Bunyi hentakan kaki yang pelan terdengar jelas. Lorong sekolah masih sepi, kantin belum buka, gerbang masih terbuka setengah. Sekolah Ledib masih sepi—lebih tepatnya sangat sepi. Belum ada siswa-siswi atau orang lain yang datang kecuali Ledib dan tukang kebun sekolah. Ledib berangkat terlalu pagi hari ini, Malik meneleponnya di jam empat pagi dengan niat iseng. Ia berbohong ke Ledib kalau jam sudah menunjukkan pukul enam pagi.
Mata Ledib melirik ke kanan-kiri. Pagi ini terlihat akan hujan, semoga tidak ada upacara di Senin ini. Kaki Ledib pincang sebelah karena terjatuh dari tangga lantai dua saat terburu-buru bersiap untuk berangkat sekolah di jam empat tadi.
"Ledib, sayang!" Seruan dari seorang siswa itu membuat Ledib mengeluarkan ekspresi jijik. Ia menoleh kebelakang, menghembuskan nafas panjang dengan malas. Ia sudah menduga, bahwa itu Malik.
"Gitu lagi, gue tampol lo."
"Santai dong! Lagian, lo kalau nanggepin jailnya gue itu gak bikin puas, sih. Makanya gue jailin terus!" Ledib hanya memutar kedua matanya. Ia berbelok kanan, ke kelasnya. Tidak meninggalkan satu kata pun kepada Malik. Malik yang melihat itu langsung sebal, ia menepuk pantat Ledib dengan keras.
"WOY!"
***
Seperti biasanya. Belajar, izin ke toilet, belajar, istirahat. Tidak ada hal yang aneh.
Ledib sedang berjalan sendirian menuju basecamp PMR. Ia disuruh Malik untuk mengambil uang sakunya yang tertinggal di situ untuk kelima kalinya. Malik memang ceroboh, Ledib sudah biasa dengan itu.
Saat sudah sampai di depan basecamp PMR, Ledib perlahan membuka pintu. Mengecek kanan-kiri, menyalakan lampu agar tidak menabrak dinding saat berjalan.
Ledib tanpa berlama-lama, langsung mengambil uang saku Malik yang berada di lemari obat-obat. Ia memasukkan uang itu ke sakunya.
Saat Ledib membalikkan badannya untuk keluar dari basecamp, lampu tiba-tiba mati. Ia juga melihat pintu keluar sudah tertutup rapat.
"Gelap amat,"
Ledib berjalan dengan perlahan, takut menabrak benda-benda atau dinding. Tapi, saat Ledib akan mengambil satu langkah lagi untuk membuka pintu, lehernya dipegang erat oleh seseorang dibelakangnya. Ledib terkejut, ia tidak tahu bahwa ada orang lain yang berada di ruang ini. Tidak ada sama sekali suara yang menunjukkan ada seseorang yang memasuki ruangan terdengar di telinga Ledib.
Selang beberapa detik, lampu menyala lagi. Ledib benar-benar tidak ingin melihat ke belakang. Ia hanya diam, memegang gagang pintu sambil tremor.
"Gimana kabarnya, Dib?"
Wajah orang yang di belakangnya itu mendekat di samping wajah Ledib. Ledib sedikit terkejut, mengumpat di dalam hatinya.
Siapa orang itu? Siapa lagi, kalau bukan Ayon yang sudah memiliki dendam ke Ledib.
"Lepasin, sial."
"Siap," Bukannya melepaskan tangan kanannya dari leher Ledib, ia malah membalikkan badan Ledib secara paksa dengan tangan kirinya. Itu membuat perut dan pundak Ledib sedikit sakit, dan pintu keluar terkena tubuh Ledib sampai berbunyi keras.
Ayon mengunci pergerakan Ledib, dengan mendekatkan wajah dan tubuhnya ke Ledib. Ledib tidak bisa ke mana-mana lagi, ia berada di dekapan monster sekarang.
"Jangan deket-deket! Jijik anjing. Mau lo apa, sih?"
"Mau bunuh lo." Ledib berdecak kesal, ia mendorong Ayon sekuat tenaga. Namun, itu tidak ada hasil. Ayon malah mendekap lebih erat lagi. Ledib terus-menerus memberontak, sampai Ayon menatap tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu, Ledib Lelah. [Wijaya Wahyuda Angst Fanfiction.]
Fanfic"Tolong, cepat ambil jiwa ini. Dekap jiwa ini dengan erat sampai nafasnya terhenti." Ledib merangkul jiwa rapuhnya. Bendungan air matanya bocor, terus menetes dan jatuh ke tangannya sendiri.