lima belas

1.1K 172 7
                                    

Dengan pikiran yang kalut, akhirnya tercetus ide gila bagi Anna—kabur dari rumah Adi. Anna sudah tidak sanggup lagi untuk bersama pria itu. Segera setelah Adi berangkat bekerja, ia menata baju milik Nino serta miliknya. Membawa beberapa barang berharga yang mempunyai nilai jual, berjaga jikalau ia membutuhkan dana berlebih di masa depan. Anna menjemput Nino di rumah Cantika, mungkin ibu mertuanya peka. Cantika langsung tahu jika Anna sedang tidak baik-baik saja, mata lelah serta wajah sembab Anna tidak dapat tertutupi.

Mau tidak mau, Anna menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Membuat Cantika menatap iba ke arah Anna. Ia sempat membujuk Anna untuk membicarakan hal itu lagi dengan kepala dingin bersama Adi, namun Anna tetap bersikeras untuk pergi. Cantika tidak bisa melarangnya lagi. Dia hanya berpesan untuk Anna agar tetap menghubunginya dan sesekali membawa sang cucu yang amat sangat ia sayangi ke rumahnya. Anna setuju, lalu pamit untuk meninggalkan Cantika.

Tidak mudah pergi tanpa arah tujuan membawa koper serta menuntun anak berusia 2 tahun. Belum lagi jika Nino mengeluh lelah, mau tidak mau Anna harus menggendongnya. Pilihan terbaik adalah memesan hotel murah, sembari mencari indekos yang mampu menampungnya bersama sang putra.

Bersyukur sekali, setelah dua hari mencari kos, Anna menemukan lokasi yang sesuai dengan keinginannya. Dekat dengan kampus sekaligus dengan fasilitas yang memadai bagi dirinya dan Nino. Anna selalu berterima kasih kepada Nino, anaknya ini sangatlah baik. Seakan mengerti kesusahan ibundanya, ia tidak pernah rewel. Selesai dengan urusan tempat tinggal, Anna beralih untuk mencari tempat penitipan anak. Tidaklah mungkin Anna mengajak Nino untuk berkuliah.

Kos yang ia tinggali terbilang nyaman, dengan kamar yang luas serta kamar mandi di dalam. Yang terpenting adalah tempat ini tidak melarang penghuninya untuk membawa anak. Tidak apalah merogoh kocek sedikit dalam untuk menyewa kamar ini.

"Mamaaa."

Anna menoleh karena panggilan Nino, "Ada apa sayang? Nino ingin sesuatu?"

"Papaaa! Nino mau Papaaa!" Jawabnya dengan antusias. Bayi besar ini kini sudah berhasil melafalkan banyak kata.

"Nanti ya, Nino Sayang. Kalau Mama sudah selesai sekolah, Nino bisa bertemu Papa." Anna memeluk erat bayi besarnya itu.

Anna hanya bisa berbohong serta memberikan janji palsu kepada Nino. Berat rasanya memisahkan Nino dengan ayahnya. Karena Nino terlampau dekat dengan Adi. Mau bagaimana lagi, Anna tidak punya pilihan. Saat ini dia tidak ingin menemui siapapun. Ia hanya ingin sendiri, bahkan ia tidak mengabari keluarganya di Bogor. Sengaja ingin bersembunyi dari dunianya.

Setelah menidurkan Nino, Anna berlanjut untuk mengerjakan pekerjaannya. Satu-satunya tumpuan hidupnya saat ini adalah membuat berbagai macam kerajinan dari manik-manik, serta merajut. Untuk kemudian ia jual lagi kepada penjual lain, atau teman kampusnya. Karena Anna tidak sanggup jika menjualnya sendiri, sudah membuat susah payah, masih harus mengantarkan kepada konsumen. Tabungannya memang belum menipis, namun ia harus mencari pekerjaan sampingan. Entah bekerja di acara khusus pada akhir pekan. Atau bekerja apapun asal tidak ilegal, akan Anna kerjakan. Perasaan asing baginya karena sedari kecil ia tidak pernah hidup dengan keras seperti ini. Dahulu ia hanya duduk manis, semua yang ia ingin langsung hadir di depan matanya.

***

Sebagai mana mestinya kebanyakan remaja yang termakan indahnya film, Anna pun begitu. Kehidupan perkuliahan nyatanya berjalan keras, menjadi mahasiswa baru serta peran ganda sebagai ibu itu tidaklah mudah. Anna sempat dibuat pening untuk membuat jadwal harian. Tidak pernah menyangka bahwa ia akan sesibuk ini. Rasanya keinginan untuk menambah teman harua ia kubur dengan dalam. Takut jika orang mengorek masa lalu hingga kejadian sewaktu di SMA terulang lagi. Lebih baik dia fokus pada diri sendiri saja. Berteman seperlunya jika dibutuhkan.

Strawberry Sunday [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang