[ 8 ]

111 17 0
                                    

[ 8 ]











"(Name)!"

Aku tertegun, tidak menyangka ibu akan berteriak seperti itu, sumpit di tanganku jatuh. Ochako juga menatap ibu tak percaya, mengernyit karena tidak suka teriakan.

Ibu memijat ruang di antara kedua matanya dengan putus asa, mengatur nafasnya. "Ibu kira kamu tahu kekhawatiran ayah dan ibu." Keluhnya pelan. "Tidak, kamu tidak akan kembali ke UA. Ochako juga akan sekolah di SMA Swasta. Kalian tidak akan kembali ke jalan berdarah seperti menjadi pahlawan. Tumbuh seperti orang normal, mendapat pekerjaan dan menikah."

Aku melirik Ochako yang meremas sumpitnya.

"Tidak mau. Aku akan menjadi pahlawan penyelamat seperti tujuanku dari awal." Ochako balas menatap ibu sengit.

Ibu melotot, dia hendak kembali berteriak sebelum menyadari apa yang ia lakukan, kembali duduk dengan tenang, mengusap wajahnya. Benar, ibu tidak akan berteriak atau memukul. Tidak boleh.

Aku praktis teringat dengan 2 anakku yang menangis saat aku menusuk jantungku di depan Deku. Aku brengsek.

"Ibu mengkhawatirkan keselamatan kalian, sayang. Tolong mengertilah." Ibu meraih tangan Ochako setelah menyisihkan piring di atas meja. Ochako menggeleng.

Aku menunduk untuk mengambil sumpit yang terjatuh, berdiri untuk mencuci benda itu dan meletakkannya di pengering sebelum mendapatkan yang baru.

"(Name) juga, sedewasa apapun, kamu masih gadis kecil Ibu dan ayah." Ibu menoleh.

Aku menarik kursi. "Ayah dan ibu juga orang tuaku. Katakanlah, jika aku tidak turun mengatasi kejadian empat bulan lalu, siapa yang menjamin Shigaraki tidak akan mencapai kalian?" Aku berucap pelan. "Para pahlawan mungkin bisa saja bersatu dan mengalahkan nya. Tapi korbannya juga akan bertambah banyak, bu. Quirkku jauh lebih bisa di andalkan jika hal serupa terjadi—"

"Kamu di rawat di rumah sakit, (Name). 3 bulan. Itu bukan hal bagus." Ayah menyela. "Kamu masih lima belas tahun. Tidak bisakah kamu lebih realistis?"

Aku mengangguk, menarik kursi untuk membuat duduk ku lebih nyaman. "Aku masih lima belas tahun. Masih banyak waktu untukku berkembang sehingga tidak masuk rumah sakit lagi."

Ayah tidak bisa berkata-kata. Ibu menatapku, mengernyit.

"Ochako juga bisa melakukan hal yang sama. Dia bisa mengangkat puing-puing, menyelamatkan orang-orang yang terjebak jauh lebih efisien." Tambahku. "Kami masih lima belas tahun. Masih kecil. Karena itu kami bisa berkembang lebih banyak. Dan karena itu juga perhatikan saja kami." Aku mengakhiri.











《 Chapter 8 》











Ibu tetap bilang jika kau berubah pikiran mereka akan senang mencari sekolah pindahan.

Aku hanya tertawa, melambai saat naik ke kereta. Tahun ajaran baru masih tersisa 2 minggu, tapi Aizawa-sensei menyuruhku kembali ke sana secepatnya, jadi aku datang.

"Kamu tidak boleh mengatakan itu pada anak usia tujuh tahun, Ashido-san." Todoroki mengingatkan, menarik Shimura ke dekatnya seperti kakak yang protektif.

Ashido mengerjap, melirik Aizawa yang memperhatikan interaksi mereka. Gurunya mengangguk kecil.

"Aku minta maaf, aku terbawa suasana." Gadis berkulit merah muda itu bergumam menyesal. "Shigaraki—Tenko-kun, aku minta maaf soal itu." Ia menurunkan tubuhnya supaya sejajar dengan Shimura, bersungguh-sungguh.

Shimura memegangi ujung baju Todoroki dengan tangan yang terbungkus sarung tangan di beberapa jari, menatap takut, tapi mengangguk.

Aizawa mempercayakan anak itu pada Todoroki. Shimura jauh lebih bisa di urus dari pada Eri,  setelah percakapan kecil, anak itu akan membuka diri.

Uraraka (Name) - BNHA Alternative UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang