Ledib menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, sampai ia menjadi seperti ini. Sungguh, di bagian Azre melontarkan perkataan yang tidak pantas, Ledib menahan tangis. Ia tidak mau merepotkan Ayon lagi.
Ledib menjelaskan semua dengan rinci. Kecuali, di bagian Azre memberi fakta pahit tentang ibunya yang hamil di luar nikah. Ia tidak memberi tahu perkataan Azre yang itu, kepada Ayon.
“Gitu lah, Yon. Gila, mulutnya jahat banget. Gimana gue gak nangis coba, di sana.” Ucap Ledib sambil tertawa pahit.
Ayon benar-benar menyimak dengan serius. Ia langsung menaruh dendam kepada Azre. Ia bingung, kenapa orang tidak bersalah seperti Ledib diperlakukan seperti itu?
Menurut Ayon, Ledib sedang dalam keadaan bahaya. Saat Ledib sudah kembali masuk, dan aktif beraktivitas di sekolah setelah rawat inap di rumah sakit, pasti Azre tidak segan-segan untuk melakukan hal yang jahat lagi kepada Ledib.
“Itu orang, beneran udah gila. Yang kayak gitu udah gak bisa dibiarin, Dib. Gue laporin ke polisi—” Di sela-sela ucapan Ayon, ada dua orang gila yang masuk ke ruang rawat inap Ledib. Orang gila itu adalah, Malik, dan Kevin. Mereka bukannya datang dengan berkata permisi, malah langsung membuka pintu dengan keras lalu berlari ke arah Ledib.
“Dib? Lo gapapa? Pantesan aja, lo kemarin gak datang-datang!” Ucap Malik, yang persis dengan ibu monyet yang anaknya diambil oleh monyet lainnya. Ledib sampai melongo, kaget.
“Eh tolol, dikira lagi datang ke laga Free Fire? Jelas ini di rumah sakit, kelakuannya masih gila aja.” Tegur Ayon. Kevin, dan Malik cuma cengengesan sambil menyatukan kedua telapak tangannya.
“Udah-udah, duduk lo. Eh, ibu gue tau gak, kalau gue di rawat inap?” Tanya Ledib. Ledib sudah memikirkan hal ini sedari ia baru sadar dari pingsannya. Takutnya, ibunya khawatir dan sendirian di rumah.
“Ah, kemarin gue datang ke rumah lo, Dib. Nganterin sepeda motor. Rumah lo, sepi banget! Gak ada siapa-siapa di rumah,” Jawab Kevin, sambil memakan permen Chupa Chups yang ia beli dari toko kecil dekat rumah sakit. Ledib langsung kaget, juga bingung. Yang ia tahu, ibunya jarang sekali keluar rumah. Kalau keluar, pastinya ibunya menelpon, atau memberikan pesan lewat WhatsApp kepada Ledib terlebih dahulu.
“Lah? Serius lo, Vin?”
“Iya, Dib. Sumpah, demi apa pun.”
Ledib mengernyit heran, takut jika ibunya kenapa-kenapa. Ia mengambil dan memakan satu buah apel, yang dibawa oleh Ayon dari kemarin.
“Terus, sepeda gue? Lo taruh mana?”
“Gue bawa lah, anjir. Mau dibiarin di mana lagi, kalau semua pintu rumah lo dikunci, terus gak ada orang sama sekali?”
Ledib ber-oh pelan, sambil mengunyah apel yang manis seperti orang yang memakannya.
“Lah, anjing. Ibu gue ke mana, dong?”
Kevin menaikan bahunya, sebagai artian tidak tahu.
***
“Hidup bukan, untuk saling mendahului.
Bayangan yang, diciptakan oleh mentari.
Ada kala, matahari bermaksud terpuji,
Untukmu cintai diri sendiri, hari ini.”—Mata Air, Hindia.
***
Sore, sudah berganti ke malam.
Semua penjenguk di ruang rawat inap Ledib sudah pulang. Sekarang, Ledib sendirian. Kepalanya berisik lagi. Lagi, lagi, dan lagi.
