sebelas

1.4K 171 22
                                    

Anna sudah menggigiti kuku karena tegang bercampur panik. Hari ini dia memutuskan untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Mengabaikan sang anak yang sudah merengek meminta disusui. Nafasnya memburu saat melihat rumah yang menjadi rumah bagi keluarganya. Kakinya enggan melangkah keluar. Butuh beberapa waktu hingga dia menormalkan deru nafas serta kegugupannya.

Dengan berat hati, Anna keluar dari mobil yang ia tumpangi. Membawa bayi serta tas besar si sebelah tangan. Di teras itu, sudah berdiri Yasmin yang menatap Anna dengan haru. Wanita paruh baya itu lantas berlari memeluk putri bungsunya.

"Anna, maafkan Mama ya Nak. Mama gagal mendidik kamu."

"Aku kangen sama Mama." Tangis Anna pecah. Tidak dapat berbohong jika ia amat sangat merindukan sosok kedua orang tuanya.

Yasmin lalu menggandeng Anna menuju ke dalam rumah. Disana ada Hendra yang juga menatap Anna dengan tatapan haru. Ada rasa rindu juga rasa bersalah di dalam sana. Melihat putrinya menggendong bayi, membuat kenangan itu muncul kembali saat ia dengan tega mengusirnya tanpa membawa apapun.

"Ayah ..."

Anna memeluk Hendra dengan erat, tangisnya kembali pecah. "Maafkan aku ya, Yah. Aku udah buat keluarga kita hancur."

Hendra hanya menggeleng, lalu mengelus surai putri bungsunya. "Ayah juga minta maaf, dulu selalu kasar kepada kamu. Seharusnya Ayah menjadi figur yang baij buat anak-anak Ayah. Sekarang Ayah ingin membayar itu semua."

"Ini cucu Ayah, kan?" Anna mengangguk. "Lucunya, sini sama Kakek, nak." Hendra mengalihkan Nino dari gendongan Anna. Pria paruh baya itu menimang-nimang cucu yang baru ia temui ini. Nino yang memang dasarnya bukan bayi penakut, langsung tertawa riang menampilkan empat gigi kecilnya.

Anna tersenyum lembut melihat interaksi tersebut. Hatinya terasa lega karena anaknya diterima baik oleh keluarganya sendiri. Setidaknya Nino tumbuh besar dengan mengenal kedua kakek nenek dari pihak sang ibu. Yah meski, Indra belum menerimanya. Lebih tepatnya belum tahu keberadaan Nino. Anna hanya bisa berharap yang terbaik saja.

"Anna, kamu mau bantu Mama masak, kan? Mama sudah menyiapkan makanan banyak hari ini." Anna mengangguk, lalu tangan Yasmin menarik Anna menuju dapur.

Anna terkesiap, karena tangan halus hasil perawatan di klinik itu telah berubah menjadi tangan yang kasar, nampak jelas bagaimana kerasnya dunia menghantam Yasmin. Ibunya yang sedari dulu diperlakukan layaknya putri, bahkan menyentuh kompor saja tidak pernah. Kini harus rela bergelut dengan asap dapur. Membersihkan rumah seorang diri, bahkan membantu Hendra untuk berkebun serta bekerja di sawah.

"Mama sekarang bisa masak banyak, ya." Ujar Anna tanpa sadar.

Yasmin hanya tersenyum, "Iya nih. Soalnya sayang kalo nyuruh pembantu kerja. Uangnya bisa ditabung buat beli yang lain. Lebih enak masak sendiri ternyata. Meski dulu awalnya rasanga acak-acakan karena Mama nggak bisa masak kecuali air. Tapi karena Mama sering nanya ke warga desa, dan bantuin orang hajatan. Mama jadi bisa masak."

Anna memeluk Yasmin lagi. Rasa bersalahnya semakin menguap di dalam hatinya. Tidak tega melihat sang mama harus menjalani hidup seperti ini. "Maafin aku ya, Ma. Semua terjadi karena aku."

Yasmin menggeleng, lalu mengelus pundak Anna. "Berhenti nyalahin diri kamu sendiri. Manusia tidak ada yang luput dari kesalahan, Anna. Lagipula dengan ini, ayahmu berubah jadi lebih baik lagi. Dia nggak kasar lagi, menurun kan gengsi untuk bertanya kepada orang lain. Turun tangan untuk bekerja di sawah. Mama bersyukur jadinya karena punya warisan dari Nenek kamu. Setidaknya kita nggak kesusahan banget. Trus punya rumah yang lumayan besar juga."

Mereka berdua lalu meneruskan untuk memasak. Dengan Anna yang memotong serta menyiapkan bumbu, lalu Yasmin dengan meyiapkan bahan yang lain serta menghidupkan perapian. Memang desa tempat tinggal keluarga Anna ini masih asri. Terletak di kaki gunung, banyak sayuran serta buah segar mudah didapat. Ini saja Yasmin memetik semua sayuran dari kebun mereka. Anna menatap kagum sang ibu yang terlihat telaten memasak. Melupakan masa lalu, bahwa ia adalah salah satu wanita sosialita ibukota.

Strawberry Sunday [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang