Awan terduduk di atas kasurnya, dia sedang memainkan handphone- nya guna memeriksa apa yang harus dilakukannya esok hari sebelum dirinya berangkat menuju alam mimpi. Tangannya tergerak untuk membuka aplikasi whatsapp , memeriksa semua pesan yang dikirimkan kepadanya, dan barangkali ada pesan penting yang ditujukan untuknya ia lakukan.Tiba-tiba tangannya berhenti saat melihat kontak baru yang telah di- add ke dalam whatsapp- nya, seketika itu juga dia langsung teringat kejadian tadi siang.
Setelah gerombolan remaja perempuan itu meninggalkan kafe, Awan langsung memberi kode pada Ervin bahwa suasana sudah terkendali. Ervin langsung menyudahi aktingnya dan melepaskan genggaman tangan pada Awan, dirinya segera melepaskan kunciran rambutnya, serta memakai topi dan maskernya kembali.
"Makasih.Gue cabut dulu ya''
Ervin pun beranjak dari kursinya, dan baru ingin melangkah pergi, tangannya ditahan oleh Awan.
"Tunggu Vin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu."
Ervin mengernyit kala mendengar ucapan Awan, namun karena sedari dulu dirinya diajari oleh kedua orang tuanya, untuk menghargai siapa pun yang berbicara, lantas dirinya pun duduk kembali.
"Mau ngomong apa?"
"Aku minta maaf ya soal yang kemaren, maksudku kemaren ngomong gitu bukan karena aku ngga setuju kamu main jadi pemeran utama, tapi aku takut ini di luar kemampuan kamu, karena kamu ngga biasa main genre kayak gini."
"Lo ngeraguin kemampuan gue sebagai aktor?"
"Bu...bukan juga, cuma kan ada aktor atau aktris yang butuh penyesuaian dengan waktu yang lama buat matengin karakter di luar genre yang biasa mereka mainin, cuma dikasih waktu kurang lebih 3 bulan sebelum syuting, aku takut itu terlalu sebentar."
Ervin hanya memandang Awan lamat-lamat dengan lipatan datar.
''Siniin hp lo.'' Ucap Ervin
"Eh, buat apa?"
Keterdiaman Ervin dan menyertakan ketajaman dari matanya membuat Awan pada akhirnya menuruti keinginan sang aktor.Tatkala Ervin mengambil dari tangannya, terlihat dari manik Awan bahwa dia mengotak-atik handphonenya dengan tujuan tertentu.
"Nih." Ucapannya setelah selesai dan memberikannya kembali kepada Awan.
Awan hanya menerima handphone-nya kembali, walau cukup bingung dengan apa yang Ervin perbuat dengan handphone-nya.
"Kalau menurut lo terlalu sebentar, bantuin gue."
''Kenapa harus aku ?'' Tanya Awan kembali ketika dia sedikit bingung dengan permintaan Ervin.
Ervin tidak menjawab, detik berikutnya ia sudah beranjak dari kursinya.
"Pikirin sendiri aja, gue sibuk. ''
Kemudian, sosok Ervin pun berlalu meninggalkan Awan sendirian.
Awan sedikit tersenyum kala mengingat kejadian itu, dan setelahnya, menjadi bingung alasan mengapa ia tersenyum ketika mengingat kebersamaannya yang singkat dengan Ervin.Tiba-tiba deringan pada handphone -nya menyadarkannya dari lamunannya, tertera kontak teman masa kuliahnya yang sudah lama tak ia jumpai.
"Awann, bagaimana kabarnya??"
"Aku sehat Fan, kamu sendiri gimana?"
"Aku juga sehat. Btw, selamat ya, aku bangga banget ama kamu , Wan."
" Hahaha, makasih ya."
"Aduhh ga sabar banget liat kating idaman waktu kuliahku itu akting di film kayak gini, pasti makin wow banget aura idamannya."
Awan sedikit heran, kala mendengar pernyataan Fani, teman semasa kuliahnya di kampus yang berbeda.
"Dia anak hukum juga Fan?" Tanya Awan menyuarakan rasa penasarannya.
"Iya, lulusnya cumlaude pula, tapi se-univ juga kaget pas dia mutusin buat jadi aktor, padahal tawaran sana-sini udah masuk, tapi dia tolak semua."
Awan terdiam beberapa saat setelah mendengarnya.
"Kira-kira kenapa ya Fan?Maksudku, ilmu hukum kan sayang kalau ngga digunakan setelah lulus, belajarnya juga ngga mudah." Lanjutnya kemudian.
"Nah itu, kita semua bingung, tapi ada yang bilang dia masih nyari kebenaran dari kejadian 4 tahun lalu."
"Kejadian 4 tahun yang lalu?"
"Iya, inget kan 4 tahun lalu ada kejadian apa?"
"ERVIN!" Wanita paruh baya itu menangkap lengan sang putra yang berjalan tergesa-gesa keluar rumah.
"Lepas, Ma." Ujar Ervin dengan suara bergetar, matanya sudah berkaca-kaca sedari tadi.
"Ma...maafin Mama sayang, Ma...mama cuma ngga mau kamu kenapa-napa." Ujar sang mama seraya memeluk erat lengan sang putra, tak lupa dengan derasnya air mata yang mengalir deras dari kedua matanya.
Ervin menghembuskan napas kasar, dirinya mencegah air matanya tuk jatuh, kemudian memposisikan badannya untuk menghadap sang mama, dibingkainya dengan lembut wajah sang mama, dan diusapnya air mata itu menggunakan kedua jempolnya.
"Mama, percaya sama Ervin ya, Arum pasti bakal Ervin temuin apapun yang terjadi.Percaya sama Ervin ya Ma, please, Ervin mohon, Ma. " Ujar Ervin menatap memohon pada sang mama dengan mata yang berkaca-kaca.
Sang mama hanya menahannya sesaat dan kemudian menarik napas dan menghalanginya, dia menatap ke belakang sang putra dengan mewujudkan naungan, kemudian menarik perlahan kedua tangan sang putra yang masih melekat di wajahnya dan mencengkeramnya dengan lembut.
"Mama percaya, Mama akan selalu percaya, Nak. Tapi, terkadang ada hal-hal yang harus kita ikhlaskan walaupun itu adalah hal-hal tersulit bagi kita untuk kita relakan sekalipun, karena kita ngga akan melangkah maju, kalau terus hidup dalam bayang- bayangan masa lalu."
"A...aku ngga hidup dalam bayang-bayang masa lalu Ma, aku yakin Arum masih hidup di suatu tempat."
"Sayang, Mama mohon, Mama udah ngga mau kehilangan anak Mama lagi, ngga ada bukti yang membenarkan keberadaan adikmu bahwa dia masih hidup." Ucapan sang mama seraya mengusap pelan salah satu sisi pipi lalu memintanya memohon.
Ervin hanya terdiam setelah mendengar permintaan sang mama.
''Dan Mama lupa kalau ngga ada mayat yang membuktikan kebenaran kalau Arum udah meninggal.'' Ucap Ervin sembari melepaskan tangan mamanya yang masih membingkai salah satu pipinya, dan kemudian berjalan meninggalkan sang mama di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accidentally
ChickLit"해안이 보이지 않는 것을 이겨낼 용기가 없다면 절대로 바다를 건널 수 없다." Haeani boiji anneun geoseul igyeonael yonggiga eopdamyeon jeoldaero badareul geonneol su eopda. "Kamu tidak akan pernah bisa menyeberangi lautan luas sampai kamu memiliki keberanian melupakan pantai."