Bab 7 [Sakit.]

394 52 5
                                    

Tiga jam yang lalu, sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi.

“Eh, cok. Ledib mana, dah? Kita udah nungguin se-jam.” Ucap Ayon sambil menoleh ke kanan dan kiri mencari-cari Ledib. Mereka bertiga, Malik, Ayon, Kevin, sudah menunggu Ledib dari jam empat sore. Dan, sekarang sudah jam lima lebih tujuh belas menit. Mereka saat itu belum tahu, bahwa temannya itu dibawa oleh si bajingan.

“Sepeda motornya ada, orangnya? Gak ada. Gimana, sih.”

Ayon berpikir, karena Kevin tidak bawa motor hari ini, dan dia akan pulang dibonceng oleh Malik, lebih baik Kevin mengendarai sepeda motor Ledib. Kevin akan mengendarainya sampai ke rumah Ledib, lalu dilanjut dengan jalan kaki (rumah Ledib dengan Kevin sangat dekat).

“Lo pake sepedanya Ledib aja, Vin. Lo anterin sampe rumahnya Ledib, terus jalan kaki. Toh, rumah lo sama Ledib deket banget.”

Kevin mengernyit, “Kuncinya dibawa Ledib, tolol.”

Ayon mengambil sesuatu di saku celananya. Terlihat di tangan Ayon, ada kunci motor Ledib. Ayon melemparkannya ke muka Kevin.

“Aduh—lah, kok lo bawa kuncinya Ledib, dah?”

“Tadi dia titip ke gue. Dia mau kabarin ke ekskul basket kalau hari ini latihannya libur.”

Kevin ber-oh pelan. Mereka bertiga akan pulang, tanpa mengetahui keadaan sebenarnya pemilik sepeda motor yang akan dikendarai oleh Kevin. Tetapi, Kevin merasa aneh. Bagaimana jika, temannya itu dalam keadaan bahaya?

***

“Lo ngelakuin ini semua buat apa, bangsat.” Tanya Ledib. Masih takut, tapi juga marah. Berusaha untuk lepas dari ikatan tali sebelum ia kehilangan tujuan hidupnya.

Ledib menggerakkan tangannya yang terikat dengan paksa, sampai memerah dan berdarah. Tapi, itu tidak menghianati hasil. Tangan kanan Ledib berhasil lepas dari ikatan.

“Nanya lo kenapa? Karena, gue benci liat muka lo yang udah dilihat semua orang sebagai siswa yang pintar, juga sempurna di mata mereka. Gue iri, anjing. Makanya, gue rusak jiwa lo dengan menanam bibit trauma di dalamnya.” Jawab Azre. Ledib terdiam, tidak menjawab. Ia fokus melepaskan tangan kirinya yang masih terikat.

“Goblok. Lo benci orang yang gak bersalah cuma karena iri. Lo goblok banget, anjing. Kalo iri, saingin. Bukan disiksa gini! Orang normal kalau iri, ya berusaha buat saingin orang itu,” Ujar Ledib. Selang 1-2 menit beradu bacotan dengan Azre sembari menyakiti tangannya sendiri demi lepas dari ikatan, Ledib berhasil membuka tali yang mengikatnya di area tangan.

Ledib menggerakkan tangannya ke depan. Menunjukkan tangannya yang sudah penuh dengan darah yang mengalir tiada henti. Namun, rasa sakit itu seperti hilang. Tidak terasa sama sekali.

“Oh? Udah lepas, ya?”

“Bacot banget, sialan.”

Hormon adrenalin Ledib menaik. Kedua kakinya digerakkan dengan cepat, sampai berdarah sama seperti kedua tangannya.

Tak! Tali itu putus hanya dalam 5 detik. Ledib berdiri, berjalan mendekat menuju Azre. Ia berhenti berjalan saat kedekatannya dengan Azre sudah kurang dari 30 cm.

“Keren, Wijaya Wahyuda. Tapi, lo tetap bakal tersiksa di sini, walau tali-tali itu udah lepas dari lo. Kare—”

Ledib menarik leher Azre. Darah-darah yang masih mengalir dari tangan Ledib, bercucuran mengotori leher Azre. Mata mereka saling bertemu. Namun, mata mereka juga saling memberi energi negatif.

“Duh, anak haram udah berani, ya?”

“Itu lisan dijaga, tolol.”

Ledib mendorong kuat Azre, sampai ia terduduk, tubuhnya terbentur dinding. Azre tak terima, ia langsung berdiri. Badannya sempoyongan karena sakit yang ia terima dari benturan yang baru saja terjadi.

“Bajingan lo, anak yatim. Tau gak? Ibu lo dulu juga pemain, tau. Kakak lo itu sebenarnya anak haram. Lo juga, anak haram! Cuma adik lo yang lahir dari punya-nya bapak tukang judi lo itu. Lo berdua anak di luar nikah, tolol. Lo gak pantes, hidup di dunia ini! Semoga lo cepet mati. Biar gue, gak ada saingan lagi.” Ucap Azre yang penuh dengan hina. Ledib terdiam, tak percaya apa yang dikatakan oleh Azre. Hati Ledib remuk, ia makin marah. Sungguh, menurut Ledib, semua ucapan yang dilontarkan oleh Azre adalah hal paling sampah dan menyedihkan di dunia ini.

“BACOT!” Teriak Ledib.

“Lo jahat banget, anjing. Semua kata yang udah lo lontarkan ke gue itu sampah! Lo gampang aja, nyebutin semua aib-aib dan masalah di keluarga gue tanpa keberatan. Karena, lo gak pernah ngerasain jadi gue, anjing! Gue sumpahin, umur lo lebih pendek daripada gue! Lo itu bukan manusia, lo iblis! Lo lebih gak pantes buat siapapun dibandingkan dengan gue! Sialan lo. Bangsat!” Teriak Ledib, lagi. Ia mengeluarkan semua uneg-unegnya untuk Azre. Ledib menangis sesegukan, dan terisak-isak lagi. Rasa sakit di tangan dan kakinya benar-benar tidak terasa. Tetapi, sakit yang ada di hatinya membuat Ledib akan tidak sadarkan diri lagi, dan hilang dari dunia ini.

“Siksa gue aja terus, ngentot!” Ledib mundur, ia dengan cepat menggapai HP-nya yang berada di lantai, dan langsung berlari dengan amat cepat. Ia akhirnya ke luar dari ruangan penyiksaan itu. Ia menuruni tangga, tanpa merasakan sakit di kakinya. Ia mendobrak pintu keluar rumah itu dengan kuat. Pintu itu langsung terbuka, kuncinya sudah patah. Hormon adrenalin Ledib meningkat lagi. Itu membuatnya lebih mudah untuk keluar dari neraka itu.

Ledib berlari, takut Azre dengan cepat menangkapnya lagi. Untungnya, Ledib sering melewati jalan ini. Jadi, ia hafal jalur kembali ke rumahnya.

***

Egois.

Ketika aku sudah berusaha lagi,
Ada pula yang menghalangi.
Ketika aku memulai lagi,
Ada pula yang membuatku berhenti.

Beberapa manusia memang egois.
Tapi, sadarkah mereka, kalau mereka itu egois?

Hey, di mana kebahagiaanku?
Mereka telah menyembunyikannya.
Hey, di mana hak-ku?
Mereka telah mengambilnya.
Hey, di mana keadilan?
Mereka menghilangkannya.

Mungkin mereka benar,
Aku tidak pantas untuk bahagia.
Mungkin mereka benar,
Aku lebih pantas untuk hilang dari dunia.

Written with love by Ledib, Zie Nadien or Zaaziee (Tokoh utama, juga Author dari buku ini).

Ibu, Ledib Lelah. [Wijaya Wahyuda Angst Fanfiction.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang