Bab 6 [Pantaskah Disebut Manusia?]

373 50 7
                                    

Seperti biasa. Ledib mendengarkan Pak Guru yang sedang menjelaskan materi, sambil menggambar atau menulis suatu hal yang tiba-tiba muncul di pikiran saat bosan.

Sedangkan Kevin? Ia tertidur pulas. Karena tadi malam ia tidak tidur sama sekali. Dia malah push rank Mobile Legend sampai pagi bersama teman-teman online-nya. Lumayan, ia sudah sampai di Legend.

Ledib menoleh ke arah temannya yang sedang bermimpi indah tepat di sampingnya. Ia menahan tawa, takut dimarahi Pak Guru.

"Pengen kubangunin, tapi kasian." Batin Ledib sambil menggaruk kepalanya, bingung. Tapi ia memutuskan untuk membiarkannya terlelap sampai jam pelajaran berganti.

Di sisi lain, Azre yang tepat berada di belakang bangku Ledib pun, dengan tiba-tiba menepuk bahu Ledib. Ledib menoleh, merasa sedikit takut.

“Apa?”

“Nanti pas pulang, lo ke perpustakaan dulu. Mau, gak?”

Ledib bingung. Nada berbicara Azre memang lembut. Namun, jika menerima ajakan itu, entah apa yang akan terjadi. Antara hanya membicarakan sesuatu, atau Ledib dibunuh sadis di situ.

“Ya, mau aja. Tapi, mau ngapain?”

“Lo liat aja, nanti.”

“Hah? Gak jelas lo. Gak mau dah, gue.” Ledib kembali menoleh ke depan, menyimak penjelasan Pak Guru lagi dengan perasaan tidak nyaman. Kalau saja Kevin tidak tidur, pasti Kevin sudah menonjok Azre sampai babak belur.

“Anjing.” Ledib mengumpat. Firasatnya buruk kali ini.

***

Siang sudah berganti sore. Perlahan, matahari turun dan akan segera digantikan oleh bulan.

Ledib sedang berjalan menuju ke luar sekolah, ke parkiran. Ia sudah berada di lantai satu. Namun, masih sedikit jauh dengan pintu keluar.

Banyak siswa-siswi yang belum pulang, karena mereka mengikuti beberapa ekstrakurikuler di sekolah. Di koridor, masih banyak siswa-siswi yang berjalan atau berlari menuju kelasnya masing-masing untuk mengambil tas, alat latihan, dan lain-lain.

Ledib melewati toilet laki-laki. Ia sayup-sayup mendengar suara 3-4 siswa berbicara dari dalam.

Ledib berhenti sejenak, teringat kalau ia baru saja memakan nasi kuning, lalu tidak cuci tangan (sebenarnya, sudah cuci tangan. Namun, semua wastafel dekat kelas itu, mana ada sabun? Jadi, tetap kotor, dong).

“Lah, iya juga. Sekalian,”

Ledib memasuki toilet. Ternyata, siswa yang sedang berbicara dengan suara sedikit keras sampai terdengar sayup-sayup di luar toilet adalah, Azre. Dan teman-temannya tentunya.

Semua pandangan mengarah ke Ledib. Tangan Ledib berkeringat, juga bergetar. Itu sudah menjadi kebiasaan Ledib saat sedang ketakutan, atau gugup.

Ledib tetap berjalan menuju wastafel. Ia mencuci tangannya, memakai sabun cair yang memiliki harum mocha dan cappucino. Lalu, minyak yang lengket di kulit telapak tangan yang kanan itu sudah hilang.

Tik. Suaranya seperti mengunci pintu.

Ledib membalikkan badannya lalu berjalan menuju pintu keluar. Ledib berusaha berakting terlihat santai, padahal ia takut sampai pengen pingsan.

Ledib memegang gagang pintu, membukanya.

Namun, tidak bisa.

“Maaf, ya.” Bisik Nevin, di telinga Ledib. Sial, pasti Ledib akan mati hari ini. Ia menyadari, tidak ada hal yang bisa membantunya sekarang. Ya, mau bagaimana lagi? Lagi pula, Ledib juga mau hidupnya segera berakhir. Ledib hanya diam, menunduk.

Ibu, Ledib Lelah. [Wijaya Wahyuda Angst Fanfiction.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang