mendatangi meja tempat Ana dan yang lain nongkrong.

“Sorry, Bro, ganggu. Boleh join, gak? Meja lain dah pada penuh, nih.”

Jansen pun langsung menjawah, “Yoi, duduk aja.”

Lelaki tersebut pun ikut bergabung bersama Ana dan yang lain.

Sesaat kemudian, pesanan mereka datang. Sambil menikmati suasana, Jansen mengajak Ana dan Riski untuk bermain game. Karena satu tim terdiri dari empat orang, sehingga tim Jansen kurang satu. Ia pun bertanya pada lelaki di samping Ana.

“Bro, lu mau join mabar gak? Kurang satu nih,” ajak Jansen sambil menunjukkan ponselnya.

“Boleh, deh. Bentar gua login.”

Setelah mereka berempat masuk dalam tim, Ana melihat tittle pada karakter lelaki di sebelahnya yang bertuliskan Kab. Malang. Ia penasaran di mana rumah lelaki tersebut.

Di saat yang sama, lelaki tersebut juga melihat tittle milik Ana sama dengan miliknya. Ia bertanya pada Jansen.

“Bro, cewekmu ini Malang daerah mana?”

“Ya gak tau lah, tanya aja sendiri.” Jansen terlihat sedikit cuek.

“Ngapain ngomongin aku?” sahut Ana tiba-tiba.

“Eh Mbak, Malangnya mana?” tanya lekaki tersebut.

Lalu Ana pun menjelaskan di mana tempat tinggalnya, yang ternyata lelaki tersebut tahu daerah Ana. Ana juga menanyakan di mana rumah lelaki tersebut, dan Ana ternyata juga tahu.

“Oh ya, nama kamu siapa, Mbak?” tanya lelaki tersebut lagi.

“Aku Liana. Terserah sih, bisa panggil Lia bisa Ana,” ucap Ana sambil tersenyum.

“Salam kenal, Mbak Ana. Aku Alfariz. Panggil aja Al.” Lelaki tersebut turut tersenyum seraya mengulurkan tangan kanannya.

Ana mengangguk sambil menjabat tangan lelaki di sebelahnya yang ternyata bernama Al.

“Kapan-kapan bisa dong kita ngopi di wisata daerah kamu,” canda Al.

“Oh, boleh banget,” sahut Ana dengan semangat.

Tanpa berpikir, Ana menyetujuinya. Padahal sebenarnya ia tahu bahwa kondisinya saat itu tengah tak baik-baik saja. Ia masih dalam masalah besar. Namun apa salahnya membuat orang lain senang? Toh ajakan tersebut bukan berarti harus dilaksanakan hari itu juga, kan?

“Tapi ntar pacar kamu marah,” canda Al.

“Aku gak punya pacar, Mas,” ucap Ana tiba-tiba.

“Lah ini depan kamu,” ucap Al sambil menatap Jansen yang masih fokus bermain game.

“Bukan pacar, cuma temen. Emang kalau nongkrong gini udah pasti pacaran, ya?” tanya Ana sambil bercanda.

“Ya nggak juga sih.” Al terlihat menyengir.

Mereka pun tertawa pelan dan melanjutkan obrolan, sedangkan Jansen dan Riski fokus bermain game.

***

Satu jam kemudian, Al berpamitan untuk pulang terlebih dahulu karena ada urusan. Tak lupa ia meminta nomor Ana untuk sekedar menambah teman, dan Ana pun memberikannya.

Setelah Al pergi, Jansen pun bertanya pada Ana.

“Beneran kamu kapan-kapan mau meet sama dia? Nanti kamu selingkuh.”

“Apasihh, dia kelahiran 2005, bukan tipe ku. Aku gak suka brondong,” canda Ana menahan tawa. Ia tahu bahwa Jansen sebenarnya cemburu.

“Hah!” Jansen terkejut sampai hampir tersedak minuman.

“Kenapa?” tanya Ana santai.

“2005? Gak salah?” Jansen terlihat masih tak percaya.

“Iya, kan tdi dia ngomong ke aku,” jelas Ana.

“Hmm berarti aku pas gak denger.” Jansen terlihat lebih tenang.

“Emang kamu sukanya om-om, ya?” goda Jansen.

“Minimal selisih 1 tahun sama aku, maksimal selisih 4 tahun sama aku,” tukas Ana dengan serius.

“Lah kirain lebih dewasa dia dari aku tadi.” Jansen terlihat mengembuskan napas besar.

“Ya definisi umur cuma angka,” canda Ana lagi.

Setelah itu, mereka bertiga memutuskan untuk pulang karena takut Ana akan dimarahi jika ketahuan pergi.

***

Sesampainya di rumah, Ana menerima pesan dari nomor tak dikenal.

+6282678304214

Save Mbak, Al yang tadi di kafe.

11.49

Lalu Ana pun membalasnya.

Me

Oh iya, save back Mas.

11.50

Setelah hari itu, mereka pun sering berbalas pesan. Bahkan tak jarang pula Al sering mengajak Ana untuk bermain game bersama, dan Ana juga tak menolaknya. Namun Ana tak memberitahu Jansen. Baginya, untuk apa ia harus memberitahu Jansen. Toh juga Jansen hanya temannya.

╔═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╗
• • B E R S A M B U N G • •
╚═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╝

Sampai di sini dulu yaa...
Gimana ceritanya? Kalau bagus, jangan lupa untuk vote, comment, and share yaa.... Karena itu gratis.
See you next part😍...

Salam
Eryun Nita

ALANA: Bad Girl VS Bad Boy [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang