Bab 17 [Info Penting.]

267 44 6
                                    

"Masih percaya sama ular itu?"
"Yang bener aja, bro. Gue gak gampang ditipu! Lagian ngapain sih, ngebantu seseorang yang gak ngebantu apa-apa di kehidupan lo? Lo ngebantu orang bukannya nambah pahala, malah nambah dosa. Asal lo tau ya, dek. Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Biar apa coba lo ngefitnah target lo ke orang yang udah tahu betul sama target lo? Kalo gue sih, malu ya." Malik meninggalkan kafe itu dengan rasa sedikit kecewa, karena tidak bisa menghabiskan kopinya. Tapi, mau bagaimana lagi? Sedang dimasuki sampah di dalam kafe langganannya.

"Cuih, gak gampang ditipu katanya. Siapa juga yang peduli sama omon-omon gak jelas lo." Monolog Megane sembari melempar tatapan tajam ke Malik yang masih sepuluh-dua puluh cm dari pintu masuk kafe. Malik menyadari bahwa Megane menatapnya tajam, ia tetap santai tidak menatap balik. Malik sudah malas, bad mood, karena malam ini tidak ada hal yang heartwarming. Adanya malah hearthotting.

Malik menaiki mobilnya, sekarang tujuannya ke rumah Ledib. Entah akan melakukan apa di sana, Malik berpikir ia harus ke sana.

Mobil dikendarai cepat, menyalip beberapa orang yang menaiki sepeda motor. Waktu juga berjalan cepat, jam sudah menunjukkan pukul 22.56 dan Malik tentu akan pulang melewati jalan sepi dan gelap sendirian nantinya.

***

"Dib, woy!"

"Weh, iya! Bentar!"

Teriak Ledib dari dalam rumahnya berhasil membuat Malik menutup mulut setelah berteriak tiga kali dari luar. Ledib yang masih belajar untuk olimpiade besok, langsung berjalan cepat menuruni tangga untuk membukakan pintu masuk.

"Lah, ngapain lo jam segini ke rumah gue? Mau nyari lowongan kerja lo? Gue gak punya,"

"Lowongan kerja matamu. Duh, ngantuk gue. Gue mau bagi lo info penting!" Malik langsung nyosor masuk ke rumah Ledib. Ia melewati pintu masuk rumah Ledib tanpa izin atau menunggu suruhan Ledib untuk masuk.

"Yeuuu, si bocah. Info apa, nih?"

"Gue ketemu tadi, sama si Megane. By the way, kata Kevin terserah lah. Dukung aja Ledib, dia gak peduli kalau gue berpihak ke Ledib, atau ke dia. Terus kata Megane, lo ngefitnah gue. Tadi di tunjukkin di WhatsApp sama Megane. Nomernya sama persis sama nomer lo! Pinjam HP lo, Dib. Barangkali lo beneran fitnah gue," Belum Ledib menjawab, Malik sudah merebut HP Ledib yang berada di genggaman tangan kanan Ledib. Malik membuka WhatsApp, melihat apakah ada nomer Megane atau tidak.

"Anjay! Gak ada. Kalau ada juga gue tetep percaya lo, sih. Nyet."

"Woy, sebenarnya tadi ya, Nyet. Ada gue lihat chat yang ke kirim di nomer yang gak gue kenal. Tapi, gue aja belum buka HP sama sekali sejak pulang sekolah tadi. Serem cok. Chat-nya itu juga kayak fitnah-fitnah lo! Asli nih, Lik. Jangan nganggep gue mendongeng soalnya rada gak masuk akal, menurut gue."

Malik melongo, "Nomer lo dibajak itu, anjir! Lo mah, fokus belajar mulu. HP aja pernah ditinggal di kelas, terus baru nyadar besoknya. Goblok lo,"

Ledib langsung memberi satu pukulan di paha Malik dengan keras sembari menatap sinis. Ledib mendekatkan wajahnya, tatapan sinis belum hilang.

"Sopan banget lo hari ini. Habis ngapain lo? Attitude-nya bikin gemes, pengen nampol." Malik yang mendengarkan perkataan itu, langsung cengengesan dan mendorong pelan kening Ledib agar wajahnya agak menjauh. Ia menyatukan dua tangannya, meminta maaf.

"Sorry, sorry. Gini ya, sayang. Nomer lo itu dibajak. Jadi, mau gak mau lo ganti nomer aja biar lebih aman. Dan, Kevin udah gak ada kepercayaan ke lo lagi, kalau gak ada bukti yang jelas dan benar-benar dilihat oleh mata kepalanya sendiri." Malik berbicara dengan nada sedikit tinggi, ekspresi serius. Ledib mengangguk-angguk pelan sembari menghembuskan nafas panjang. Ia bingung mau melakukan hal apa lagi demi mengembalikan kepercayaan temannya itu.

"Alah, bangsat! Gue gak mau mikir dalam-dalam hari ini. Mau tidur di sini gak, lo? Besok juga libur. Gue yang masih berangkat ke sekolah." Tawar Ledib sembari merebut kembali HP-nya yang dipegang erat oleh Malik. Malik berpikir sejenak, sepertinya lumayan seru berjaga di rumah yang habis ada tragedi pembunuhan sendirian.

"Agak takut sih, Dib. Biasanya gue kalau nginep mah pulangnya molor, sampai sore. Nanti gue sendirian dong, di rumah lo."

"ceilah, Lik. Gapapa. Gue yang tinggal di sini aja gak pernah diganggu sama entitas apa pun itu setelah kejadian kampret itu," Ledib menjawab sambil menatap Malik dengan sok cool. Ia memberi fakta bahwa ia berani. Malik langsung memberi tatapan side eye yang-menakutkan.

Tanpa melanjutkan topik yang sedikit panas itu, mereka langsung saja pergi ke kamar Ledib. Malik sudah menutup mata duluan di kasur. Dan Ledib, ia tetap belajar sambil memikirkan keluarganya yang sudah hancur lebur tanpa sisa. Mereka semua, seperti sudah mempunyai rumah baru yang lebih nyaman.

Aku benar-benar diajari menjadi lebih mandiri oleh kehidupan.

***

Setiap masa ada orangnya,
Setiap orang ada masanya.

Mereka boleh saja membenci siapapun itu.
Tetapi mereka juga harus mengingat,
Mengingat apa yang telah kita lakukan demi mereka keluar dari goa permasalahan.

Ibu, Ledib Lelah. [Wijaya Wahyuda Angst Fanfiction.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang