'The Great Disasters'
TEPAT lima bulan dan tidak ada satu makhluk yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas hilangnya Kore. Demeter dengan gemetaran mencengkram benda-benda yang ia lalui. Ia linglung.
Mengenakan jubahnya, Demeter menelusuri setiap sudut dunia. Dimulai dari para penebang hutan yang ia anggap berpartisipasi dalam menghilangkan anak semata wayangnya. Dari tubuhnya ia mengeluarkan debu usang yang berterbangan memasuki rongga pernapasan manusia yang ia temui. Debu yang menciptakan wabah di beberapa daerah dan kekeringan yang menggila di mana-mana.
Mengelilingi kota, Demeter menggunakan jubah hitam yang menutup penampilannya dari manusia dan menebarkan kebencian di setiap sisinya. Ia tidak akan menyerah atau berhenti sampai Persefon kembali kedalam dekapannya. Anaknya yang malang, siapa yang menculiknya? Jika tidak ada satupun yang membawanya kepada kebenaran, maka ia yang akan menghampiri kebenaran itu sendiri.
Hari demi hari ia lalui, membuat perkotaan dilanda bencana. Kota yang dipenuhi cahaya semakin terlihat kusam dan gersang, tidak ada satupun pohon bahkan rumput yang tumbuh di bawah sinar matahari. Manusia telah menghadapi musim panas yang luar biasa menyiksa, para ilmuwan telah berusaha untuk melakukan apapun untuk menumbuhkan sumber makanan mereka tetapi semuanya gagal.
Hal ini jugalah yang membuat Helios, Dewa Matahari semakin cemas. Mengangkat jubahnya yang menjuntai menyapu awan, dewa dengan perawakan gagah itu meniup permukaan tangannya. Tepatnya untuk membuka tabir waktu, memperlihatkan Hades—yang tak pernah ia temui berabad-abad lamanya ini ternyata telah menjadi dalang dari semua kekacauan ini.
Ia menutup matanya dengan satu tangan dan menghembuskan napas kasar. Sekarang bagaimana ia harus menghadapi Demeter jika itu memang Hades? Pria kesepian yang memang tidak pernah berbuat ulah? Ia menggigit jari-jarinya, cemas memikirkan apa yang akan terjadi jika ia memberitahu kebenarannya—atau justru dia harus diam saja?
"Demeter, aku memanggilmu."
Ia harus mengatakannya, setidaknya Demeter harus sadar bahwa manusia banyak yang mati sia-sia karena kemurkaannya. Sementara Demeter di bawah sana ditelan kabut putih, hatinya berdegup menggila ketika ia tahu—sihir ini adalah kekuatan Helios. Dewa Matahari memihaknya, ia tersenyum dengan tatapan dipenuhi harapan.
"Helios!" Demeter berlari dan menghampiri Helios, pria paruh baya yang memegang janggutnya yang memanjang. "Apa kau menemukannya? Apa kau tahu siapa yang membawanya? Katakan padaku!" Demeter meraung dan mencengkram kedua lengan pria di hadapannya. "Katakan padaku!!!" Teriak Demeter.
Helios tersentak, melihat wajah Demeter yang tidak lagi sumrigah. Kantung mata yang begitu gelap, bekas tangis yang membekas. Ia tampak... kacau? Ia menggelengkan kepalanya, mengusir bayangan Demeter yang awalnya terlihat sangat anggun.
"Duduk dan tolong lepaskan cengkramanmu, kau menyakiti lenganku Demeter." Helios menatap Demeter dengan perihatin, lantas ia mulai kembali meniup serbuk dari telapak tangannya.
Memperlihatkan anak semata wayang Demeter yang tiba-tiba masuk ke dalam kereta yang jelas ia ketahui milik Hades. "Hades yang membawanya?" Bibir Demeter bergetar dan tubuhnya ambruk ke permukaan istana milik Helios.
"Ha–Hades yang menculiknya?" Demeter menatap Helios yang hanya dapat mengangguk. "Begitulah yang aku lihat dan aku saksikan, aku harap kalian bisa menyelesaikan permasalahan di antara kalian dan... hentikan musibah yang melanda bumi, Demeter." Helios menatap Demeter yang semakin kaku.
"Terima kasih Helios, tapi aku tidak akan menghentikan ini sampai anakku kembali dalam pelukanku." Kekeh Demeter. Ibu Pertanian itu kemudian menundukkan kepalanya menghormati Helios yang mau memberikan kesaksian penting kunci dari menghilangnya Persefon.
Anaknya yang malang, anaknya pasti sangat ketakutan di bawah sana... Ia janji ia tidak akan berhenti sampai setan itu—saudara laki-lakinya membawanya pada anaknya. TIDAK AKAN PERNAH BERHENTI!
