Ledib duduk di teras rumah. Ia melihat rintik-rintik hujan yang berjatuhan. Petir menggelegar, cahayanya menakutkan.
“Akhir-akhir ini hujan terus. Kemarin juga hujan,” Monolog Ledib sambil menyeruput teh hijau yang dibuatkan oleh ibunya.
Burung gagak hitam berkicauan, ada 1-2 yang menetap di atap rumah Ledib. Karena terlalu bising, Ledib melempar sandalnya ke atap sampai mengenai salah satu burung gagak tersebut.
“Mampus lo,”
Terlalu fokus dengan langit-langit yang awannya menjatuhkan jutaan air, Ledib tidak sadar. Bahwa ada pertikaian di lantai bawah. Terdengar, seperti suara Ayah, dan Ibu.
“Lah, Ayah?” Ledib menaruh teh hijaunya di meja, dan menutupnya dengan penutup gelas. Ia keluar dari teras dan kamarnya, lalu menuruni tangga dengan cepat.
Saat sudah sampai di lantai bawah, terlihat Ayah Ledib dan Ibu Ledib sedang bertengkar, dan membiarkan pintu masuk rumah terbuka. Ledib tak segan-segan membentengi ibunya dari depan.
“Maksud lo pulang-pulang malah ngasih bacotan apa? Udah tua, ga punya etika.”
“Bacot, anak haram gak tau apa-apa gak usah ikut-ikut!”
Tangan Ayah Ledib mendarat di pipi Ledib. Namun, Ledib langsung memegang erat tangan ayahnya. Ia berhasil menggagalkan tamparan itu.
“Sial.” Umpat Ledib.
Tanpa disadari, Ayah Ledib membawa pisau di tangan kirinya. Ia mencoba menusuk perut Ledib. Tapi, ibunya yang terkena.
Ibunya mendorong Ledib ke arah kanan, saat pisau yang disodorkan oleh Ayah Ledib akan menusuk perut Ledib.
“Bu? IBU! BANGSAT LO LAKI SAMPAH!” Ledib menatap tajam ayahnya sendiri. Ayahnya tertawa terbahak-bahak. Ia berjongkok, menatap tajam balik ke Ledib. Ia menyentuh leher Ledib, mencekiknya.
“Malah Ibu lo yang sampah, tolol. Ibu lo, udah kotor. Dia itu jalang, sampah. Ga punya harga diri.” Ledib meringis kesakitan. Ia berusaha melepas cekikan ayahnya. Sesak, sakit, itu rasanya.
Ibu Ledib sudah terlihat mengenaskan. Perutnya tertusuk pisau, darah di mana-mana. Kaki Ledib terkena tangan ibunya. Suhunya sudah dingin. Dia tidak menghembuskan nafas lagi. Ia sudah mati.
“Udah cukup, bangsat!” Ledib tidak kuat, ia sudah lemah. Tetapi, ayahnya melepas tangannya dari leher Ledib. Ledib langsung menarik nafas dalam-dalam, terbatuk-batuk.
“Gue tinggal ya. Anak haram, dan jalang.” Ayah Ledib meninggalkan rumah, menutup pintu rapat tanpa mengucapkan hal lainnya selain itu.
***
Pemakaman telah dimulai. Ayah Ledib belum tertangkap polisi. Tetangganya mengetahui kebisingan dari dalam rumah Ledib. Jadi, ia memasuki rumah Ledib. Lalu, membantu beberapa kerusakan di dalam rumah itu.
Rumah Ledib benar-benar hancur. Isinya sudah tidak ada lagi. Ledib tidak mempunyai rumah. Ibunya sudah meninggalkannya sendirian.
Tatapan kosong kembali lagi. Ayon yang berada di sampingnya menatap wajah Ledib dengan tatapan khawatir.
“Ikhlas ya, Dib.” Bisik Ayon dengan pelan.
“Iya.”
Tujuan hidupku hilang, Bu.
***
Hello everyone! Maaf, ya. Kalau chap ini sedikit pakai banget. Ada salah satu keluarga saudaraku yang meninggal kemarin. So, aku sibuk bantuin saudaraku.
mungkin dalam 2-3 aku sudah aktif lagi. So sorry guys:( maaf, ini aku edit soalnya aku tiba-tiba sakit, dan belum bisa up karena bab 13 belum selesai. aku usahakan cepat selesai.
Itu saja, tysm, guys! Love y'all. Good bye<3
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu, Ledib Lelah. [Wijaya Wahyuda Angst Fanfiction.]
Fanfiction"Tolong, cepat ambil jiwa ini. Dekap jiwa ini dengan erat sampai nafasnya terhenti." Ledib merangkul jiwa rapuhnya. Bendungan air matanya bocor, terus menetes dan jatuh ke tangannya sendiri.