“Duh, Ibu ke mana, ya….” Monolog Ledib. Ia sudah menelpon dan mengirim pesan berkali-kali kepada ibunya. Namun, itu tidak berhasilkan apa pun. Pesan yang dikirim hanya ber-checklist satu, telpon hanya sampai ke memanggil, Tidak berdering.
Perlahan, pintu ruangan terbuka. Suster masuk ke ruangan rawat inap Ledib.
“Permisi, dek. Ini waktunya ganti perban, sama minum obat.”
“Oh, iya, Sus.”
Suster itu mendekat. Ia melepas perban Ledib. Lalu, ia mengobati luka-luka itu. Setelah itu, tangannya dibaluti perban yang baru, dan lebih bersih.
Rasanya perih. Tapi, Ledib tidak merasakannya. Ia masih melamun memikirkan ibunya. Berisik, Di mana? Kenapa? Banyak pertanyaan di kepalanya.
“Dek, mukanya khawatir gitu. Kenapa? Sakit, ya?” Tanya Suster. Ledib kaget, sadar dari lamunannya. Lalu menggeleng kecil sambil tersenyum.
“Nggak kok, Sus.”
“Oh, lagi banyak pikiran, ya?”
Ledib tertawa kecil, “Iya, akhir-akhir ini banyak pikiran terus.”
Suster itu ikut tertawa. Perban sudah terpasang rapi di tangan Ledib. Sekarang, giliran bagian kaki.
“Semangat, ya. Suster gak tahu, dan gak punya hak untuk tahu masalah kamu apa. Tapi, semangat!” Ucap Suster menyemangati. Ledib tersenyum kecil, menoleh ke arah perban tangan yang baru saja diganti.
“Terimakasih, Sus.”
Perban di bagian kaki sudah diganti. Suster mengucapkan selamat beristirahat, dan meninggalkan ruangan itu. Sekarang, waktunya minum obat.
Ledib membuka botol obatnya, dan satu pil obat sudah berada di tangan kanan Ledib. Ia menelan obat itu, dan meneguk air putih secara bersamaan agar saat menelan obat tidak sakit. Ia lanjut berbaring, membuka HP-nya.
“Aduh…. Telepon Ayah, dah.” Monolog Ledib. Barangkali, ayahnya tahu di mana Ibu Ledib.
Ledib menelpon ayahnya. Selang beberapa detik, panggilan diterima. Di sana sedikit berisik. Mungkin, ayahnya sedang berada di klub malam.
“Halo, Yah?”
“Kenapa? Tiba-tiba nelpon. Ganggu.” Ledib menelan ludahnya, takut. Ledib tidak mau berlama-lama. Jadi, langsung ke intinya saja.
“Tahu gak, Ibu di mana?”
“Orang Ayah aja gak—belum pulang. Mana Ayah tau. Udah, gak penting. Ngehabisin waktu aja, anak gak guna.”
“Hah? Maksud lo—”
Tut, tut, Panggilan berakhir. Ayah Ledib yang mengakhiri teleponnya. Ledib berdecak kesal, mengembuskan nafas panjang.
“Ayah gak guna,” Umpat Ledib. Ledib memutuskan untuk menelepon kakaknya dan adiknya. Dan, jawabannya tetap sama. Tidak tahu.
“Gue gak tau, Dib. Tanya Bapak aja.” Jawaban dari kakaknya.
“Gak tau, Bang. Maaf.” Jawaban dari adiknya.
Ledib memutar bola matanya. Ia dengan nada kesal berkata, “Bajigur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu, Ledib Lelah. [Wijaya Wahyuda Angst Fanfiction.]
Fanfiction"Tolong, cepat ambil jiwa ini. Dekap jiwa ini dengan erat sampai nafasnya terhenti." Ledib merangkul jiwa rapuhnya. Bendungan air matanya bocor, terus menetes dan jatuh ke tangannya sendiri.