"Walah, Dib! Takut gue ditinggal sendiri. Mana di rumah orang, lagi." Ucap Malik yang masih rebahan malas di kasur dengan selimut yang masih menutupi setengah badannya. Ledib yang masih bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah, langsung menatap Malik datar dan menarik selimut agar Malik bangun terlebih dahulu.
"Cot lo! Mending doain temen lo ini juara. Salah lo sendiri nerima tawaran gue tadi malam,"
"Kan, gue udah capek banget! Siapa juga, yang mau nolak tidur di rumah minimalis tapi nyamannya kebangetan gini?"
Ledib hanya tertawa kecil, ia sudah siap berangkat ke sekolah dengan sepeda motor kesayangannya. Seragam sekolah khas sudah dipakai dengan rapi oleh Ledib dan terlihat seperti murid disiplin (memang disiplin).
"Terserah lo. Mending lo tidur lagi aja deh, Lik. Sampai gue balik. Tapi kalau mau, lo sapuin halaman depan ya. Sekalian ruang tengah!"
"Bajigur lo, Dib!"***
"Loh, Nak Ledib? Kok kamu naik sepeda motor?"
"Saya ngikutin mobilnya dari belakang aja, Bu. Gocar sekarang mahal. Takutnya Ibu sedikit keberatan saat membayar. Biar dua-tiga anak saja yang naik mobil."
Bu Adzana, yang sedang tepat berada di depan Ledib mulai tersenyum kecil. Ia mengagumi kesopanan Ledib.
"Hati-hati saat mengendarai, ya. Nanti mobilnya nggak lewat jalan raya, kok. Nggak ada polisi." Ucap Bu Adzana sembari menepuk pundak Ledib sekali. Ledib hanya mengangguk, tersenyum manis. Bu Adzana juga tersenyum manis, lalu pergi meninggalkan Ledib di parkir sendirian untuk kepentingan dengan Guru penghantar murid olimpiade yang lainnya.
Hanya ada sepuluh-sebelas orang di sekolah. Mereka semua di sekolah, di hari Minggu untuk tujuan yang sama seperti Ledib. Berangkat olimpiade di sekolah favorit se-kabupaten. Sebenarnya, hari ini ada Ayon juga. Tapi entah dia ke mana.
Suara mobil Gocar yang berjalan masuk menuju sekolah melewati gerbang, terdengar dari parkiran yang berjarak 20 meter dari gerbang sekolah. Ledib kembali menaiki sepeda motornya menuju tempat mobil Gocar itu diparkirkan.
Saat itu, ada Ayon. Ia juga membawa sepeda motor. Ia hanya diam menduduki sepeda motornya yang sudah distarter itu sembari meminum kopi botol yang kecil. Ia memandangi Ledib dengan tatapan sedikit tidak mengenakkan. Ledib tidak tahu dengan tatapan Ayon itu, ia sibuk merogoh sakunya mencari permen Chupa Chups yang sudah dia masukan di kedua sakunya.
"Ayon, Ledib. Tolong hati-hati ya, saat naik motor. Ledib nih, yang sering begadang sampai mata panda. Jangan ngantuk di jalan, ya! Hati-hati." Seru Pak Asep sembari tertawa, mengelus-elus rambut Ledib sampai berantakan. Ledib juga tertawa, tertawa pahit.
Lima menit menunggu wali kelas-kelas A dan C datang, akhirnya semua peserta olimpiade di sekolah Ledib berangkat. Ledib mengikuti mobil, dan Ayon mengikuti Ledib. Ayon berada di paling belakang.***
"Kok permennya gak enak, njing. Malik kok belinya yang rasa ini sih!" Monolog Ledib kesal. Ia dibelikan Malik permen saat kemarin ia di Indomaret depan sekolah, tetapi malah memilih rasa yang Ledib tidak menyukainya.
"Ah.... Padahal permen Chupa Chups. Bagiin Ayon aja lah!"
Ledib berdiri, menaruh kunci motornya ke dalam tas. Ia mencari-cari Ayon di keramaian para siswa-siswi dari sekolah yang berbeda-beda.
Setelah tiga menit mencari, akhirnya si Brazil itu ditemukan oleh Ledib sedang duduk santai sendirian menunggu olimpiade mulai. Ledib mendekatinya, berseru.
"Yon," Seru Ledib membuat Ayon sedikit melompat kaget. Ia menatap Ledib datar.
"Eh... ini, permen. Gue gak doyan,"
"Udah deh, Dib. Jangan muka dua."
Ekspresi Ledib yang tadinya datar, menjadi mengernyit heran. Tangan kanannya yang sedikit terbuka dengan permen di atasnya kembali mengepal erat.
"Kevin udah bantuin lo, pas lo di siksa sama Azre. Stop being a trash, lo gak malu? Semoga lo kalah di olimpiade ini. Dan hidup lo sengsara sampai lo mati di depan mata gue."Ledib mengerutkan dahinya. "Gila Yon, sakit banget ya ucapan lo. Gue tahu, lo itu teman TK-nya Kevin sama Megane. Tapi dengerin ya, Yon. Satu kesalahan bisa menghapus seribu kebaikan. Kalau lo tahu yang sebenarnya, jangan nyesel. Kalau lo pernah melontarkan perkataan itu ke gue."
"Gak bakal nyesel. Gue emang udah tahu yang sebenarnya,"
Debat itu membuat banyak siswa menoleh kepada Ayon dan Ledib. Ledib tak mau pikir panjang, ia meninggalkan tempat itu dan menuju ke ruangan sebelas. Ruang di mana ia akan mengerjakan soal-soal olimpiade Matematika di HP dengan waktu dua jam tiga puluh menit.
Ledib tidak langsung masuk ke ruangan itu. Ia duduk, di tempat duduk yang sudah disediakan oleh sekolah itu tepat di depan ruangan sebelas. Ledib melamun, menghadap bawah.
Ia sadar, olimpiade akan dimulai dalam tiga puluh menit lagi. Sekolah Ledib berangkat terlalu pagi, walau perjalanan ke lokasi olimpiade sangat lama. Tapi, itu tidak terlalu penting. Ia lebih memikirkan citranya yang sudah jelek di depan siswa-siswi yang mengetahui gosip hoax yang disebarkan oleh Kevin, atau Megane. Ia sampai tidak sadar, di sampingnya ada seseorang.
"Hey, Ledib!" Seseorang berseru sedikit keras di samping Ledib. Ledib refleks menoleh, menatap dua mata yang berseru tadi itu.
"Lah? Lik?! Kok lo bisa keluar dari rumah gue? Lewat mana lo?! Bukannya tadi udah gue kunci, ya.... Eh, lo pinjem baju gue anying?"
"Ya, emang lo kunci tolol. Gue lewat jendela lantai satu, hehehe. Maaf Dib. Iya, emang ngapain? Gue pinjem baju doang,"
"Si tai!"
Seperti Superhero yang muncul dengan tiba-tiba di pertengahan konflik, Malik muncul di waktu yang tepat. Ia menemani Ledib sampai olimpiade selesai. Sampai ia melihat Ledib memegang piala di atas panggung.
Ledib terlihat bersemangat. Namun, ia hanya menutupi kesedihannya dengan berperilaku seperti-tidak ada apa-apa.
***
"Wah anakku, selamat ya! Poto dulu, bapak bikin status di WhatsApp." Canda Malik sembari menepuk-nepuk pundak Ledib. Ledib belum bisa tertawa, ia keberatan membawa piala yang lima kali lebih besar dari kepalanya.
"Bukain pintu mobil lo cepetan, Nyet. Berat banget ini! Gue lempar lo pake ini, mau?"
"Ampun DJ."
Pintu mobil terbuka, Ledib memasukkan pialanya ke mobil Malik dengan posisi miring. Ledib hampir encok, Malik hanya memperhatikan dari belakang.
"Nah, udah Lik. Yok, balik."
"Mampir ke kafe langganan lah, Dib. Mumpung nanti ngelewatin. Mau, gak?" Ledib hanya mengacungkan jempol, ia sudah menstarter motornya. Malik juga memasuki mobilnya, ia ke luar duluan ke gerbang. Ledib mengikuti mobil Malik, karena Ledib tidak hafal jalan ke lokasi olimpiade, serta jalan pulang dari lokasi olimpiade.
***
Keduanya sedang duduk santai di dalam kafe langganan. Satunya menikmati makanan yang sudah dipesan, satunya menanggapi chat-chat dari puluhan Guru yang mengapresiasi perjuangan untuk menjadi juara olimpiade.
Muka Ledib sedikit pucat saat sudah sampai di kafe. Malik juga begitu, ia menahan berak. Tapi, entah dengan Ledib. Mungkin terlalu lelah karena sudah berpikir selama dua jam untuk menyelesaikan soal-soal Matematika.***
"Dib, beneran muka dua lo, ya? Bajingan lo. Habis lo di tangan gue. Udah demen nyebarin aib, sekarang ngefitnah gue pernah mainin cewek? Gue bakal jadi Azre kedua lo, anjing. Yatim, gak guna. Semoga lo cepet nyusul Ibu lo dengan kematian yang lebih mengenaskan." Chat itu dari Ayon. Gak gue bales! Gak penting.
***
Hello, hello, semua! Maaf author jarang up akhir-akhir ini. So busy karena author sudah mendekati kelulusan, hehehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu, Ledib Lelah. [Wijaya Wahyuda Angst Fanfiction.]
Fanfiction"Tolong, cepat ambil jiwa ini. Dekap jiwa ini dengan erat sampai nafasnya terhenti." Ledib merangkul jiwa rapuhnya. Bendungan air matanya bocor, terus menetes dan jatuh ke tangannya sendiri.