[ 20 ]

70 8 0
                                    

[ 20 ]












Mengangkat cangkir teh, aku menyesapnya, menikmati rasa hangat dari cangkir porselen yang ku genggam, menatap keluar jendela.

Salju.

Musim salju ketujuh sejak aku pergi dari UA untuk kedua kalinya.

Telepon kabel berdering, aku meletakkan cangkir di tatakan kayu, bangkit sambil merapatkan kardigan putih yang melapisi gaun rumahan.

Bersedekap sambil mengangkat gagang telepon kabel, aku membuka suara, menyapa. "Halo,"

Suara berisik terdengar dari seberang, membuatku memikirkan dia menelepon dari telepon umum.

"(Name)? Ini aku." Suara yang familiar, aku membalasnya dengan senyum walau Inasa jelas tidak bisa melihatnya.

Aku menarik kursi, duduk di atasnya sambil menumpuk kaki kananku di atas kaki satunya. "Lama tidak mendengar suaramu. Inasa. Ada apa?"

Apakah dia terburu-buru? Suaranya panik seperti dikejar anjing. "Kamu belum dengar? Ochako akan menikah. Aku menelepon dari telepon umum tepat setelah dia memberikan undangan."

Aku terdiam, berhitung. "Dengan siapa?" Tanyaku berhati-hati.

Saat Inasa menyebut nama, aku menghela nafas. "Aku belum pernah dengar soal dia. Siapa?"

Inasa juga mendengung. "Dia lumayan terkenal kok, keluarganya juga sering berkomunikasi dengan keluarga Yaoyorozu. Walau peringkat kekayaannya tidak sebanyak Yaoyorozu, harta Ichikawa tidak bisa habis bahkan jika kamu membawa seluruh keluargamu tinggal di hotel bintang lima selama sisa hidupmu."

Baiklah, rintangan finansial sudah selesai. "Kamu kenal orangnya?" Kurasa Inasa cukup dekat dengan Ochako sebelumnya, jadi aku bisa percaya padanya untuk menilai orang lain.

"Dia juga sekolah di Shiketsu kok, di jurusan umum. Nilainya tinggi, lumayan tampan, ramah juga. Aku pernah melihatnya dilamar gadis empat kali sehari, lebih banyak dari makan wajib." Inasa menjawab sambil tertawa kecil.

Aku menyeringai. "Apa kamu baik-baik saja?" Tanyaku geli. Aku tahu dulu dia dekat dengan Ochako, kemana-mana selalu berdua.

Inasa di seberang menghela nafas panjang, memainkan kabel telepon. "Itu hanya sebentar. Lagi pula aku berniat mengajakmu kembali dengan cara ini. Undangannya tertulis aku bisa membawa satu orang, jadi ayo pergi."

Aku menatap keluar ke arah cangkir teh yang tak jauh dariku, kepul uapnya sudah tidak bersisa. "Tidak bisa, Inasa." Selama 7 tahun, memang hanya dia yang mengetahui keberadaanku, berurusan dengan orangtua dan polisi yang mencariku, mewakiliku untuk tiap komunikasi langsung.

Benar-benar teman terbaik yang tidak pantas ku miliki. Mengapa dia mau melakukan itu? Pasti merepotkan berdebat dengan orang tuaku yang protektif, dan aku juga penasaran bagaimana bisa dia menjelaskan pada polisi yang menyelidiki aku yang menghilang.

"Sudah tujuh tahun, (Name)." Inasa mengingatkan. "Tidak ada kesempatan yang lebih baik dari pada seminggu lagi."

Aku diam, berdiri dari dudukku. "Akan ku tutup teleponnya." Sedetik kemudian aku meletakkan telepon kabel di tempatnya, sambungan mati.

Melangkah kembali ke sofa di depan jendela, aku menyentuh cangkir porselen berisi teh yang baru ku minum sedikit.

Dingin.














《 Chapter 20 》















Inasa merapihkan dasi, melihat pantulan dirinya di depan cermin sebelum meraih jas.

Uraraka (Name) - BNHA Alternative UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang