sepuluh

1.5K 178 7
                                    

"Kamu beneran nggak papa kan kalau aku tinggal?"

Anna yang sedang menyusui Nino lantas menatap Adi dengan tatapan datar. Memberi jeda untuk menjawab pertanyaan itu. Dirinya masih sibuk menepuk-nepuk tubuh empuk milik anaknya, agar bayi itu segera terlelap.

"Kamu emang udah biasa pergi, aku bisa hidup sendiri, kok." Jawab Anna seadanya.

Adi menampakkan raut kecewa. Jujur saja ia berat hati meninggalkan Anna serta Nino. Namun apa daya, ia tidak bisa menyelesaikan tesis di negara ini. Harus segera terbang menuju kampus miliknya. Adi harus segera menyelesaikan itu, agar ia segera berkumpul kembali dengan Nino. Serta mengusir kecurigaan sang ayah karena kelulusannya yang melambat.

Adi segera memeluk tubuh Anna yang sudah menidurkan Nino. "Kamu jangan marah, Anna. Nanti aku janji langsung nikahin kamu setelah aku lulus." Adi menyandarkan kepalanya pada pundak Anna yang masih berdiri menatap Nino yang tertidur lelap.

"Aku nggak marah, Adi. Kalo aku marah aku bakalan bilang. Kamu nggak perlu nikahin aku. Cukup jadi ayah buat Nino aja. Nanti kamu bakal nemuin pasangan buat kamu."

Adi tambah mengeratkan pelukannya kepada Anna. Kini pria itu mengecupi pundak hingga leher Anna. "Kan pasangan aku itu kamu, Anna. Karena kita adalah orang tua dari Nino. Jadi aku maunya sama kamu, bukan yang lain.

Anna memejamkan mata sejenak, bukan ini yang ia mau. Anna hanya mau mereka menjalani hidup masing-masing, cukup Adi berperan sebagai ayah bagi Nino. Anna takut jika ia akan sakit lagi bila membuka hati untuk Adi. Saat lamunannya hilang, Anna sudah merasakan tangan besar Adi menjelajahi perut lalu turun menuju bagian sensitif miliknya. Anna mendesah pelan dengan sentuhan Adi.

"Jangan disini, Adi ih iseng banget!"

Adi menurut patuh, dengan gerakan cepat menggendong Anna menuju kamar mereka. Setidaknya sebelum pergi, ia harus menagih banyak jatah sebagai ganti ruginya selama di Inggris. Selagi Anna mau, tidak ada salahnya memuaskan hasratnya sampai ia puas.

Tepat satu minggu setelahnya, Anna mengantarkan Adi menuju bandara. Lengkap dengan drama pria itu enggan pergi meninggalkannya dengan Nino. Dari tadi Adi hanya menggendong Nino sekaligus mengapit jemari Anna.

"Adi, cepetan kamu kesana. Nanti ketinggalan pesawat, loh."

"Kamu pengen banget aku pergi, ya? Padahal aku masih kepengen lama ngeliat kalian." Adi mengelus telapak tangan Anna.

"Nggak gitu. Kalo kamu keberatan pergi ya makin lama makin nggak bisa pergi dari sini. Nanti kalo udah nyampe, video call aja."

Adi masih saja memasang raut bersedih. Anna jadi bingung sendiri bagaimana cara menghibur ayahnya Nino ini. Adi menyerahkan Nino untuk digendong oleh Anna. Seakan mengerti jika akan berpisah dengan ayahandanya, Nino menangis hebat. Tangan gemuk itu mencengkram baju Adi dengan kuat. Tidak ingin dipisah dengan ayahnya sendiri.

"Aduh cup cup cup, tenang ya Nino Sayang. Papa nggak pergi lama, kok. Nanti Papa janji bakal sering main sama Nino kalo udah selesai kuliah."

"Kayaknya kamu tidurin Nino dulu deh, baru pergi ke ruang tunggu. Nanti aku bakal naruh baju kamu biar Nino ngerasa kamu di rumah."

Adi mengangguk, semakin berat saja langkahnya untuk meninggalkan tanah air. Padahal dahulu ia paling semangat untuk belajar dan meninggalkan negara ini. Hatinya benar-benar sudah dibalikkan oleh Tuhan. Adi menepuk pantat Nino, hingga bayi gembul itu berhenti menangis. Sekarang Nino malah bermain dengan wajah Adi, mencubitnya dengan tangan gendut mirip roti bantal. Adi balas menggigit jemari mungil itu dengan bibirnya. Membuat Nino tertawa lebar hingga matanya tertutup. Gemas sekali, bagaimana Adi bisa meninggalkan putra lucunya ini. Yang hobinya makan serta bermain pada wajah Adi hingga liurnya menetes. Bayi merah yang dahulu terlihat rapuh, kini telah tumbuh menjadi bak pao hidup.

Strawberry Sunday [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang