"Kalau barang bukti sudah jelas dan tersangka sudah mengaku, berapa persen kemungkinan kita dapat membuktikan adanya kesalahan dalam kasus ini berdasarkan perasaan janggal yang kita rasain?" Tanya Awan kemudian.Meskipun, dirinya pun ikut merasakan kejanggalan, tapi fakta yang menunjukkan kejelasan barang bukti, tersangka yang sudah mengaku, dan adanya pernyataan dari saksi, memberikan mereka hal yang sebaliknya, seolah mengatakan kepada mereka bahwa bisa jadi kejanggalan yang mereka rasakan hanyalah sebuah prasangka belaka.
Ervin yang mendengarnya hanya terdiam, dirinya tak menampik, bahwa perkataan Awan ada benarnya.Dirinya bahkan terkadang mengunjungi tersangka yang saat ini sedang mendekam di penjara, atas hukuman seumur hidup yang sedang dijalaninya untuk menanyainya lebih lanjut, sebelum pada akhirnya pihak kepolisian melarangnya untuk kembali datang, disebabkan kunjungan terakhirnya, yang menyebabkan sang tersangka babak belur akibat ulahnya.Dirinya kadang merasakan ketakutan, 'bagaimana kalau selama ini dirinya terjebak dalam ilusi yang selama ini ia ciptakan, dengan beranggapan bahwa sang adik masih hidup, karena menolak tuk mengakui bahwa sang adik telah pergi untuk selama-lamanya?'.
Melihat Ervin yang nampak frustasi, membuat Awan tak berani tuk mengatakan sesuatu, pada akhirnya, keduanya hanya terdiam dan hanyut dalam pemikirannya masing-masing, hingga Ervin terlebih dahululah yang membuka suaranya.
"Lo tau Wan?, sebenernya gue sama Arum itu ngga ada ikatan darah."
Awan yang mendengarnya tak urung tuk menunjukkan raut wajah keterkejutan.
"Gue sebenernya anak adopsi yang diangkat sama keluarga Prabaswara, ibu gue ngebawa gue ke Indonesia pas umur gue dua tahun, sebelum akhirnya dia nitipin gue di panti asuhan pas umur lima tahun."
"Ngebawa kamu ke Indo?Berarti sebelumnya kamu tinggal di luar?"
Ervin yang melihat itu hanya mengangguk, tak lama setelahnya, terdengar kekehan keluar dari mulutnya, yang dapat Awan tahu makna dari kekehan itu bukan sesuatu yang lucu telah terjadi, melainkan memberikan sindiran kepada nasib nahas yang dialaminya.
"Ingatan anak umur dua tahun ngga mungkin gue inget ampe umur gue yang sekarang, semua cerita kedatangan gue sama ibu gue, gue dapat dari ibu panti tempat dulu gue tinggal."
Ervin memberhentikan kalimatnya, dia menatap kedua tangannya dengan jari-jari yang saling bertaut, nampak matanya telah berkaca-kaca, namun sebisa mungkin ia tahan tangisan dan isakan itu agar tidak keluar, dia ingin Awan tahu tentangnya, karena Ervin percaya bahwa Awan adalah sosok yang dapat diandalkan untuk berbagi luka dengannya.
"Seminggu setelah di panti, gue ngerengek ke ibu panti untuk main ke rumah gue, karena gue kangen sama ibu, awalnya ibu panti gue ga ngijinin, tapi karena gue terus minta, akhirnya ibu panti gue ngijinin dengan syarat beliau harus dampingin, dan lo tau apa yang terjadi?.Pas kita buka pintunya, kita nyium bau busuk dari arah dapur, dan waktu kita ke dapur, ibu panti gue langsung teriak kenceng meminta tolong ke luar, setelah warga-warga dateng, ibu panti gue ngebawa gue keluar dari sana, dan setelahnya dia meluk gue erat sambil nangis, yaa semua wanita pasti pilu ngeliat anak umur lima tahun nyaksiin jasad ibunya yang udah membusuk dengan berlumuran darah, ternyata ibu gue udah bunuh diri dari sebulan setengah yang lalu, cuma karena emang beliau pendiem dan jarang keluar rumah juga berbaur, pada akhirnya warga ga permasalahin dan berpikir ibu gue lagi pulang kampung atau sebagainya."
Ervin terdiam dan kemudian dirinya tersenyum sendu.
"Semua yang dateng ke pemakaman ibu gue minta maaf yang sedalem-dalemnya, bahkan sampe ada yang meluk gue dan nangis, karena mereka tahu seberapa gue bakal kesepiannya nanti, ditambah ibu gue ternyata anak yatim piatu juga, terlebih tunggal.Setelah itu gue ga bisa kemana-mana selain panti asuhan yang gue tinggalin waktu itu, dan di situlah gue tinggal sampe ketemu sama keluarga Prabaswara."
Awan tak kuat untuk menahan rasa sedihnya kala mendengar cerita Ervin, matanya telah berkaca-kaca sedari tadi, terlebih menyadari betapa hancurnya Ervin setelah selesai menceritakannya, sedari tadi setelah selesai menceritakan masa kecilnya, dirinya mulai mengeluarkan isakan-isakan pelan yang melambangkan betapa sulit dan sedihnya saat itu, tanpa sadar, dirinya mulai memindahkan posisi duduknya agar bisa semakin dekat dengan Ervin, dan mulai membawa sosok yang sedang kehilangan sandarannya itu ke dalam pelukannya.
"Tuhan percaya kamu adalah sosok yang kuat Vin, dan kepercayaan Tuhan itu ngga pernah salah, terbukti dengan adanya kamu di sini, kamu berhasil ngelaluin itu semua, aku dan semua orang di bumi ini pengen kamu tahu bahwa kamu adalah sosok berharga yang telah melalui segala ujian-Nya dan menjadi satu dari jutaan prajurit tangguh lainnya, terima kasih telah lahir dan bertahan sejauh ini, Ervin Lingga Prabaswara, kami harap di masa yang akan datang kamu menemukan kebahagiaan yang melampaui rasa sakitmu."
Awan tak mendengar respon apapun, namun sepasang tangan yang mulai melingkupi tubuhnya disertai dengan isakan yang semakin kencang diserta dan pundaknya yang semakin basah memberikan kejelasannya, bahwa lelaki ini sedang terluka parah, sebisa mungkin Awan tidak ikut menangis kala mendengar tangisan pilu yang Ervin luapkan, tangannya pun mulai ia gerak-gerakkan untuk mengusap-ngusap pelan punggung itu guna memberi rasa aman sekaligus ketenangan kepada sosok yang masih menangis dalam pelukannya itu, walau beberapa pertanyaan masih bersarang di kepalanya, dirinya tidak akan mencari tahunya sore ini ini.Cukuplah, sore ini menjadi waktu di mana mereka saling berbagi luka dan saling menjatuhkan rasa percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accidentally
ChickLit"해안이 보이지 않는 것을 이겨낼 용기가 없다면 절대로 바다를 건널 수 없다." Haeani boiji anneun geoseul igyeonael yonggiga eopdamyeon jeoldaero badareul geonneol su eopda. "Kamu tidak akan pernah bisa menyeberangi lautan luas sampai kamu memiliki keberanian melupakan pantai."