Enam hari berlalu. Kondisi Ledib sudah stabil. Ia sudah kembali ke rumahnya. Namun, luka di tangan dan kakinya masih belum kering total. Lukanya masih harus diobati, dan ganti perban setiap pagi, dan malam sampai lukanya sudah kering.
Ledib meminta cuti sekolah selama lima hari, karena ia baru pulang dari rumah sakit. Juga, takut bertemu Azre lagi. Sekarang, cutinya tinggal tiga hari lagi.
Ledib sekarang tinggal sendirian. Ibunya tidak ada kabar sama sekali. Kunci rumah ternyata di sembunyikan di bawah pot bunga. Ledib khawatir, ia sudah mencari informasi tentang Ibu ke seluruh keluarganya. Tapi, itu sia-sia.
“Gimana, Dib? Ibu lo udah pulang?” Tanya Ayon lewat telepon.
“Belum, Yon. Gimana ya… gue takut Ibu gue kenapa-kenapa. Gue udah gali informasi tapi gak ada hasil sama sekali.”
Di sisi Ayon, ia berdecak heran. Ia ikut khawatir tentang Ibu Ledib. Kenapa selalu saja, ada hal yang sangat tidak penting yang muncul di kehidupan Ledib? Ayon sungguh mempertanyakan itu.
“Dib, besok gue ke kantor polisi. Sekalian ngelaporin si Azre bangsat itu, sama ngelaporin tentang Ibu lo. Sekarang, lo obati luka dulu. Lo belum ganti perban, kan? Buru, ganti.”
“Iya, bentar. Gak usah, Yon. Gue bisa laporin sendiri,” Ledib menolak bantuan Ayon. Ia takut merepotkannya lagi.
“Udah, Dib. Gapapa. Ya udah, gue mau infoin anak-anak yang lain. Gue juga mau nganterin orang tua gue. Sweet dreams, sayang.”
Telepon berhenti. Baru saja Ledib ingin menolak bantuan, dan mengumpati-nya karena membuatnya jijik. Ledib langsung geleng-geleng, heran dengan kelakuan temannya.
Ledib memutuskan untuk mengganti perban saja. Pikirannya sudah lelah berpikir berlebihan selama lebih dari tiga belas jam.
Di luar sedang hujan, petir bergemuruh menyuarakan gelegarnya. Jalanan menjadi basah licin, karena terkena rintikan hujan deras.
“Mau sampai kapan, aku kayak gini, Bu?”
***
Ibu Ledib, yang biasanya dipanggil Gea.
Sedang bermesra dengan orang yang menyewanya, Andra. Di hotel yang terkenal, dan mahal. Tempat di mana jalang sedang melayani para lelaki yang gila lubang.
Sial, Gea tidak memberitahu Ledib tentang ini. Jika Ledib tahu tentang ini, ia akan sangat kecewa dengan ibunya.
Gea masih melanjutkan karir haramnya, hampir selama sepuluh Ia beristirahat sebentar, untuk menikah dengan pria yang sempurna hanya di awal. Iya, Ayah Ledib. Biasa dipanggil Devano.
Devano adalah Ayah yang baik, untuk Gea yang sudah mempunyai dua anak hasil di luar nikah. Yaitu Kakak Ledib, Avea. Dan Ledib sendiri, di usia lima belas tahun. Namun, permen karet hanya manis di awal—lama kelamaan, perlakuan Devano semakin ngelantur dan tidak pantas. Gea ingin mereka berdua cerai. Tapi, mereka ingat dengan hati anak mereka.
Mungkin, kalian bertanya-tanya. Adik dan Kakak Ledib di mana? Ya, mereka tinggal di kos. Karena, mereka ketahuan melakukan hal menjijikan, dan tidak pantas di hadapan Ibu. Jadi, mereka diusir.
Seperti novel karya Vania Winola, Yang Katanya Cemara. Yang berisi tentang kekeluargaan, yang di luar sering sekali dijuluki Keluarga Cemara. Padahal, isinya berantakan.
Sekarang, Gea berada di luar kamar hotel, dengan lelaki yang menyewanya. Di sana, ada Ayon. Ia sedang menghantar keluarganya yang akan menginap di hotel karena ada kesibukan dengan rekan kerja mereka.
Ayon menoleh, melihat Ibu Ledib, Gea.
“Lah, Ibu Ledib?” Monolog Ayon.
***
“Ibu pulang!”
“Eh, Bu?” Ledib berjalan ke arah pintu masuk rumah, mendekati Ibu.
