empat belas

1.3K 177 16
                                    

Menjalani biduk rumah tangga tidak pernah terbayang di dalam benak Anna. Apalagi di usia yang bahkan masih 19 tahun ini, dia sudah sah menjadi istri dari Adi. Disaat orang lain seusianya sibuk dengan dunia pendidikan atau bekerja setelah lulus SMA, dia harus puas untuk menjadi ibu satu anak. Selintas penyesalan menghinggapi hati Anna. Andai saja dulu dia tidak termakan penyakit hati, andai saja ia tidak melibatkan Adi masuk ke dalam rencanya, andai saja ...

Tidak ada gunanya sibuk berandai, tidak mengubah apapun di kehidupan Anna kecuali penyesalan yang semakin menumpuk. Anna sudah lelah menyalahkan diri sendiri, takut terjebak lagi ke dalam kubangan tekanan batin seperti dahulu. Semua orang bilang kepada Anna bahwa yang dapat ia lakukan hanyalah menjalani hidup. Bagaimana bisa? Ini bukan kehidupan yang Anna idamkan. Menangis adalah satu-satunya pelampiasan yang bisa Anna lakukan. Tidak bisa berteriak, karena anaknya akan merekam semua hingga ia dewasa kelak. Anna pun juga tidak tahu persis apa itu arti bahagia bagi dirinya. Perasaannya masih hampa, tidak sedih tidak pula bahagia. Jika diibaratkan, Anna adalah gelas kosong yang tidak terisi air.

Anna memegang kain yang ia sulam dengan pandangan kosong. Setelah pernikahan yang tidak pernah ia harapkan itu, Anna menyibukkan diri dengan menyulam atau pun merajut. Meluapkan semua amarahnya di dalam karya miliknya. Entah dia membuat kain itu menjadi apa kelak, yang pasti ia hanya ingin terus mengalihkan amarah yang ada di kepalanya itu. Anna menyudahi acara menyulamnya malam ini. Beralih meringkuk di ranjang besar di kamar ini. Tidak bisa tidur bersama Nino karena Adi mengunci kamar milik anaknya. Tidak pula bisa tidur di kamar lain karena Adi mengosongkan semua kamar. Rasanya Anna ingin berteriak kepada keluarganya, ingin tinggal bersama mereka saja. Namun melihat guratan lelah di wajah ibu serta ayahnya, membuatnya segan. Karena hidup mereka sudah berat untuk dijalani.

"Kamu nangis lagi, Anna?" Tanya Adi yang sudah menaiki ranjang besar itu.

Sudah berapa bulan pernikahan mereka berlalu. Dan Anna masih saja menangisi nasibnya. Entah apa yang membuat istrinya bersedih. Seingatnya dia tidak pernah melakukan sesuatu yang salah.

"Kamu nyesel sama pernikahan ini?" Tanya Adi sekali lagi.

"Kenapa aku nyesel sama hal yang bukan pilihanku? Ini semua hasil paksaan kamu, kan."

Adi menyugar rambutnya dengan kasar, merasa semua begitu sesak hingga tidak menemukan jalan keluar.

"Nggak bisa kah kamu nerima semua ini? Mulai sadar bahwa jalan kamu memang menjadi istri aku dan ibu dari anak kita."

"Nggak. Aku nggak bisa. Aku nggak mau terima semua ini. Kamu yang membuat semuanya seperti ini! Andai kamu dulu jatuhin aku dengan cara lain selain hamilin aku, aku bakal terima." Anna masih berujar tanpa menghadap ke arah Adi.

"Terus mau kamu apa, Anna? Kamu nyesel ngelahirin Nino?"

Anna membalik tubuhnya, menatap Adi dengan tatapan tidak terima. "Aku nggak pernah nyesel jadi mama bagi Nino. Aku hanya benci karena kamu buat aku hamil disaat aku masih belum siap!"

"Kapan kamu akan siap? Semua udah terjadi, Anna."

"Nggak akan pernah, Adi. Aku nggak akan pernah siap. Selamanya aku nggak mau jadi istri kamu! Aku nggak mau nikah, kamu nggak akan ngerti gimana rasanya."

Anna memunggungi sang suami, tidak ingin berdebat lagi dengan Adi. Sudah malam, ia sudah lelah jika harus masih beradu argumen dengan suaminya yang tidak pernah mengalah dan merasa selalu benar.

***

Adi yang sudah selesai bekerja dan memasuki rumahnya, merasa heran karena rumah ini terasa kosong. Tidak biasanya anak serta istrinya tidak berada di rumah hingga malam hari. Oh atau mungkin saja mereka berada di rumah orang tuanya. Akhirnya Adi memutuskan untuk membersihkan diri dahulu.

Strawberry Sunday [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang