Ledib dan Malik sudah sampai di sekolah tepat jam tujuh. Ledib melihat, Pak Heri. Guru bimbingan belajar olimpiade Ledib dari kelas tujuh. Pak Heri masih berbicara dengan salah satu siswa yang memakai seragam dengan tidak benar di depan kelas delapan C, alias kelas Ledib. Mungkin, Pak Heri memarahi siswa itu.
Ledib bergegas memasuki kelas, dan Malik masih bersantai di luar kelas dengan teman sekelasnya.
"Ayon, kamu udah bapak bilangin berapa kali, masih aja bandel. Seragamnya itu dimasukkan! Bukan dikeluarkan. Nanti dilihat tetangga-tetangga, malah sekolah ini dicap jelek, lho. Besok kalau seragamnya masih dikeluarkan, besok saya panggil ke ruang BK." Ayon menggaruk kepalanya, sambil mengangguk-angguk sebagai tanda sudah mengerti.
"Iya, Pak. Maaf."
Ledib kemudian sudah berjarak 10 cm dari kelasnya. Ia melirik Ayon dan Pak Heri. Ayon juga melirik Ledib dengan tatapan 'terpesona'.
"Anjing, cowok kayak apa itu? Cantik banget," Monolog Ayon. Pak Heri yang lagi marah pun malah makin marah setelah dengar Ayon ngomong kayak gitu.
"Udah nggak disiplin, suka ngomong kotor lagi! Dasar bocah," Ayon cuma cengengesan. Ia pun membungkuk meminta maaf.
***
Ledib mengerjakan contoh soal olimpiadenya sambil menahan kantuk. Pak Heri mengawasi Ledib dari bangku guru. Keduanya tidak saling bertatapan. Namun, sama-sama berpikir tentang hal yang aneh dari salah satu dari mereka.
"Pak Heri kalau fotokopi soalnya ini gimana, sih? Tulisannya gak jelas. Mana gue lagi ngantuk, lagi. Makin gak jelas tulisannya." Batin Ledib.
"Itu Ledib kenapa? Ngantuk banget keliatannya. Tapi, dia setiap hari juga ngantuk." Batin Pak Heri.
Bimbingan belajar olimpiade itu berlangsung sampai jam delapan lebih dua puluh menit. Pak Heri memberi Ledib 1-4 kertas contoh soal olimpiade untuk dikerjakan di rumah.
"Ini ya, Dib. Jangan lupa dikerjakan.""Iya, Pak."
Pak Heri meninggalkan kelas, Ledib memasukkan contoh soal ke dalam tasnya.
Kelas sudah lebih terang, cahaya matahari menembus kaca jendela kelas yang sudah dibuka oleh penjaga di sekolah ini. Gorden-gorden diikat di sampingnya, buku-buku paket mapel umum tertata rapi di rak yang dibeli oleh bendahara kelas untuk kepentingan.
Cahaya matahari mengenai wajah Ledib. Mata cokelatnya terlihat jelas, kulit putih bersihnya bersinar, matanya sipit karena silau, rambutnya sedikit berantakan terkena angin yang berhembus pelan.
Kelas itu masih sepi. Siswa yang lain masih di luar kelas. Biasanya, kalau tidak ke kantin, ke Indomaret di depan sekolah.
Suasananya hening. Ledib teringat Ayahnya. Kepalanya berisik, rasa pusing menguasai Ledib. Ia berpikir, Ayah gue gimana, ya? Kalau gak pulang, Ibu nanti sama siapa? Ayah gue gak mabuk, kan? Ayah gue lagi nge-slot. Ayah gue udah gak peduli, ya? Sama keluarganya sendiri? Goblok banget.... Duitnya Ayah habis gak, ya? Dibuat jud-
"Ngentot!"
Seseorang memecah keheningan di ruang kelas dan berisiknya isi kepala Ledib. Ledib reflek menoleh ke arah pintu masuk kelas. Terlihat, teman Ledib sedang terjatuh dengan posisi tengkurap. Ledib menahan tawa, berjalan menuju pintu masuk.
"Goblok lo, Vin. Jelas-jelas lantainya licin habis kena air hujan tadi malam, malah lari." Ucap Ledib sambil membantu temannya, Kevin. Kevin juga teman akrab Ledib. Mereka satu kelas, kemana-mana selalu bareng. Sama kayak Malik. Namun, dia tidak satu kelas.
"Gue gak lari, ngentot. Aduh cok... sakit. Lantai anjing! Gue udah jatuh dua kali gara-gara ini lantai, bangsat." Ucap Kevin menyalahkan lantainya. Ledib sampai geleng-geleng melihat kelakuan temannya yang satu ini.
"Malah nyalahin lantainya si anjir,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu, Ledib Lelah. [Wijaya Wahyuda Angst Fanfiction.]
أدب الهواة"Tolong, cepat ambil jiwa ini. Dekap jiwa ini dengan erat sampai nafasnya terhenti." Ledib merangkul jiwa rapuhnya. Bendungan air matanya bocor, terus menetes dan jatuh ke tangannya sendiri.