"Bu, Ledib berangkat sekolah. Kalau ada apa-apa, telpon Ledib, ya!" Tanpa menunggu Ibunya membalas pamitan, ia malah langsung menstarter motornya dan mengegasnya dengan kecepatan sedang. Ledib sedikit kesiangan hari ini. Sebenarnya, setiap hari dia juga berangkat jam segini. Tetapi, hari ini ada bimbingan belajar olimpiade Matematika. Ledib didaftarkan oleh gurunya olimpiade Matematika di sekolah bergengsi di luar kota. Jadi, terkadang Ledib harus bangun lebih awal lagi dari biasanya.
Sejujurnya, Ledib paling malas kalau didaftarkan olimpiade. Ledib harus bangun pagi, mandi pas airnya masih dingin-dinginnya, berangkat pas matahari masih ketutup gunung.
Ledib saja, sering tidur tengah malam. Bahkan, sering tidak tidur sama sekali juga. Dia punya insomnia. Tapi anehnya, masih bisa bangun pagi."Woy Ledib!"
Seseorang memanggil Ledib. Suaranya berat, mirip temannya.Ledib reflek melirik ke arah spion, melihat siapa yang memanggilnya. Orang itu berkulit kuning langsat, badan tinggi dan kekar, menaiki sepeda motor CBR. Wajahnya sedikit tak terlihat, karena ia memakai helm.
Orang itu menyusul Ledib. Ia mengegas cepat motornya lalu melambatkannya lagi saat sudah pas di samping motor Ledib. Dengan lambat ia membuka kaca helmnya, menyapa Ledib dengan tatapan sok cool.
"Hai, sayang." Ternyata dan ternyata, itu Malik. Teman satu angkatan Ledib, namun tidak satu kelas. Mereka berdua cukup akrab, seperti adik kakak. Malik ini, sangat ramah. Dia tidak pernah berbicara kasar atau kotor (di acara formal).
"Lo kemarin kenapa anjing, kok gak masuk? Disakitin siapa lo bangsat?"
"Santai, Lik. Ibu gue kemarin penyakitnya kambuh. Gue gak tega ninggalin Ibu gue sendiri."
Malik terdiam sejenak, menatap wajah Ledib yang fokus ke depan menatap jalanan sambil menjawab pertanyaan Malik. Malik tersenyum kecil, ikut menatap jalanan.
"Gue sumpahin lo sukses nanti ya, bi." Ucap Malik. Ledib menoleh ke Malik, memasang ekspresi bingung.
"Aamiin. Btw, bi apa, dah?"
"Babi."
"Kurang ajar ya, lo." Mereka berdua tertawa lepas. Memecah keheningan di jalanan sepi menuju sekolah mereka.
Mereka mengendarai sepeda motor sambil berbincang hal-hal yang tidak penting. Beberapa orang melirik mereka berdua saat mereka melewati jalan yang sedikit ramai orang berjalan menuju pasar atau menunggu penjual sayur keliling.
"Dib, keadaan rumah lo sekarang lebih baik, atau lebih buruk?"
"Udah, yang kayak gitu gak usah dibahas. Nanti aja,"
Malik menyadari akan pengalihan pembicaraan itu. Jadi, Malik memilih untuk tutup mulut tentang masalah Ledib. Mari membahas hal lain saja.
"Ah, iya. Maaf ya. Anyway, udah makan?" Tanya Malik sambil cengengesan. Ledib memberi lirikan mata sinis.
"Pertanyaan lo gak penting banget,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu, Ledib Lelah. [Wijaya Wahyuda Angst Fanfiction.]
Fanfiction"Tolong, cepat ambil jiwa ini. Dekap jiwa ini dengan erat sampai nafasnya terhenti." Ledib merangkul jiwa rapuhnya. Bendungan air matanya bocor, terus menetes dan jatuh ke tangannya sendiri.