Harris kembali ke kamarnya, dengan sekaleng bir dan satu pak rokok di tangannya. Ia duduk di kursi, membuka kaleng bir, dan menyiapkan asbak. Birnya diteguk pelan-pelan. Ia menyalakan batang rokok keduanya hari itu dan mulai mengisapnya. Harris hanya ingin bersantai saja.
Dia memejamkan mata, menarik napas perlahan, tapi sebelum ia jatuh tertidur, dia segera membuka mata kembali. Dia masih di kamarnya. Namun saat Harris memperhatikan lagi, ada beberapa hal yang berbeda.
Interior kamar itu masih sama, berikut perabot-perabotnya. Namun, warna kamar itu jadi lebih muram dan lebih kelabu. Di dindingnya tampak noda merah seperti sapuan darah, dan ada pula noda coklat kusam yang menyerupai karat. Dan di udaranya tercium aroma anyir, campuran dari bau darah dan bau karat.
Harris tidak mengerti dengan perubahan situasi ini. Dia melihat bir dan rokoknya masih ada, tapi kondisinya sudah jadi sampah yang rusak. Harris mencoba membuka jendela, macet. Jendela itu seolah terpatri mati dengan dindingnya. Kemudian dia mencoba membuka pintu. Nihil. Harris terperangkap di dalam kamarnya.
Kebingungan, dia menoleh ke belakang, mencari sesuatu yang sekiranya bisa membantunya untuk lolos dari keadaan ini. Tapi tiba-tiba, dia mendengar suara berderak dari dalam lemari pakaiannya.
Pintu lemari membuka, dan makhluk bertangan empat itu muncul. Harris menjerit, tapi makhluk itu tidak membuang waktu. Ia melompat ke atas badan Harris dan mencekiknya. Harris mengerahkan segenap tenaganya untuk melepaskan cekikan makhluk itu, tapi tak berhasil. Kakinya masih bebas, dan tanpa pikir panjang lagi Harris menendang makhluk itu di tempat yang masih bisa dikenainya.
Terdengar raungan, dan cekikan makhluk itu melemah. Harris meloloskan diri, tapi kuku makhluk itu masih sempat mencakar lehernya hingga terluka dangkal. Dia mengambil asbak dari mejanya, dan ketika makhluk itu kembali menerjangnya, Harris menghantamkan asbaknya ke kepala makhluk itu.
Makhluk bertangan empat itu kini tergeletak di lantai. Harris mengembuskan napas panjang. Ia berjalan ke arah jendela. Di luar jendela, beberapa mil jauhnya dari sana, ia melihat ledakan besar berbentuk jamur.
"Celaka."
Angin panas atomik itu menyapu dinding kamar itu kencang-kencang. Harris merasakan setiap jengkal tubuhnya terbakar.
Sayup-sayup dia melihat sosok seorang wanita, seorang anak, dan seorang pria berjas. Semuanya terbakar.
"Itulah orang-orang yang sudah kau tinggalkan." ujar sebuah bisikan.
Harris menjerit sampai ia tak bisa merasakan tubuhnya lagi. Semua gelap. Saat semuanya sudah mulai terang kembali, Harris melihat bahwa dia telah kembali ke kamarnya yang semula. Keringat dingin membasahi badannya.
Itu tadi mimpi? Tapi betul-betul terlalu nyata, dia berpikir. Dia melihat ke meja, birnya masih tersisa setengah kaleng. Rokok keduanya telah terbakar habis di asbak, dan paknya terbuka.Pelan-pelan Harris meraba lehernya, dan dia merasakan ada bekas goresan. Harris duduk bersandar di kursi, berusaha untuk rileks. Yang jelas, dia tidak ingin langsung tidur malam itu. ***
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent West Motel
Mystery / ThrillerHarris Steed seolah mendapatkan momen kebebasannya. Ia merebut sabatikal/cuti panjang yang sudah ia idam-idamkan (dengan cara yang masih dipertanyakan). Ia melaju sejauh mungkin dari dunia lamanya, hingga suatu ketika ia berhenti di Route 285 Colora...