“Ibu, habis dari mana? Kok berhari-hari gak pulang? Ledib khawatir, tau….” Tanya Ledib. Ibu hanya menggeleng kecil sambil tersenyum.
“Nggak, Ledib. Ibu habis dari rumah Nenek. Maaf ya, HP Ibu dicas. Ibu gak tau kalau kamu chat sama telepon.” Jawab Ibu Ledib. Ledib hanya mengangguk-angguk.
HP Ledib berdering, ada yang menelepon. Ledib segera mengangkatnya.
“Hah, Ayon? Oh, iya! Gue sekalian bilangin, dah.” Telepon diterima, mereka berdua saling berbicara.
“Dib, Ibu lo udah pulang?” Tanya Ayon lewat telepon.
“Udah, Yon. Kenapa? Belum lo laporin, kan?”
“Belum, kok. Tapi, gini. Maaf, Dib. Tapi, gue tadi pas nganterin Ibu, sama Ayah gue ke hotel buat bahas bisnis, ada Ibu lo. Dia lagi sama cowok, entah siapa. Mereka lagi mesra-mesraan. Gue gak bohong, Dib. Sumpah.” Ucap Ayon. Ledib kaget, ia menggigit bibirnya sendiri.
“Oh, iya, Yon. Makasih.” Telepon berakhir. Diakhiri oleh Ledib.
Ledib ke luar dari kamarnya. Ia berjalan ke dapur, mendatangi ibunya.
Ibunya sedang mencuci tangan, akan mandi.
“Bu, Ledib boleh tanya?”
Ibunya berdehem, “Iya. Boleh, dong.”
“Ledib anak di luar nikah, ya?”
Ibu Ledib menoleh ke arah Ledib dengan cepat. Mereka bertatapan mata. Suasana menjadi hening, sedikit mencekam.
“Ah, Ledib? Siapa yang bilangin kamu begitu?”
“Jawab aja, Bu. Ledib gak bakal sedih.” Ibu Ledib mematikan wastafel. Ia berbalik badan, duduk di meja makan.
“Duduk, Ledib. Ibu jelaskan dulu,”
Ledib berjalan, duduk tepat di samping ibunya. Ibu Ledib mulai membuka mulut, bercerita.
“Untuk pertanyaan tadi, iya. Nak. Kakak kamu, dan kamu adalah anak hasil dari di luar nikah. Kalian bukan anak Ayah. Hanya adik kamu, yang Ibu lahirkan dari darah Ibu, dan Ayah. Tapi, anak yang bisa menjaga Ibu, cuma kamu.” Ledib terdiam, menatap wajah ibunya. Ia selama ini tidak tahu, bahwa ibunya adalah jalang.
“Kenapa Ibu tadi ke hotel, gak pulang-pulang?” Tanya Ledib, lagi. Ibu Ledib langsung kaget, bingung ingin menjawab apa.
“Ibu gak ke hotel, nak….”
“Jangan bohong, Bu.” Ibu Ledib menelan ludahnya sendiri, ia menghembuskan nafas panjang.
“Ibu, melayani lelaki. Maaf, Ibu gak bilang. Ibumu ini jalang, demi mendapatkan uang.” Ledib menahan tangis. Ia kecewa. Tapi, ia tidak bisa marah.
“Ledib gak marah, Bu. Tapi, Ledib kecewa. Banyak pekerjaan yang lebih layak, untuk Ibu. Tapi, kenapa Ibu lebih memilih, untuk bekerja menjadi jalang?” Perkataan itu menampar ibunya. Dari sekian banyak pekerjaan yang gajinya lebih banyak, dan lebih layak, kenapa ia memilih pekerjaan yang kotor?
“Maafin Ibu, Nak.” Ibu Ledib memeluk tubuh hangat Ledib. Ledib memeluk balik ibunya.
“Ibu gak perlu minta maaf. Tapi, tolong. Perbaiki diri sendiri, Bu.”
***
“Ledib kecewa, Bu. Tapi, Ledib gak bisa marah. Karena, walau Ibu ngelakuin hal yang gak pantas, Ledib masih menganggap Ibu, sebagai Ibu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu, Ledib Lelah. [Wijaya Wahyuda Angst Fanfiction.]
Fanfiction"Tolong, cepat ambil jiwa ini. Dekap jiwa ini dengan erat sampai nafasnya terhenti." Ledib merangkul jiwa rapuhnya. Bendungan air matanya bocor, terus menetes dan jatuh ke tangannya sendiri.