Demeter kemudian menghilang dari hadapan Helios. "Gawat." Bisik Helios, kemudian pria itu menyesali perbuatannya. Ia dengan tergesa mengambil mahkotanya yang berkilauan, mengenakannya. Kemudian bersiul, memanggil kereta kudanya yang ditarik oleh empat kuda putih dengan kobaran api yang mengelilinginya.
"AYO PERGI!" Cemas Helios.
***
Sudah lama Persefon terdiam meratapi pemandangan yang sama sekali tidak ada keindahannya dari balkon kamar—penjara baginya. Hari-harinya diisi dengan keputusasaan dan kesedihan, memikirkan nasib Ibunya yang pasti mencarinya ke seluruh bumi. "Mama..." air mata Persefon menetes membasahi pembatas antar dirinya.
Tepat sebelum ia kembali termenung, lagi-lagi pelayan setia Hades menghampirinya. Thanatos, pria dengan sayap itu mengetuk pintu kamarnya dan menyelipkan sebuah surat untuk kesekian kalinya ke bawah pintu.
Tepat sudah ada tiga buah surat yang menghampiri kakinya. Tapi sama sekali, ia tidak mau bahkan enggan untuk melihatnya. Hari ini surat keempat datang, Persefon mengernyit. Apa ini surat bantuan? Apa ini surat ancaman? Perempuan itu menggigit bibir bawahnya. Ia kemudian memutuskan untuk meraih salah satu surat terlepas dari urutan mereka datang pertama kali.
My Dearest, Persephone.
Ini surat kedua yang aku buat, aku harap kau bisa memahami apa yang kurasakan. Aku yang tidak sempurna ini, tidaklah lebih hanya menginginkanmu dengan sederhana. Aku menginginkanmu, aku yang biasanya tidak pernah menginginkan apapun. Aku... telah jatuh cinta padamu.
Persefon menatap surat yang ia pegang dengan gemetaran. Ketika ia membaca paragraf awal dari surat ini, ia merasa bahwa perasaannya tertarik. Cahaya masuk ke dalam relung hatinya dan menghangatkan hatinya yang kedinginan. Ia kemudian membaca paragraf selanjutnya yang dimulai dengan...
Aku mengharapkan hatimu terbuka untukku, walau kesempatannya hanya sekecil cahaya yang ada di bawah sini. Aku berharap dengan rendah hati, kau menghampiriku. Dengan sebuah senyuman kecil yang tidak akan pernah bosan kutatap. Aku menginginkanmu, sama seperti tumbuhan yang kau ciptakan dengan kasih tumbuh di bawah berkah matahari.
Cintai aku sebagaimana aku mencintaimu, bukalah hatimu untukku.
Sincerely, Hades.
Persefon menatap kata-kata yang ditulis dengan tangan itu dengan perasaan yang kacau. "Pria itu menulis ini?" Tanyanya tidak percaya pada diri sendiri. Ia berusaha memisahkan realita yang sedang ia hadapi dengan imajinasinya.
Tatapan Persefon melayang pada tiga surat lain yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia takut mati karena jantungnya sedang bekerja lebih keras dibandingkan biasanya, rasanya ia ingin meledak di tempat karena tidak tahu apa yang terjadi pada tubuh—pikirannya.
"Apa mereka juga sama?" Katanya kembali pada diri.
Jemarinya menelusuri ukiran indah pada surat yang ia pegang saat ini, ia bisa merasakan lekukan pena yang mengeluarkan tinta membasahi kertas surat. Apa yang pria itu pikirkan saat menuliskan ini? Apa ia benar-benar mencurahkan isi hatinya? Apa ini strategi pria itu? Apa yang diinginkannya?
Cinta darinya?
Saat itu rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya, Persefon mendekatkan lembar surat itu ke depan indra penciumannya. Terciumlah wangi yang terakhir kali memeluknya manja penuh kelembutan yang berasal dari... Hades?
"Dengan tulus, Hades?" Bisiknya lagi tersipu.
__________________End of The Part
Cihuyyy aku makin semangat buat nulis, shout out untuk teman-teman setia yang masih berharap padaku—yang belum menamatkan ini dari 2019 due to writer's block. Aku sangat bahagia melihat feedback kalian di setiap part, and I wish to see more in the future. I love u guys, enjoy this part of Sincerely, Hades through vote. Jangan lupa follow, share and comment yaaaa!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely, Hades
FantasíaPria itu berdiri di tempat yang sama seperti terakhir kali ia melihatnya, tubuhnya yang tinggi dan setelan jas yang terlihat berbaur dengan gelapnya malam membuatnya sedikit takut. Ketika ia mencoba mendekati seseorang itu, sepasang iris biru pucat...